Peristiwa Mei 1998, Etnik Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia

Peristiwa Mei 1998, Etnik Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia

Peristiwa Mei 1998, serta berbagai perkembangan yang terjadi sesudahnya, merupakan sebuah rangkaian peristiwa yang sangat menentukan dalam sejarah kehidupan etnik Tionghoa di Indonesia. Tragedi yang terjadi dua puluh empat tahun lalu itu menimbulkan rasa pedih bagi masyarakat Tionghoa, yang banyak menjadi korban dalam peristiwa tersebut. Namun demikian, setidaknya bagi sebagian besar pemuka masyarakat Tionghoa, kejadian di atas tidak  menyebabkan mereka menanggalkan semangat kebangsaan. Sebaliknya, tak lama setelah terjadinya tragedi tersebut, orang-orang Tionghoa justru melakukan upaya masif dan teorganisir untuk menggaungkan keindonesiaan mereka. Sadar bahwa Indonesia adalah tanah air bagi mereka di masa lalu, kini dan mendatang, etnik Tionghoa membentuk berbagai organisasi dengan tujuan untuk meningkatkan kontribusi bagi pembangunan Indonesia yang lebih baik. Para pegiat organisasi tersebut menghimbau segenap etnik Tionghoa untuk turut berpartisipasi pada kegiatan sosial dan politik agar lebih terintegrasi dalam masyarakat Indonesia secara utuh. Pada sisi lain, melalui kegiatan sosial dan politik tersebut, etnik Tionghoa juga ingin menghapuskan berbagai stereotip yang telah lekat selama berdasawarsa, antara lain adalah stereotip mengenai loyalitas kebangsaan mereka, yang seringkali diragukan.  Namun benarkah Tionghoa tak dapat melepaskan kesetiaan mereka pada tanah leluhur? Benarkah mereka tidak berkontribusi pada perkembangan budaya, seni, dan bahkan identitas kebangsaan Indonesia? Tulisan ini mencoba mengulas kembali kontribusi Tionghoa bagi kebangsaan Indonesia. Namun tulisan ini juga berharap dapat memperlihatkan tantangan yang saat ini dihadapi etnik Tionghoa dalam upaya mereka untuk makin memperkuat semangat dan imej kebangsaan mereka di kalangan masyarakat Indonesia keseluruhan.

Orang-orang yang berasal dari daratan Tiongkok telah hadir di kepulauan Nusantara sejak berabad – abad lalu, bahkan sebelum para pelaut Eropa datang di wilayah ini.  Namun gelombang migrasi dalam skala yang cukup besar memasuki wilayah Nusantara saat kepulauan tersebut berada di bawah kolonialisme Belanda. Ruang perjumpaan yang telah terjadi selama berabad-abad itu telah melahirkan akulturasi kebudayaan yang membentuk jati diri orang Tionghoa Indonesia. Kuatnya identitas diri mereka sebagai orang Tionghoa Indonesia, dan bukan sebagai warga dari sebuah entitas politik di daratan Cina, seyogyanya cukup untuk mementahkan pandangan yang menganggap Tionghoa sebagai asing. Namun sayangnya, stigma sebagai asing, sebuah stigma yang sejatinya merupakan hasil konstruksi politik era penjajahan,  tetap melekat pada orang – orang Tionghoa di Indonesia, betapa pun mereka memiliki andil yang tak kecil  dalam proses pembentukan kebangsaan Indonesia.

Studi mengenai politik peranakan di Jawa, yang tulis oleh Leo Suryadinata pada tahun 1979, sebenarnya cukup untuk memperlihatkan bahwa komunitas Tionghoa di Indonesia bukan melulu terdiri dari orang – orang yang menganggap diri asing dan selalu berorientasi pada daratan Cina. Pandangan politik para elit komunitas Tionghoa pada dasawarsa – dasawarsa awal abad yang lalu terpecah menjadi dua kubu, yaitu mereka yang berorientasi pada Cina, bersimpati pada pemerintah Republik Tiongkok yang baru berdiri, dan memilih untuk menjadi warga negaranya, dengan mereka yang berorientasi pada politik di tempat di mana mereka tinggal. Mereka yang berorientasi pada Cina banyak mengemukakan pandangan mereka melalui Sinpo, sebuah surat kabar milik pengusaha Tionghoa, yang nampaknya mendukung pandangan di atas. Yang menarik, sekalipun menjadi wahana bagi pandangan politik yang berorientasi pada daratan Cina, Sin Po memainkan peran yang cukup besar dalam penyebarluasan bibit-bibit anti penjajahan dan bibit nasionalisme di kalangan “Pribumi,” sebuah istilah yang merujuk pada orang – orang yang telah menjadi penduduk asli wilayah nusantara sebelum kedatangan bangsa Eropa. Misalnya, sebagai disampaikan oleh sejarahwan Asvi Warman Adam, Sin Po berani menerbitkan lirik dan lagu “Indonesia Raya” karangan W.R Supratman, jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Tindakan yang tentunya tak sejalan dengan pemerintah kolonial Belanda ini tentu patut untuk kita ingat dan apresiasi.

Pandangan politik yang berorientasi pada Hindia Belanda pun terpecah. Sebagian menginginkan etnik Tionghoa menjadi warga negara Hindia Belanda. Sebagian lainnya, mendukung perjuangan kebangsaan Indonesia. Yang terakhir ini antara lain membentuk Partai Tionghoa Indonesia (PTI), partai Tionghoa pertama yang secara terang-terangan menyatakan sikap politiknya yang mendukung nasionalisme Indonesia, yang dimotori oleh para pegiat ‘Pribumi.’ PTI didirikan di Surabaya oleh Liem Koen Hian pada tahun 1932. Partai ini menjadi kanal aspirasi bagi orang Tionghoa peranakan, yaitu mereka yang telah bercampur dengan masyarakat lokal tempat mereka berada, baik secara budaya maupun melalui perkawainan campur. Masih menurut Leo Suryadinaya, PTI bahkan tidak memperbolehkan kaum Tionghoa totok, yaitu mereka yang baru berimigrasi dari Cina dan memiliki orientasi yang sangat kuat dengan Cina, untuk menjadi anggotanya. Pasca kemerdekaan Indonesia, suara dari kalangan tokoh Tionghoa yang menganjurkan orang – orang Tionghoa menjadi bagian dari bangsa Indonesia dan berpartisipasi aktif dalam politik negeri ini makin menguat. Sebagaian dari tokoh Tionghoa tersebut mendirikan Badan Permusyawartan Kewarganegaraan Indonesia, yang dikenal luas dengan akronimnya, yaitu Baperki. Di bawah pimpinan ketuanya, Siaw Giok Tjan, Baperki meletakan dasar penting dalam perdebatan mengenai komunitas Tionghoa di Indonesia. Bagi Baperki, orang Tionghoa Indonesia adalah bagian dari bangsa Indonesia, sebagaimana keberadaan suku-suku lain yang ada di wilayah Indonesia. Tionghoa adalah salah satu identitas kesukuan Indonesia, sehingga orang Tionghoa tidak perlu menghilangkan jati dirinya agar bisa menjadi bagian dari Indonesia.  Di luar tokoh – tokoh dan organisasi – oganisasi di atas, masih terdapat sangat banyak nama – nama Tionghoa yang telah mewarnai kehidupan berbangsa di Indonesia. Mereka berkontribusi bukan hanya di bidang bisnis, seperti stereotip yang dilekatkan pada mereka, tetapi juga pada bidang pendidikan, hukum, bahkan militer. Bahkan semasa pemerintahan Orde Baru pun, tak sedikit tokoh Tionghoa berperan sangat penting dalam bidang seni dan budaya nasional Indonesia. Sayangnya, sebagai dicatat oleh Profesor Ariel Heryanto, tema terkait etnik Tionghoa seolah hilang dari budaya populer di Indonesia di sepanjang masa Orde Baru. Tema yang berhubungan dengan etnik Tionghoa baru muncul kembali di masa – masa akhir pemerintahan Orde Baru, dan makin marak setelah Indonesia memasuki era reformasi.

Sejak memasuki era pasca Orde Baru, seiring dengan makin meningkatnya iklim demokrasi di Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa dalam dunia politik, sosial, dan seni budaya pun semakin meningkat. Tionghoa bukan hanya berperan dalam membangun wajah Indonesia pasca Suharto yang bersifat multikultural dan mengedepankan toleransi antar etnik melalui kegiatan sosial dan politik, seperti yang dilakukan oleh organisasi – organisasi semacam Perhimpunan INTI, Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), dan oleh para politisi Tionghoa yang tersebar dalam pelbagai partai politik yang berbeda – beda.  Namun mereka juga berperan melalui keterlibatan mereka dalam dunia seni budaya, seperti yang dilakukan oleh beberapa sutradara dan penulis yang beralatar belakang etnik Tionghoa. Melihat makin pentingnya kontribusi etnik Tionghoa bagi bangsa Indonesia dalam segala bidang dewasa ini, pertanyaan mengenai loyalitas mereka sejatinya sudah merupakan pertanyaan yang usang.

Namun sayangnya, pertanyaan usang tersebut masih sering dilontarkan kembali, baik di kalangan elit maupun rakyat kebanyakan. Sebagai contoh, survey yang dilaksanakan oleh sebuah lembaga riset dari negeri jiran pada 2017 lalu, yang menyasar masyarakat Indonesia dalam skala nasional, memperlihatkan bahwa sebanyak 47,9 persen responden beranggapan bahwa orang Tionghoa masih memiliki loyalitas kepada ‘negeri leluhur.’ Tingginya angka responden yang berpandangan di atas tentu menjadi tantangan tersendiri bagi para pegiat Tionghoa yang sedang berjuang untuk melawan stereotip yang mempertanyakan nasionalime keindonesiaan mereka. Tantangan yang tak kalah penting juga datang dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), negara yang berkuasa di daratan Cina. Sebagai dikemukakan Leo Suryadinata dalam salah satu buku beliau, RRT akhir – akhir ini kembali memperlihatkan minat untuk mendekati etnik Tionghoa seberang lautan, termasuk Tionghoa Indonesia, untuk kepentingan mereka. Terhadap Tionghoa Indonesia, upaya RRT di atas terlihat, antara lain, dalam himbauan mereka agar Tionghoa menjadi jembatan bagi hubungan antara Indonesia dan RRT. Mengingat upaya RRT tersebut berpotensi membangkitkan kembali kecurigaan di kalangan masyarakat dan elit “Pribumi,” maka etnik Tionghoa perlu untuk menyikapinya dengan hati – hati dan bijaksana.