Shanghai Cooperation Organization (SCO) Sebagai Platform Diplomasi China

Shanghai Cooperation Organization (SCO) Sebagai Platform Diplomasi China

Presiden Tiongkok Xi Jinping berfoto bersama dengan para pemimpin dan tamu lain menjelang pertemuan ke-22 Dewan Kepala Negara Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Samarkand, Uzbekistan, 16 September 2022. Sumber: (Xinhua/Li Tao )
Presiden Tiongkok Xi Jinping berfoto bersama dengan para pemimpin dan tamu lain menjelang pertemuan ke-22 Dewan Kepala Negara Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Samarkand, Uzbekistan, 16 September 2022. Sumber: (Xinhua/Li Tao )

Pada 14–16 September 2022 yang lalu, Presiden Republik Rakyat China (RRC) Xi Jinping mengadakan lawatan kenegaraan ke Kazakhstan dan menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Kepala Negara Shanghai Cooperation Organization (SCO) ke-22 di Samarkand, Uzbekistan. Ini adalah kunjungan kerja luar negeri pertama Presiden Xi sejak pandemi Covid-19 melanda di awal 2020. Pentingnya agenda ini bagi RRC dapat diamati dari laporan khusus yang dilansir secara komprehensif oleh kantor berita China Xinhua. Mengapa RRC menganggap SCO begitu penting sehingga mereka begitu aktif berperan dalam organisasi multilateral ini? Apa signifikansi dan tantangan yang dihadapi SCO dewasa ini? Artikel singkat ini akan mengulas serangkaian pertanyaan tersebut di atas.

Awal Mula dan Perkembangan SCO

SCO berdiri pada Juni 2001 dengan beranggotakan RRC, Rusia, Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Organisasi ini adalah kelanjutan dari mekanisme Shanghai Five yang digagas RRC pada 26 April 1996 melalui penandatanganan Agreement on Deepening Military Trust in Border Regions oleh para kepala negara dari negara-negara di atas. Organisasi ini memiliki arti penting bagi RRC karena ini adalah organisasi multilateral pertama yang diinisiasi oleh negara itu. Pada masa awal pembentukannya, Shanghai Five bertujuan untuk menyelesaikan masalah perbatasan antara RRC dan negara-negara bekas Uni Soviet melalui mekanisme membangun kepercayaan di antara kekuatan militer negara anggota. Dengan demikian, negara-negara tersebut dapat menjamin bahwa tidak akan ada peningkatan kekuatan militer di perbatasan, apalagi pergerakan kekuatan militer yang melampaui perbatasan antarnegara. Pada bulan April 1997 kelima negara anggota tersebut menandatangani Agreement on Reduction of Military Forces in Border Regions yang mengedepankan kesetaraan, kepercayaan, dialog, dan kepentingan bersama untuk menghilangkan ancaman militer demi pembangunan negara anggota dan kawasan. Kedua perjanjian tersebut memiliki andil besar dalam penyelesaian masalah perbatasan secara damai. Hasilnya, RRC dapat menyelesaikan sengketa perbatasan dengan Kazakhstan pada 1998, yang dilanjutkan dengan penyelesaian sengketa dengan Kyrgyzstan (1999), Rusia (2004), dan Tajikistan (2006). Sejak 1998 organisasi Shanghai Five mulai memperluas cakupan kerja sama, dari yang semula berfokus pada penyelesaian masalah perbatasan, menjadi kerja sama untuk mengatasi ancaman nontradisional, seperti terorisme, peredaran narkotika, dan organisasi kriminal transnasional.

Transformasi Shanghai Five menjadi SCO pada 2001 sekaligus menandai babak baru organisasi itu sebagai sebuah kekuatan regional, dengan penambahan Uzbekistan sebagai anggota keenam. Selain itu, sejak 2002 Charter of Shanghai Cooperation Organization telah ditetapkan sebagai landasan struktur organisasi, status, serta fungsi SCO. Sejak saat itu pula, SCO memiliki sekretariat yang berkedudukan di Beijing. Di samping itu, terdapat sejumlah komite interministerial dan konsil kepala negara sebagai lembaga pengambil keputusan tertinggi, yang mengadakan konferensi tingkat tinggi tahunan untuk membahas berbagai masalah aktual yang sedang dihadapi negara-negara anggota.

