Haruskah Kita Khawatir dengan Rilis Peta Baru China?

Haruskah Kita Khawatir dengan Rilis Peta Baru China?

Beberapa bulan berselang, Republik Rakyat China (berikutnya disebut sebagai RRC atau China saja) merilis apa yang oleh negara itu disebut sebagai peta standar China edisi 2023. Tak lama setelah peta tersebut diluncurkan di situs milik Kementerian Sumber Daya Alam RRC, serangkaian protes muncul dari beberapa negara di kawasan Asia Timur, Asia Tenggara, bahkan Asia Selatan. Pasalnya, peta baru RRC tersebut mencakup beberapa bagian dari wilayah negara-negara tersebut. Arunachal Pradesh dan Aksai Chin, misalnya, telah diakui di dalam peta tersebut sebagai milik RRC. Padahal, kedua wilayah di atas masih berstatus sengketa dengan India.1 Sementara itu, di perairan Laut China Selatan (LCS), RRC secara sepihak menganggap wilayah-wilayah perairan yang berdasarkan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa mengenai Hukum Laut (UNCLOS) merupakan wilayah kedaulatan ataupun bagian dari zona ekonomi eksklusif (ZEE) beberapa negara anggota Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) sebagai milik China. Terang saja, klaim unilateral RRC ini memicu protes dari Filipina, Vietnam, dan Malaysia. Sedangkan ke arah timur, peta baru China di atas semakin mempertegas klaim kewilayahan sepihak RRC, dengan menambahkan sebuah garis putus-putus di bagian timur Taiwan. Ini menyebabkan klaim yang dahulu ditandai dengan sembilan garis putus putus berbentuk huruf U itu kini mulai dikenal sebagai “sepuluh garis putus-putus.”2 Selain itu, Kepulauan Senkaku, yang oleh RRC disebut sebagai Pulau Diaoyu, pun diakui dalam peta baru di atas sebagai sepenuhnya milik RRC. Akibatnya, Jepang, yang secara de facto menguasai kepulauan yang masih berstatus sengketa dengan China itu, juga mengajukan protes atas klaim unilateral yang tergambar dalam peta baru itu.3

Tindakan RRC merilis peta baru di atas juga menjadi perhatian bagi Indonesia. Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi memberi tanggapan dengan menyatakan bahwa, “penarikan garis [teritorial] apa pun, klaim apa pun, harus sesuai dengan UNCLOS 1982 (Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982).”4 Indonesia memang berada pada posisi yang sedikit berbeda dari Filipina, Vietnam, dan Malaysia, karena Indonesia tidak berpartisipasi dalam sengketa wilayah di LCS, dan selalu konsisten dengan pendirian sebagai non-claimant itu.5 Meski demikian, setidaknya sejak lebih dari sepuluh tahun lalu, milisi maritim China, kapal Penjaga Pantai, kapal survei, dan bahkan kapal Angkatan Laut RRC sering kali memasuki  ZEE Indonesia, tepatnya di perairan yang saat ini bernama Laut Natuna Utara. Tak hanya merambah masuk, pihak RRC juga sering kali menyampaikan pernyataan yang mengakui bahwa ZEE Indonesia di atas merupakan daerah di mana China memiliki “hak historis.” RRC bahkan memasukkan sebagian ZEE Indonesia itu ke dalam wilayah China di dalam peta yang baru dirilis tersebut.

Menariknya, China malah membujuk negara-negara tetangganya untuk tidak merespons secara berlebihan terhadap peluncuran peta yang di dalamnya tergambar pengakuan China terhadap sebagian wilayah milik sejumlah negara tersebut, baik yang berstatus sengketa maupun tidak. Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin meminta negara-negara tersebut untuk “tetap objektif dan tenang, dan menahan diri agar tidak menafsirkan masalah ini secara berlebihan.”6 Tetapi bagaimana kita harus menafsirkan dimasukkannya wilayah negara lain ke dalam peta yang diyakini China sebagai cerminan wilayah negara mereka? Apa maksud China dengan memasukkan daerah-daerah itu ke dalam peta? Dan mengapa pemerintah China merilis peta hanya beberapa hari sebelum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, KTT Asia Timur, dan KTT G20 diadakan? Pertanyaan-pertanyaan ini menarik untuk diajukan. 

Terlepas dari bujukan Kementerian Luar Negeri China agar tetangga-tetangganya tetap tenang, respons keras dari negara-negara yang wilayahnya telah diklaim sebagai milik China di peta baru negara itu harus dianggap bukan hanya sebagai respons yang tepat, tetapi juga penting dalam menghadapi klaim sepihak China. Percaya bahwa China tidak bersungguh-sungguh ketika memasukkan daerah-daerah itu ke dalam peta sebagai wilayahnya merupakan sebuah sikap yang salah dan berbahaya. Kita harus menghubungkan rilis peta dengan rilis standar terbaru untuk peta oleh kementerian yang sama pada Februari 2023. Menurut salah satu media China, Global Times, standar tersebut menetapkan bahwa “peta China harus selalu secara akurat mencerminkan ruang lingkup wilayah China.” Jadi, ketika sekitar 6 bulan kemudian China merilis “peta barunya,” itu artinya China memang percaya bahwa semua wilayah yang diklaim sebagai wilayah China di peta tersebut memang milik China.7  

Keyakinan semacam itu menimbulkan kekhawatiran karena berpotensi untuk diikuti dengan upaya untuk mengaktualisasikan otoritasnya di wilayah-wilayah yang diklaim itu. Upaya tersebut telah terjadi di tahun-tahun yang telah lewat, dan sangat mungkin terjadi lagi di masa datang. Dalam kasus LCS, aktivitas yang oleh sebagian pengamat dijuluki sebagai strategi “gray zone” yang telah diterapkan China pada Filipina, Vietnam, dan Indonesia adalah contoh nyata dari upaya itu.8

Hal lain yang juga mengkhawatirkan adalah penambahan sembilan garis putus-putus dalam peta China yang baru dirilis itu menjadi sepuluh garis putus-putus. Ini menunjukkan bahwa China dapat secara sepihak memperluas wilayahnya dengan mengklaim wilayah lain. Jika ini terjadi hari ini, apa yang membuat kita percaya bahwa itu tidak akan terjadi di masa depan?

Oleh karena itu, protes keras yang dilayangkan oleh negara-negara yang terkena dampak rilis peta baru di atas adalah respons tepat. Akan tetapi, protes itu perlu dibarengi dengan kerja sama di antara negara-negara terdampak untuk bergandengan tangan melawan tindakan melanggar hukum yang mungkin diluncurkan China di masa depan. Pada saat yang sama, setiap negara yang terkena dampak juga harus meningkatkan posisi tawarnya, baik secara ekonomi, diplomatik, atau bahkan dalam aspek keamanan. Upaya meningkatkan kapasitas militer dari negara-negara di atas, termasuk Indonesia, sangat penting untuk dilakukan demi mempersiapkan diri menghadapi skenario terburuk yang mungkin terjadi di masa depan. 


Referensi:

  1. I Made Andi Arsana, “Memprotes Peta Baru China,” Kompas.id, 7 September 2023, https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/06/memprotes-peta-baru-china.
  2. BBC News, “Peta Baru China: Mengapa Aksi China Menuai Kontroversi, dan Haruskah Indonesia Khawatir?” 1 September 2023, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-66668869.
  3. ohn P Ruehl, “Why China’s new map has stirred regional tensions,” Asia Times, 17 Oktober 2023, https://asiatimes.com/2023/10/why-chinas-new-map-has-stirred-regional-tensions/.
  4. Erta Darwati, “Menlu Retno Respons Soal Peta Baru China yan Caplok Wilayah Indonesia,” Bisnis.com, 31 Agustus 2023, https://kabar24.bisnis.com/read/20230831/15/1690127/menlu-retno-respons-soal-peta-baru-china-yang-caplok-wilayah-indonesia.
  5. Ibid.
  6. CNN Indonesia, “China Respons Protes India soal Peta Baru: Tetap Objektif dan Tenang,” 31 Agustus 2023, https://www.cnnindonesia.com/internasional/20230831091734-113-992760/china-respons-protes-india-soal-peta-baru-tetap-objektif-dan-tenang.
  7. Global Times, “China Releases Latest Standards for Maps, Requiring accurate Reflection of State Territory,” 15 Februari 2023, https://www.globaltimes.cn/page/202302/1285475.shtml.
  8. Muhammad Syahrianto (ed.)., “Gray Zone Operation China Ancam Kedaulatan, Pakar: Indonesia Harus Belajar dari Filipina,” Warta Ekonomi, 28 Februari 2023, https://wartaekonomi.co.id/read483413/gray-zone-operation-china-ancam-kedaulatan-pakar-indonesia-harus-belajar-dari-filipina.