Reformasi Hubungan Tiongkok–Vatikan, Mungkinkah?

Reformasi Hubungan Tiongkok–Vatikan, Mungkinkah?

Beberapa waktu berselang, kantor berita Tiongkok Xinhua, memberitakan tentang pertemuan pejabat senior Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Wang Yang, dengan jajaran pimpinan baru Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok dan Konferensi Uskup Katolik Tiongkok pada 23 Agustus 2022 di Beijing. Wang adalah anggota Politbiro Partai Komunis Tiongkok (PKT) yang juga menjabat sebagai ketua National Committee of the Chinese People’s Political Consultative Conference. Dalam sambutannya, Wang menyerukan agar komunitas Katolik sepenuhnya mengimplementasikan kebijakan dasar PKT mengenai agama, serta berkontribusi dalam kebangkitan negara Tiongkok.

Kehidupan beragama di RRT memiliki kedudukan yang cukup unik. Di satu sisi, selayaknya negara komunis lain, RRT menerapkan apa yang disebut oleh Bullivant & Lee sebagai state atheism, yaitu penerapan paham anti ketuhanan dalam kehidupan bernegara. Praktik itu umumnya diwujudkan melalui pengawasan yang ketat oleh negara terhadap organisasi keagamaan maupun kehidupan beragama rakyat di negara tersebut. PKT, sebagai penyelenggara negara, melarang lebih dari 90 juta anggotanya untuk memeluk agama. Lebih dari itu, keluarga anggota PKT juga disarankan untuk tidak berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan di ranah publik. Namun di sisi lain, pemerintah RRT mengakui lima agama resmi, yaitu Buddha, Taoisme, Katolik, Kristen Protestan, dan Islam. Bahkan, menurut konstitusi RRT bab 2 pasal 36, hak beragama dilindungi oleh negara. Namun yang patut dijadikan catatan adalah bahwa kebebasan memeluk dan menjalankan agama itu harus sesuai dengan koridor “aktivitas keagamaan yang normal,” yang sejalan dengan prinsip state atheism yang telah dikemukakan di atas. Artinya, semua kegiatan keagamaan harus berada di bawah pengawasan lembaga administrasi negara urusan agama dan asosiasi keagamaan yang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah. Dalam hal kegiatan keagamaan dan peribadatan umat Katolik, Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok-lah yang membuat pedoman, sejak berdirinya pada dekade 1950-an. Bahkan, organisasi ini juga berkuasa untuk memilih dan mengangkat uskup, yaitu pemuka agama Katolik yang memimpin suatu wilayah gerejawi tertentu. Wewenang inilah yang selama berpuluh-puluh tahun menjadi batu sandungan dalam hubungan Tiongkok dengan Vatikan. Bagi gereja Katolik, hal itu di luar kelaziman karena hanya paus sebagai pucuk pimpinan tertinggi hirarki gereja Katolik yang boleh memilih dan menahbiskan uskup.

Artikel ini mencoba untuk memaparkan secara singkat sejarah kemunculan dan perkembangan gereja Katolik di Tiongkok, serta perkembangan terakhir terkait perjanjian Tiongkok dan Vatikan soal pengangkatan uskup yang ditandatangani pada 2018. Adakah suara pro dan kontra terhadap perjanjian tersebut? Bagaimana pula keberlanjutan perjanjian tersebut? Mungkinkah perjanjian itu menjadi fondasi untuk menormalisasi hubungan Tiongkok dan Takhta Suci Vatikan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan diulas dalam artikel ini.

ilustrasi gambar Gereja Katedral Santo Ignatius Katedral Shanghai. sumber : hrw.org

Pasang Surut Gereja Katolik Awal di Tiongkok

Interaksi antara gereja Katolik dan masyarakat Tiongkok dapat ditelusuri sampai pada saat sebagian besar wilayah Tiongkok berada di bawah kekuasaan imperium Mongol. Pada musim panas 1246 Seorang imam ordo (perkumpulan keagamaan) Fransiskan asal Italia, Giovanni da Pian del Carpine, berhasil menempuh perjalanan darat dari Eropa ke Karakorum, pusat pemerintahan kekaisaran Mongol. Sebagai utusan resmi Paus Innocentius IV, ia membawa surat dari pemimpin tertinggi gereja Katolik tersebut. Ia disambut baik dan diperkenankan tinggal di ibu kota selama beberapa bulan. Ia bahkan sempat menyaksikan suksesi khan (kaisar Mongol), yaitu pelantikan Güyük Khan. Interaksi awal tersebut, meskipun sudah mencapai pusat kekuasaan, belum dapat membangun komunitas umat Katolik yang signifikan di sana. Barulah pada 1299, seorang imam ordo Fransiskan yang lain, Giovanni da Montecorvino, berhasil mendirikan gereja di Khanbalig, ibu kota Dinasti Yuan yang saat ini bernama Beijing. Keberhasilan misinya terlihat dari pertambahan jumlah gereja dan umat Katolik. Bahkan, pada 1307 ia ditahbiskan oleh paus menjadi Uskup Agung Khanbalig. Akan tetapi, perkembangan tersebut hanya berumur pendek. Dinasti Ming (1368–1644) yang menguasai Tiongkok setelah keruntuhan Dinasti Yuan, menaruh curiga pada semua hal yang berbau asing. Akibatnya, semua imam dan uskup berkebangsaan asing harus hengkang dari Tiongkok.

Pada akhir abad ke-16 generasi baru misionaris (penyebar agama) Katolik kembali menjejakkan kaki mereka di Tiongkok. Berbeda dengan generasi sebelumnya, mereka memanfaatkan jalur laut dengan menumpang kapal-kapal armada dagang Portugis. Perjanjian dengan kekaisaran Ming pada 1557 memungkinkan Portugis memperoleh sewa permanen wilayah pesisir selatan Tiongkok, yang meliputi Semenanjung Makau, Pulau Taipa, dan Pulau Coloane. Sejak saat itu, Portugis menjadikan Makau pos perdagangan dan mengatur wilayah tersebut selayaknya kota di Eropa. Seiring perkembangan perdagangan dan pertambahan jumlah penduduk, pada 1576 teritorial gerejawi Macau memperoleh status keuskupan yang terpisah dari keuskupan induknya di Malacca. Awalnya, kehadiran pemuka agama Katolik di Makau hanya untuk melayani kehidupan rohani kaum pedagang dan pejabat Portugis. Namun sejak 1579, para misionaris yang dimotori oleh ordo Jesuit mulai menyusun upaya untuk kembali menyebarkan agama Katolik di kalangan penduduk lokal. Sejarawan Liam Matthew Brockey menyoroti peran penting misionaris Jesuit dalam perkembangan gereja Katolik di Tiongkok pada periode ini. Menurutnya, salah satu kunci keberhasilan ordo Jesuit adalah penekanan pada pendidikan dan pendekatan ilmiah untuk memahami masyarakat Tiongkok.

Sebelum menjalankan tugasnya, para misionaris Jesuit harus menempuh pendidikan yang tidak melulu soal teologi dan filsafat, tetapi juga mencakup kemahiran berbahasa dan kultur lokal. Berbekal kemampuan tersebut, mereka dapat lebih mudah berinteraksi dengan elit lokal maupun rakyat jelata, yang pada akhirnya menarik warga lokal untuk memeluk agama Katolik. Senada dengan itu, menurut peneliti Macau Ricci Institute, Yves Camus, fokus ordo Jesuit pada pendekatan ilmiah telah melahirkan banyak karya-karya linguistik, seperti deskripsi bahasa-bahasa di Tiongkok, serta kamus bahasa Tiongkok–Eropa. Selain itu, mereka juga mempelopori pendekatan antropologis untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang masyarakat Tiongkok. Oleh karena itu, Camus berargumen bahwa ordo Jesuit telah membuka jalan dan memberi kontribusi besar bagi studi sinologi, yaitu kajian multidisiplin tentang Tiongkok.

Perlahan tapi pasti, komunitas umat Katolik di Tiongkok tumbuh dan berkembang. Di samping itu, benih-benih panggilan warga lokal untuk menjadi imam juga semakin banyak. Jadi, umat Katolik di sana lama-kelamaan semakin mandiri, dan tidak lagi bergantung pada keberadaan pemuka agama dari Eropa. Meskipun pergantian pemerintahan dan gejolak politik sering kali berujung pada penindasan, gereja Katolik Tiongkok tetap eksis bahkan sampai pada saat berdirinya RRT.

Sino-Vatican Provisional Agreement: Jalan Tengah Soal Pengangkatan Uskup

Ketika RRT berdiri pada 1 Oktober 1949, hubungan diplomatik dengan Vatikan yang sudah terjalin sejak era Republik Tiongkok tetap bertahan. Gereja Katolik di Tiongkok masih dapat beroperasi secara independen meskipun dalam pengawasan ketat pemerintah. Memasuki awal 1950-an tekanan terhadap gereja Katolik, khususnya pemuka agama dan misionaris berkebangsaan asing, semakin keras. Puncaknya, pada 1953 perwakilan Vatikan di Beijing ditutup karena tuduhan spionase dan hubungan diplomatik dibekukan. Selanjutnya, pada 1957 sejumlah umat dan pemuka agama Katolik berkumpul dengan pejabat PKT dan Biro Urusan Agama. Mereka sepakat untuk membentuk Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok yang tidak mengakui yurisdiksi Vatikan atas gereja Katolik di Tiongkok karena alasan intervensi urusan dalam negeri. Sejak 1958, asosiasi ini mulai mengangkat uskup tanpa persetujuan Vatikan. Paus Pius XII sebagai pemimpin tertinggi gereja Katolik saat itu menyatakan tidak mengakui penahbisan tersebut. Sementara itu, imam dan uskup yang menolak bergabung dengan asosiasi tersebut mendapat hukuman penjara atau tahanan rumah. Situasi ini mendorong munculnya “gereja bawah tanah,” yaitu persekutuan imam dan umat Katolik yang diam-diam masih mendukung kepemimpinan paus di Vatikan.

Demi menyelesaikan masalah ini, pada September 2018 Vatikan dan RRT menandatangani perjanjian sementara terkait pengangkatan uskup yang dapat diperpanjang setiap dua tahun. Meskipun isi perjanjian tersebut tidak dipublikasikan, narasumber terkait perjanjian itu sudah membeberkan beberapa poin penting perjanjian melalui pers. Di antaranya, kedua pihak mengakui paus sebagai pemimpin tertinggi gereja Katolik dan pemegang keputusan akhir dalam pengangkatan uskup.

Perjanjian ini ditanggapi beragam. Pendukung perjanjian ini menganggapnya sebagai win-win solution bagi kedua pihak. Di sisi lain, penentangnya menganggap Vatikan telah membuat keputusan tidak bijaksana dengan mengesampingkan pelanggaran hak asasi manusia di Tiongkok, seperti yang diungkapkan oleh mantan Uskup Agung Hong Kong, Kardinal Joseph Zen. Sementara itu, peneliti dari the University of California, Irvine, Chit Wai John Mok memiliki pandangan menarik perihal perjanjian tersebut. Menurut Mok, pendekatan Paus Fransiskus, yang adalah imam Jesuit, dalam persoalan Tiongkok mirip apa yang digunakan oleh Matteo Ricci, misionaris Jesuit pada era Dinasti Ming. Paus lebih berfokus pada pencapaian hasil yang nyata ketimbang hanya mempertahankan prinsip dasar kekatolikan. Masih menurut Mok, perjanjian tersebut setidaknya telah menyelesaikan masalah uskup “tidak resmi,” yaitu uskup Tiongkok yang tidak diangkat oleh paus. Setelah perjanjian ini disepakati, Paus Fransiskus telah menahbiskan semua uskup yang sebelumnya dianggap “tidak resmi.” Namun demikian, perjanjian ini masih menyisakan beberapa masalah, misalnya soal tata cara pengangkatan uskup di masa depan dan klaim ganda atas kepemimpinan beberapa wilayah keuskupan. Meskipun menimbulkan pro dan kontra, bagaimanapun juga, perjanjian itu sudah diperpanjang pada Oktober 2020. Perpanjangan perjanjian ini menimbulkan kesan bahwa Vatikan sedang berusaha mengembalikan hubungan baik dengan RRT. Sebagaimana diberitakan oleh majalah America The Jesuit Review, Vatikan menyadari kritik terkait penandatanganan dan perpanjangan perjanjian dengan Tiongkok. Akan tetapi, setidaknya perjanjian tersebut telah membuat seluruh uskup di Tiongkok saat ini berada di bawah restu paus. Mengenai pengangkatan uskup di masa depan yang melibatkan nominasi dari otoritas Tiongkok, Vatikan menganggap itu bukan hal yang baru dalam sejarah gereja Katolik. Di masa lampau, misalnya di Eropa dan Amerika Latin, otoritas setempat memiliki suara dalam pencalonan uskup. Akan tetapi, keputusan akhir masih ada di tangan paus. Mengenai apakah perjanjian ini dapat membawa pada normalisasi hubungan diplomatik, Vatikan menyatakan keinginan besar untuk memiliki perwakilan di Beijing yang dapat menjadi penghubung antara Takhta Suci, uskup, serta otoritas Tiongkok. Namun demikian, menurut Vatikan masih ada isu krusial yang belum diklarifikasi oleh Beijing, misalnya keberadaan imam-imam “bawah tanah” yang masih ditahan pihak berwajib dan undang-undang yang melarang orang tua mengajarkan agama kepada anak mereka dan mengajak anak mereka ikut peribadatan, yang diimplementasikan tahun 2018. Sebaliknya, di pihak Tiongkok, retorika soal kepatuhan pada kebijakan agama PKT, seperti disebutkan di awal artikel ini, dan kesediaan para pemuka agama untuk mengikuti prinsip PKT justru semakin gencar. Perjanjian ini akan “jatuh tempo” dalam waktu dekat. Untuk itu, masih perlu kita cermati, apakah perjanjian ini akan diperpanjang untuk yang kedua kalinya?.

Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *