China’s Grey Zone Operation in South East Asia: The Case of the Philippines

China’s Grey Zone Operation in South East Asia: The Case of the Philippines

Pada tanggal 27 Februari lalu, FSI mengadakan seminar daring berjudul “China’s Grey Zone Operation in South East Asia: The Case of The Philippines.” Dalam seminar tersebut, FSI menghadirkan seorang pembicara yakni Dr. Renato Cruz De Castro, seorang profesor terkemuka dari Departemen Studi Internasional Universitas De La Salle, Filipina.

Dalam seminar ini, Dr. Renato mengawali diskusi dengan menjelaskan dinamika terkini di Laut China Selatan, termasuk dengan operasi Gray Zone yang dilakukan China di wilayah tersebut. Dr. Renato menjelaskan bahwa China meminimalisir kekuatan militer mereka dengan menggunakan strategi operasi Gray Zone. Operasi ini merupakan penekanan kesejahteraan politik melalui penggunaan propaganda untuk mengubah status quo tanpa menggunakan kekerasan. Dimana China menegaskan hak dan kepentingan maritim negaranya terhadap negara-negara pesisir Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Vietnam, dan Filipina, yang tidak memiliki kemampuan militer untuk menghadapi China. Dalam operasinya di Filipina, China mendirikan sebuah pangkalan di Mischief Reef, jauh di dalam wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina. Beserta konfrontasi yang dilakukan terhadap angkatan laut dan penjaga pantai Filipina selama tiga bulan di dekat Scarborough Shoal. Dr. Renato kemudian menjelaskan langkah berbeda yang diambil Presiden Duterte di tahun 2016. Pada tahun ini Filipina mengambil langkah untuk menenangkan China, dimana Filipina menerima norma-norma inti China dalam menangani sengketa Laut China Selatan, berdiskusi di forum bilateral, membela China, dan menyembunyikan kebenaran terkait insiden maritim dari publik. Walau demikian, Filipina merasa langkah yang diambil adalah salah. Ini dikarenakan penurunan aliansi antara Filipina dengan Amerika Serikat sehingga operasi Gray Zone terus berlanjut hingga 6 tahun masa jabatan Duterte. Bahkan dengan pengabaian insiden maritim yang terjadi, ini memungkinkan China untuk memajukan agenda ekspansi maritim mereka melalui tindakan agresif yang sangat halus tersebut. Dr. Renato juga menjelaskan terkait kedua insiden yang menggeser sikap Filipina terhadap Tiongkok kembali ke aliansinya Amerika Serikat. Kedua insiden tersebut mengacu pada pengesahan undang-undang CCG dan penemuan 240 kapal nelayan China di perairan Whitsun Reef. Dalam penjelasannya Dr. Renato menekankan bahwa apapun yang dilakukan, musuh atau sekutu akan mendapatkan perlakuan yang sama dari China. 

Menemani Dr. Renato, Pak Johanes Herlijanto, Ph.D ketua FSI menambahkan bahwa Indonesia harus melihat kasus Filipina sebagai sebuah contoh. Sebagaimana Indonesia juga merupakan salah satu negara tujuan operasi dari Gray Zone milik China, terlihat dari kasus Natuna. Melalui kasus ini, penting untuk mendengarkan sesama negara Asia terutama yang menjadi target operasi Gray Zone China, serta untuk terbuka dan mendengarkan opini publik dalam mengambil sikap menghadapi China. Pak Johanes juga menegaskan bahwa Indonesia harus menghadapi operasi Gray Zone dengan serius, menanggapi dengan sikap yang lebih kuat, melalui cara yang lebih diplomatis, memperkuat kekuatan angkatan laut, dan mendiskusikan isu tersebut dengan negara lain sehingga tidak mengikuti cara bilateral yang diajukan China. 

Akhir kata Pak Adri Arlan, S.IP, M.IR, seorang dosen dari UPH kembali menegaskan beberapa poin dalam seminar ini. Pak Adri menegaskan aspek geopolitik di Laut China Selatan, permainan aman Duterte serta langkah ASEAN dalam mendiskusikan isu Laut China Selatan, dan penggunaan instrumen seperti hukum internasional yang harus ditegakkan.