Memasuki pertengahan dasawarsa 2000-an fokus kerja sama dan cakupan keanggotaan SCO semakin luas. Pada konferensi tingkat tinggi kepala negara tahun 2005 di Astana, Kazakhstan, SCO mulai menerima delegasi India, Iran, Mongolia, dan Pakistan sebagai negara pengamat. Pada tahun yang sama, dalam konferensi tingkat tinggi kepala pemerintahan di Moskow, Rusia, disepakati sejumlah proyek pembangunan bersama di sektor energi, serta peluncuran Konsorsium Antarbank SCO untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan proyek di masa depan. Menurut Gao Fei, pengajar dan peneliti pada China Foreign Affairs University, perkembangan tersebut sejalan dengan New Development Approach (Pendekatan Pembangunan Baru), yang diprakarsai oleh Presiden Hu Jintao dalam forum Komite Sentral Partai Komunis China (PKC) pada 3 Maret 2004. Pendekatan ala Presiden Hu itu diklaim sebagai pendekatan pembangunan yang berorientasi pada manusia, komprehensif, terkoordinasi, dan berkelanjutan. Dalam bidang hubungan internasional, pendekatan baru itu dimanifestasikan sebagai usaha untuk mendapatkan keuntungan bersama dan mengedepankan win-win solution dalam mengejar pembangunan, serta mengutamakan keterbukaan, alih-alih menutup diri.

SCO sebagai sebuah organisasi multilateral berkembang semakin pesat sejak dekade 2010-an. Pada periode ini mulai diperkenalkan status negara partner dialog sebagai langkah awal sebelum menjadi negara pengamat, dan pada akhirnya menjadi anggota penuh. Sri Lanka menjadi negara partner dialog pada tahun 2010, disusul oleh Turki (2013) dan Kamboja (2015), dan kemudian Azerbaijan, Nepal, serta Armenia (2016). Yang terbaru di antara negara-negara partner dialog itu adalah Mesir, Qatar, serta Arab Saudi, yang baru pada tahun ini memperoleh status tersebut. Status negara pengamat India dan Pakistan juga meningkat menjadi anggota penuh pada 2017. Salah satu peran penting RRC pada fase ini adalah mendukung masuknya Afghanistan sebagai negara pengamat pada 2012. Menurut para pengamat, usaha RRC untuk terus memperluas keanggotaan SCO sesuai dengan peta jalan diplomasi RRC yang dirancang oleh Xi Jinping sejak ia memuncaki tampuk pemerintahan negaranya pada akhir 2012. Menurut catatan Profesor Zhao Huasheng dari Institute of International Studies, Fudan University, Shanghai, Xi Jinping menyampaikan pidato tentang arah baru hubungan luar negeri China yang terangkum dalam New Neighborhood Diplomacy (Diplomasi Bertetangga Baru) di hadapan Komite Sentral PKC, Oktober 2013. Kebijakan baru ini bukan berarti mengabaikan kebijakan lama, melainkan merupakan penyesuaian dan pengembangan dari kebijakan sebelumnya. Salah satu fitur baru yang paling penting dalam kebijakan ini adalah hubungan dengan negara tetangga menjadi prioritas utama dalam diplomasi RRC. Masih menurut analisis Profesor Zhao, meskipun RRC selalu memperhatikan hubungannya dengan negara tetangga, sampai saat ini diplomasi dengan negara sekitarnya belum dianggap sebagai kesatuan organik dalam hal strategi kebijakan luar negeri yang menyeluruh. Diplomasi terhadap negara tetangga cenderung dilakukan secara bilateral, dengan fokus pada isu-isu tertentu, bahkan ketika keterlibatan RRC dengan organisasi multilateral regional, seperti SCO dan ASEAN, semakin intens. Kebijakan New Neighborhood Diplomacy bertujuan untuk mengubah ini. Kepemimpinan Xi telah mengedepankan prinsip-prinsip panduan baru untuk diplomasi, yang diringkas sebagai persahabatan, kejujuran, saling menguntungkan, dan inklusivitas (亲诚慧容 “qin, cheng, hui, rong”). Keempat prinsip tersebut digali dari filsafat China dan merupakan prinsip diplomasi berkarakter khas China.

Sumber Gambar : eastasiaforum.org

Signifikansi dan Tantangan SCO Dewasa Ini

Menurut Gao Fei, capaian terbesar SCO saat ini adalah pertumbuhan jumlah anggota. Sampai tahun 2022 terdapat 8 negara anggota penuh, 4 negara pengamat, dan 9 negara partner dialog. Selain itu, masih menurut Profesor Gao, SCO sudah berhasil meredam ketegangan regional, menciptakan dinamika yang berkelanjutan untuk kerja sama politik dan ekonomi antarnegara anggota. Keberhasilan menjaga keamanan regional juga dianggap sebagai salah satu pencapaian terbesar SCO oleh George Battams-Scott dari University of East Anglia, Inggris. Menurutnya, setidaknya RRC telah berhasil memanfaatkan SCO sebagai sarana yang efektif untuk implementasi kebijakan luar negeri dalam tiga aspek. Pertama, RRC mampu menggunakan SCO untuk memerangi kejahatan transnasional secara multilateral. Salah satu contohnya adalah pencegahan penyebaran gerakan Islam fundamentalis dan separatisme etnis di daerah otonomi Xinjiang Uyghur. Atas lobi Beijing, SCO berhasil mendirikan pusat penanggulangan terorisme regional The Regional Anti-Terrorism Structure (RATS) pada 2012. Kedua, RRC berhasil memanfaatkan SCO untuk mencegah atau menghilangkan aktor luar kawasan, terutama kekuatan negara dan organisasi Barat, dari kawasan Asia Tengah. Ketiga, stabilitas keamanan regional dijadikan landasan oleh RRC untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi kawasan. Bagi RRC, perjanjian SCO untuk peningkatan infrastruktur, mencakup telekomunikasi, energi, jalur kereta api, dan jalan internasional, menjadi landasan untuk kemajuan One Belt, One Road (OBOR), yang kemudian bertransformasi menjadi Belt and Road Initiative (BRI). Selain itu, RRC juga menawarkan pinjaman dengan bunga rendah untuk negara anggota SCO yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan di negara masing-masing.

Namun demikian, SCO juga masih menghadapi berbagai tantangan. Tantangan utama SCO, menurut Profesor Gao, adalah keterbatasan implementasi perjanjian kerja sama. Berbagai perjanjian yang sudah ditandatangani dalam konferensi tingkat tinggi pada akhirnya tidak diimplementasikan. Masalah keterbatasan sumber daya yang tersedia menjadi problem utama bagi SCO untuk memenuhi kebutuhan negara anggota, yang beragam dari segi politik dan ekonomi. Dengan demikian, SCO kurang memiliki otoritas untuk melaksanakan keputusan kolektif. Di samping itu, Battams-Scott juga menyoroti masalah kohesi internal sebagai tantangan yang masih dihadapi oleh SCO. Kohesi ini masih sulit tercapai karena masih ada masalah perbatasan di antara negara anggota. Misalnya, konflik perbatasan China dan India pada awal 2017, pada tahun ketika India mulai menjadi anggota tetap SCO. Bahkan ketika KTT Kepala Negara SCO tahun ini sedang berlangsung, terjadi eskalasi konflik perbatasan Kyrgyzstan dan Tajikistan. Selain itu, faktor Rusia juga menjadi pengganjal kohesi anggota SCO. Bagaimanapun juga, sebagian besar anggota SCO adalah negara bekas Uni Soviet yang secara kultural berada di bawah lingkup pengaruh (sphere of influence) Rusia. Ide RRC untuk merangkul negara-negara tersebut dalam SCO menghasilkan rivalitas dengan Rusia, yang sedikit banyak menghambat kohesi SCO. Kondisi ini diprediksi akan menjadi semakin rumit sejak India menjadi anggota tetap SCO. India, dengan jumlah penduduk terbesar kedua di dunia dan potensi pertumbuhan ekonomi yang besar, akan menjadi aktor kuat baru dalam hubungan antarnegara anggota SCO.

Terlepas dari segala pencapaian dan tantangan yang masih dihadapi, sebagai negara insiator organisasi multilateral teresebut, RRC pada titik tertentu telah berhasil memanfaatkan SCO sebagai platform untuk merealisasikan konsep hubungan diplomasinya. Tak mengherankan jika Presiden Xi Jinping memilih KTT Kepala Negara SCO sebagai agenda kunjungan luar negeri pertamanya pasca-pandemi ini. Hal ini dapat ditafsirkan sebagai kepercayaan RRC pada kerja sama multilateral dan harapan pada potensi yang masih dapat digali dari organisasi ini.

Ignatius Edhi Kharitas adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *