Menakar Ulang Kuasa Lunak Tiongkok di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis

Menakar Ulang Kuasa Lunak Tiongkok di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis

Pada tanggal 20 Mei lalu, FSI kembali mengadakan seminar hibrid yang bertajuk “Menakar Ulang Kuasa Lunak Tiongkok di Indonesia: Sebuah Tinjauan Kritis.” Dalam seminar tersebut, FSI mengundang dua orang pembicara yakni Dr. R. Tuty Nur Mutia, seorang dosen senior Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya dari Universitas Indonesia dan Johanes Herlijanto, seorang dosen dari Universitas Pelita Harapan dan Ketua Forum Sinologi Indonesia.

Seminar pada hari Sabtu itu dibuka dengan kata sambutan dari Prof. A. Dahana, selaku pendiri dan pembina FSI. Dalam sambutannya Prof Dahana membahas kekuatan kuasa lunak yang dijalankan China akhir ini untuk mempengaruhi rakyat dan pemerintah negara lain, salah satunya melalui Institut Konfusius (Confucius Institute/CI) yang didirikan di berbagai universitas umum dan berlatar belakang agama (terutama Islam). Melalui CI ini, China memberikan para mahasiswa beasiswa untuk belajar ke China. Tindakan ini dinilai berhasil oleh Prof Dahana, para siswa tersebut berhasil menjadi corong untuk menyebarkan kehebatan China kepada masyarakat umum setelah kembalinya mereka ke Indonesia. Namun yang perlu diusut menurut Prof Dahana adalah tujuan China dalam melaksanakan kuasa lunak. Ada yang berpendapat China menjelma sebagai kekuatan imperialisme budaya, namun sikapnya dalam kasus klaim tumpang tindih Laut China Selatan, seperti Natuna sangat kontroversial. Sehingga, Prof Dahana menegaskan kita untuk memandang kritis kegiatan yang dilakukan China, menghargai usahanya namun mengkritik hal-hal yang memang tidak cocok dengan aturan pergaulan antar bangsa Indonesia.

Dilanjutkan dengan Dr. Tuty yang membahas artikel penelitian yang pernah ditulisnya. Dalam tulisannya Dr. Tuty menjelaskan awal mula dari kuasa lunak ini. Berawal dari keinginan Hu Jintao untuk menepis teori-teori anti China yang muncul karena perkembangan China yang signifikan, serta membuat China diterima oleh masyarakat. Dalam usahanya ini, Hu Jintao mengandalkan budaya china melalui penyebaran budaya dan bahasa. Yang kemudian keinginan Hu Jintao ini dipertegas di masa pemerintahan Xi Jinping. Dr. Tuty kemudian menjelaskan ketiga implementasi kuasa lunak yang menjadi fokus pengamatan dalam tulisannya, yaitu beasiswa terutama untuk para santri, Institut Konfusius atau Pusat Bahasa Mandarin (PBM), dan komunitas bisnis Tionghoa. Melalui pengamatannya dalam tiga fokus tersebut, RRT belum berhasil untuk meningkatkan citra positifnya di kalangan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan implementasi yang digunakan cenderung berpusat pada kehadiran dan kebijakan pemerintah China sehingga mengurangi peran aktor non-negara. Ditambah dengan narasi yang cenderung mengedepankan keunggulan yang terkesan sebagai upaya sinofikasi. 

Mendukung penjelasan Dr. Tuty, Johanes menjelaskan tujuan kuasa lunak China pada beberapa tulisan. Dimana tertulis tujuannya adalah untuk mempengaruhi komunitas kebijakan dalam perdebatan konsekuensi kebangkitan China, memperkenalkan nilai-nilai, mengurangi retorika negatif, memperbaiki image, memperlihatkan status dan pengaruh, dan meningkatkan daya saing internasional. Johanes menyebutkan implementasi tersebut terlihat seolah membuahkan hasil, walaupun keberhasilan itu dilatarbelakangi hal-hal lain selain implementasi kuasa lunak oleh China. Sebaliknya China justru menghadapi beberapa tantangan dalam implementasi tersebut, yakni kasus muslim di Xinjiang, insiden ZEE Indonesia di perairan Natuna, Jangkauan yang terbatas dari Konfusius Institut, dan keengganan Tionghoa Indonesia untuk diidentifikasikan dengan Tiongkok; khususnya kalangan muda Tionghoa yang menekankan diri sebagai Chinese Indonesia / Chindo.