Problem Penuaan Penduduk di China: Warisan Sejarah Yang Belum Tuntas

Problem Penuaan Penduduk di China: Warisan Sejarah Yang Belum Tuntas

Di balik gegap gempita kebangkitan China sebagai raksasa baru ekonomi dunia dari Asia, China memiliki sejumlah persoalan sosial. Di antara persoalan-persoalan itu adalah isu terkait hak asasi manusia, kebebasan berekspresi dan berpendapat, krisis iklim dalam bentuk bencana gelombang panas, serta persoalan dalam aspek demografi. Tayangan video dokumenter berjudul Is China Ready To Be Old?  dari ABC News  pada 1 September 2022 lalu memotret salah satu dari persoalan sosial tersebut, yakni ketimpangan demografi penduduk yang serius. Video tersebut memperlihatkan bagaimana China menghadapi fenomena penuaan penduduk karena penduduk lanjut usia (lansia) di negara itu memiliki populasi yang besar. Berdasarkan rasio persebaran penduduk, saat ini warga berusia lebih dari 60 tahun memiliki populasi lebih banyak daripada usia muda, yaitu hampir 18,9 persen dari total populasi China. Bila tren seperti ini terus berlangsung, diperkirakan pada tahun 2050 penduduk usia lanjut (lansia) yang berusia lebih dari 65 tahun di China akan mencapai seperempat dari total jumlah penduduk. Mengingat menurut standar PBB suatu negara yang memiliki lebih dari 7 persen populasi usia di atas 65 tahun dianggap telah mengalami penuaan, maka pada tahun di atas China akan menjadi salah satu negara yang mengalami penuaan. Apa yang menyebabkan terjadinya pembengkakan populasi usia tua di China? Apa dampak fenomena tersebut bagi masyarakat dan pemerintah China? Upaya apa yang telah dilakukan oleh pemerintah China untuk menanggulangi persoalan ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan menjadi fokus dari tulisan ini.

Kebijakan Satu Anak Era Deng Xiaoping

Lonjakan populasi penduduk usia 60 tahun atau lebih di China dapat ditelusuri kembali hingga ke periode ketika China berada di bawah kepemimpinan Mao Zedong dan sesudahnya, yaitu ketika Deng Xiaoping berkuasa di negeri itu. Di era Mao Zedong, pemerintah China mengeluarkan kebijakan pro-natalis yang mendorong keluarga di China untuk memiliki anak dalam jumlah banyak. Bagi Mao, tingginya jumlah penduduk berpengaruh pada besarnya kekuatan. Untuk mendukung pertumbuhan penduduk, Mao membuat kebijakan pemberian upah kerja tidak berdasarkan produktivitas, melainkan berdasarkan jumlah pekerja. Akibatnya, penduduk China mengalami lonjakan, namun tidak diikuti dengan pertumbuhan ekonomi yang baik. Masyarakat China justru hidup dalam kemiskinan. Belakangan, di masa kepemimpinannya, Deng Xiaoping justru membuat kebijakan sebaliknya. Bagi Deng, keadaan negara yang morat-marit pasca-Revolusi Kebudayaan Mao bisa ditangani antara lain dengan mengurangi jumlah penduduk. Baginya, penahanan laju pertumbuhan penduduk berbanding lurus dengan upaya peningkatan taraf ekonomi China. Oleh karena itu, sejak 1979 Deng membuat kebijakan untuk membatasi jumlah kelahiran anak, sebuah kebijakan yang kemudian dikenal sebagai “Kebijakan Satu Anak”. Kebijakan ini dijalankan dengan ketat, bahkan dengan menerapkan sanksi denda bagi yang melanggarnya. Hal ini menyebabkan terjadinya banyak aborsi, yang dilakukan demi menghindari denda. Selain itu, preferensi orang tua terhadap anak laki-laki, yang dalam budaya tradisional China dianggap lebih berharga, menyebabkan terjadinya banyak pembunuhan pada bayi-bayi perempuan dan berbagai tindakan diskriminatif lainnya. Selama tiga dekade penerapannya, kebijakan tersebut memang terbukti efektif dalam mengontrol pertumbuhan penduduk negeri tersebut.

Namun di sisi lain, kebijakan satu anak ini juga menciptakan ketidakberimbangan jumlah laki-laki dengan jumlah perempuan. Ia juga mengakibatkan ketidaksembingan antara usia penduduk: jumlah populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun menjadi lebih banyak daripada penduduk usia kerja. Oleh karenanya, sebagai respons dari munculnya kedua problem sosial yang diakibatkan oleh “Kebijakan Satu Anak” itu, pemerintah China melonggarkan penerapan kebijakan tersebut, terutama di daerah pedesaan. Pelonggaran itu memperbolehkan penduduk di pedesaan memiliki anak lebih dari satu apabila anak pertama adalah perempuan. Belakangan, kebijakan itu diperluas dengan memperbolehkan pasangan suami istri yang merupakan anak tunggal untuk memiliki dua anak. Tidak lama kemudian, kebijakan itu bahkan dilonggarkan lebih lanjut, yaitu dengan mengizinkan keluarga mempunyai dua anak apabila salah satu dari orang tua adalah anak tunggal. Pada akhirnya, pada tahun 2015 “Kebijakan Satu Anak” tersebut resmi dihapuskan.

Ilustrasi (Chinas One Child Policy). Sumber : berdikarionline.com

Problem Demografi Peninggalan “Kebijakan Satu Anak.”

Meski pemerintah pada akhirnya menghapuskan “Kebijakan Satu Anak,” dampak yang diakibatkan oleh kebijakan yang telah dilaksanakan dalam kurun tiga dekade itu telah terlanjur berakar dalam masyarakat. Kebijakan itu antara lain tidak terlalu mempengaruhi tingkat pertumbuhan populasi. Pasalnya, sejumlah besar generasi muda yang pernah terpengaruh kebijakan itu tidak berminat untuk memiliki keturunan. Sementara itu, membengkaknya jumlah populasi lansia berimbas pada pembengkakan biaya jaminan pensiun dan kesehatan, seperti dilaporkan dalam artikel berjudul “China population: pension burden in the spotlight as more than a third of provinces have 20 percent of population aged above 60.” Padahal, pemasukan dana pensiun berkurang karena jumlah angkatan kerja yang sedikit. Problem lainnya, sebagaimana dibahas dalam tayangan video di awal tulisan ini, adalah ancaman kesehatan yang nyata bagi generasi lansia tersebut, yaitu penyakit demensia. Kondisi seperti digambarkan di atas berpotensi menjadi ancaman pula bagi perekonomian China.

Upaya Solusi Pemerintah

Untuk menanggulangi pembengkakan biaya di atas, pemerintah China menerapkan beberapa upaya solusi. Salah satunya adalah rencana pemerintah untuk menaikan usia pensiun. Solusi lain yang sudah dilaksanakan adalah menerbitkan Undang-undang (UU) Perlindungan Hak dan Kepentingan Lansia. Berdasarkan UU tersebut, generasi muda wajib menyokong kebutuhan finansial dan kesehatan orang tua mereka. Dengan kata lain, orang tua dan segala kebutuhannya menjadi beban dan tanggung jawab keluarga, khususnya anak-anak yang telah dewasa. Bahkan, adanya peraturan ini memungkinkan orang tua di China untuk menuntut anak mereka ke jalur hukum apabila sang anak lalai dalam menjalankan kewajiban merawat orang tua.

Kehadiran UU di atas tentu sangat menarik, dan tampaknya berakar pada  ajaran Konfusianisme, yang antara lain menekankan ”konsep bakti” ( filial piety).  Bakti, yang dalam Bahasa Mandarin disebut 孝 (xiào) mengharuskan anak-anak untuk berbakti kepada orang tua dan orang yang lebih tua dalam keluarga, seperti kakek nenek atau saudara yang lebih tua. Wujud tindakan berbakti kepada orang tua adalah menuruti keinginan orang tua, merawat orang tua, hingga memberikan dukungan finansial. Tujuan di balik peraturan ini ialah untuk melonggarkan beban pemerintah China yang kewalahan menangani jumlah generasi lansia di negara tersebut.

Namun, kehadiran UU di atas juga berpotensi membebani generasi muda pekerja di China saat ini, yang sudah dihadapkan dengan berbagai tantangan di dunia kerja. Salah satunya adalah budaya kerja “996” yang tengah melanda pekerja di China. Budaya kerja lebih dari 12 jam, dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam selama 6 hari dalam seminggu, itu membuat generasi muda kekurangan jam istirahat dan juga kekurangan waktu untuk mengurus orang tua atau untuk melanjutkan keturunan. Oleh karenanya, ke depan pemerintah China perlu mempertimbangkan pencarian solusi yang lebih baik bagi penanggulangan penuaan penduduk ini.

Junianti Hutabarat adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *