Media dan Soft Power China di Indonesia

Media dan Soft Power China di Indonesia

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, tepatnya pada tahun-tahun awal sejak pergantian abad, wacana mengenai kebangkitan China menjadi sebuah topik hangat yang kerap dibicarakan oleh para sarjana dan pemerhati China di dunia internasional. The Beijing Consensus yang ditulis oleh Joshua Cooper Ramo, Charm Offensive karya Joshua Kurlantzick, The Dragon Looks South tulisan Bronson Percival, When China Rules the World karya Martin Jaques, dan buku David Lampton yang berjudul The Three Faces of Chinese Power adalah beberapa dari sejumlah tulisan para sarjana Barat yang membahas mengenai fenomena kebangkitan China dan dampaknya bagi dunia global. Seiring dengan terbitnya karya-karya di atas, wacana mengenai kuasa lunak (soft power) China mulai dikenal dan dibicarakan secara luas. Meski berbeda dari konsep kuasa lunak yang digagas oleh Joseph Nye—China masih mengandalkan kekuatan ekonomi untuk mengembangkan power nya di negara-negara berkembang—namun pemerintah RRC juga berupaya untuk mempengaruhi pikiran dari masyarakat di negara-negara tersebut. Nampaknya, upaya mempengaruhi inilah yang membuat Theodor Tudoroiu menyebut China sebagai “kekuatan normatif” (normative power), yaitu sebuah kekuatan yang berupaya membentuk norma agar sesuai dengan kepentingannya.

Upaya China untuk membentuk norma dan mempengaruhi baik kelompok elit maupun masyarakat luas juga berlangsung di Indonesia. Selain menggunakan kekuatan finansial, khususnya melalui investasi di bidang infrastruktur dan pertambangan, China juga berupaya menanamkan pengaruhnya melalui bidang-bidang budaya. Pembangunan Institut Konfusius di beberapa perguruan tinggi di Indonesia serta pemberian beasiswa bagi berbagai kelompok masyarakat di Indonesia adalah beberapa strategi yang diterapkan oleh China untuk menanamkan kuasa lunaknya di Indonesia. Strategi lain yang tak kalah penting adalah melalui media. Bagaimana China berupaya menanamkan pengaruhnya melalui media di Indonesia? Sikap apa yang seharusnya diambil oleh masyarakat kita? Artikel ini mencoba mendiskusikan hal hal di atas.

Strategi Media China di Indonesia

Strategi media yang diterapkan oleh China di Indonesia pada hakikatnya merupakan bagian dari strategi media yang telah mulai dibangun sejak tahun 2000-an. Sebagaimana dituliskan oleh Paul Charon dan Jean Baptiste Jeangene Vilmer dalam sebuah buku yang terbit pada tahun 2021, tahun 2008 merupakan titik penting bagi hadirnya media China di berbagai belahan dunia. Menurut mereka, pada tahun tersebut, Beijing merumuskan rancangan satu dasawarsa untuk memperkuat citra China di dunia, dan mengucurkan dana sebesar 10 milyar yuan pertahun untuk mengejawantahkan rancangan tersebut. Dana itu mereka gunakan untuk memperkuat agen-agen berita mereka, termasuk di antaranya kantor berita Xinhua, jaringan televisi CCTV, Harian China (China Daily), Global Times, dan China Radio International (CRI). Kepada media-media tersebut dibebankan tanggung jawab untuk menyampaikan berita-berita positif tentang negara. Sebagai dikutip oleh kedua penulis di atas, pada tahun 2016, Presiden Xi Jinping menyatakan bahwa, “All news media run by the party must work to speak for the party’s will and its propositions, and protect the party’s authority and unity” (Semua media berita yang dikelola  oleh partai harus bekerja untuk berbicara demi keinginan partai dan rencananya, dan [demi] menjaga otoritas dan persatuan partai). Masih menurut kedua penulis tersebut, upaya Beijing mempengaruhi masyarakat melalui media tidak berhenti di ujung batas-batas negara. Mereka juga berupaya menanamkan citra positif China di berbagai belahan dunia, antara lain melalui upaya pengawasan terhadap media berbahasa Mandarin di berbagai negara, dan upaya mempengaruhi melalui berbagai kerja sama dengan media-media asing.

Upaya di atas nampaknya juga China terapkan di Indonesia. Dalam kurang lebih satu dasawarsa terakhir, RRC telah melakukan berbagai usaha untuk menghadirkan informasi yang ramah terhadap China di Indonesia. Namun berbeda dengan masa lampau, ketika siaran dari China hanya dapat menjangkau sebagian penutur bahasa Mandarin di Indonesia melalui kanal CCTV yang diterima menggunakan satelit, dewasa ini China justru berupaya menjangkau penutur Bahasa Indonesia. Secara umum strategi China dapat dibedakan menjadi dua strategi yang saling berkaitan. Yang pertama, media China berupaya hadir di Indonesia dengan cara menggandeng arus utama di tanah air. Kedua, China berupaya memenjangkau khalayak di Indonesia melalui media sosial.

Ilustrasi gambar Media dan Soft Power China di Indonesia, Sumber : static.ffx.io

Kerja sama antara media China dengan media di Indonesia sebenarnya telah berlangsung cukup lama. Kerja sama stasiun TV asal China dan Indonesia, misalnya, dapat ditelusuri kembali setidaknya hinggal 2007. Pada tahun tersebut, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dan stasiun TV Provinsi Guangzhou menandatangani kerja sama yang merupakan tindak lanjut dari pertemuan tingkat tinggi ASEAN yang juga dihadiri oleh China di Bali. Kerja sama tersebut merupakan upaya kedua belah pihak untuk saling mempromosikan diri.  Kerja sama antara TVRI dengan media China terus berlanjut hingga tahun 2018 yang lalu, ketika China Media Group (CMG) menandatangani kerja sama dengan TVRI untuk membuka jalan bagi penayangan sebuah drama seri asal China, Feather Flies to the Sky di TVRI. Sebelum tayang, drama seri tersebut terlebih dahulu dialihsuarakan ke dalam Bahasa Indonesia. Dua tahun kemudian, giliran Guangxi Radio and Television Information Network Corp menandatangani kerja sama dengan TVRI untuk menyiarkan serial drama China dan film dokumenter berjudul “Miracle China” di Indonesia.

Selain televisi, radio asal China juga aktif melakukan kerja sama dengan sejawat mereka di Indonesia. China Radio International (CRI), misalnya, sudah bekerja sama dengan sejumlah media nasional, seperti Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, Tempo, Jawa Pos, dan Radio Elshinta. Kerja sama antara CRI dengan Radio Elshinta malahan telah berlangsung sejak 2010.  Namun selain bekerja sama untuk menyiarkan program mereka pada platfaorm radio, CRI juga mengelola sebuah laman dalam Bahasa Indonesia. Melalui platform online ini, mereka menyiarkan program berbahasa Indonesia, antara lain ORBIT (Obrolan Santai Serba Serbi Tiongkok) dan Pedoman Muslim. Yang terakhir ini merupakan daftar nama restoran halal dan masjid di Beijing dan sekitarnya, serta panduan untuk mencapai tempat tersebut

Selain platform tradisional, media asal RRC juga berupaya menjangkau publik Indonesia melalui platform media baru. Mereka memakai media sosial Twitter dan Facebook untuk menjangkau publik Indonesia dengan menyiarkan berita-berita berbahasa Indonesia. Akun Twitter Xinhua Indonesia dibuat pada Juli 2015, dan menurut Muhammad Zulfikar Rakhmat sudah diikuti lebih dari 64 ribu orang. Akun ini termasuk sangat aktif membagikan cuitan berupa video dan berita foto, sampai sekarang sudah mencuit lebih dari 100 ribu kali, dengan rata-rata 20-an cuitan per hari. Masih menurut Rakhmat, di antara berita yang dibagikan melalui akun tersebut, seringkali terdapat terjemahan Bahasa Indonesia dari pidato Presiden Xi Jinping, Pandangan China terkait penyatuan Taiwan dan China, serta bagaimana Indonesia memperoleh keuntungan dari program Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI, Belt and Road Initiative). Sementara itu, halaman resmi Xinhua Indonesia di Facebook dibuat pada November 2015, dan sampai sekarang sudah diikuti oleh lebih dari 90 ribu orang. Akun ini juga terbilang aktif membagikan foto berita dan video yang sebagian besar sama dengan yang dibagikan di akun Twitter.

Dampak bagi Masyarakat

Upaya yang sangat aktif dari China untuk menjangkau masyarakat Indonesia melalui berbagai platform media tentu tak lepas dari strategi negara tersebut untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia. Sebagaimana tersirat dalam sebuah pernyataan kepala biro Jakarta dari Kantor Berita Xinhua, Yu Qianliang, pada tahun 2019, hadirnya media China di Indonesia nampaknya merupakan upaya China untuk menyediakan alternatif bagi berita tentang negeri tersebut yang disuguhkan oleh Reuters atau Kantor Berita Perancis AFP. Sementara itu, film-film yang ditayangkan melalui kerja sama antara stasiun TV China dan Indonesia tentu sedikit banyak mengandung nilai-nilai yang dipromosikan oleh pemerintah RRC. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kehadiran berbagai platform media asal China di Indonesia, baik dalam bentuk program berita maupun hiburan, merupakan alat bagi upaya menanamkan kuasa lunak China di Nusantara. Oleh karenanya, penting bagi masyarakat Indonesia untuk tetap mempertahankan sikap kritis dalam mengonsumsi berita maupun konten hiburan dari China tersebut. Sikap kritis tersebut dapat dipertahankan, misalnya, melalui upaya untuk menyeimbangkan informasi dari negeri Panda tersebut dengan informasi yang berasal dari sumber-sumber yang bebas dari pengawasan pemerintah RRC.

Johanes Herlijanto adalah dosen jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, dan ketua Forum Sinologi Indonesia

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *