Isu Taiwan dan Hubungan China-AS

Isu Taiwan dan Hubungan China-AS

Dalam kurun waktu sekitar satu bulan terakhir, para pemimpin tertinggi Amerika Serikat (AS) dan China, dua negara besar yang sangat berpengaruh di dunia, menyelenggarakan beberapa pertemuan pada berbagai kesempatan. Pertama, Presiden AS Joe Biden bertemu dengan Perdana Menteri Li Keqiang pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Timur di Phnom Penh, Kamboja, 12 November lalu. Walau keduanya dikabarkan tidak mengadakan pembicaraan khusus, namun pertemuan mereka diberitakan oleh kalangan media sebagai pemecah kebuntuan bagi hubungan kedua negara yang berada dalam ketegangan beberapa tahun belakangan ini. Pertemuan itu juga dianggap sebagai pendahuluan bagi pertemuan Biden dan Presiden Xi Jinping di Bali, menjelang pelaksanaan KTT G-20, tepatnya pada 14 November 2022. Beberapa hari berselang, pada tanggal 19 November 2022, giliran Presiden Xi Jinping berjumpa dengan Wakil Presiden AS, Kamala Harris, saat keduanya menghadiri KTT Forum Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bangkok.

Rangkaian pertemuan para pemimpin di atas disambut positif oleh berbagai kalangan dan dianggap sebagai sinyal bagi mencairnya hubungan kedua negara. Apalagi sebagai tindak lanjut dari pertemuan-pertemuan itu, AS berencana mengirimkan Menteri Luar Negeri Antony Blinken mengunjungi China pada pada awal tahun 2023 mendatang. Namun benarkah hubungan kedua negara mengarah pada perbaikan yang signifikan?

Dalam pandangan penulis, masih terdapat berbagai isu yang masih menjadi ganjalan bagi hubungan antara AS dan China. Salah satunya, yang menjadi fokus bahasan dalam artikel singkat ini, adalah isu terkait Taiwan. Dominannya isu ini sebagai ganjalan dalam hubungan kedua negara terlihat dari pernyataan-pernyatan keras kedua belah pihak sejak bulan Agustus 2022.

Pernyataan keras China, misalnya, tetap terlihat dari statemen pemerintah China bahkan setelah pertemuan antara Xi dan Biden berlangsung. Situs Kementerian Luar Negeri China, misalnya, memuat statemen sebagai berikut:

“….isu Taiwan adalah inti dari kepentingan inti China, landasan dasar politik bagi hubungan China-AS, dan garis merah pertama yang tidak boleh dilanggar dalam hubungan China-AS….Siapa pun yang berusaha memisahkan Taiwan dari China akan melanggar kepentingan mendasar bangsa China; orang China sama sekali tidak akan membiarkan itu terjadi! Kami berharap untuk melihat, dan selama ini berkomitmen pada perdamaian dan stabilitas di Selat Taiwan, tetapi perdamaian dan stabilitas lintas-Selat dan “kemerdekaan Taiwan” tidak dapat didamaikan seperti air dan api.

Situs tersebut juga menekankan bahwa China ingin agar AS bertindak nyata terhadap apa yang sudah sering dikemukakan oleh Joe Biden bahwa AS tidak mendukung kemerdekaan Taiwan, serta tidak akan menggunakan Taiwan sebagai alat untuk mencari keuntungan dalam persaingan dengan China.

Isu Taiwan memang bukan baru kali ini saja menjadi bagian dari pembicaraan antara presiden dari kedua negara. Sebagai contoh, isu Taiwan selalu menjadi salah satu topik pertemuan Xi Jinping-Donald Trump (29 Juni 2019), Xi Jinping-Barack Obama (3 September 2016), dan Hu Jintao-George Bush Jr. (9 Juli 2008).

Akan tetapi, jika dibanding pernyataan yang dikeluarkan Kementerian Luar Negeri China tentang hasil pertemuan-pertemuan presiden China-AS sebelumnya,  baru kali ini China menyebut bahwa “isu Taiwan adalah inti dari kepentingan inti China, landasan dasar politik bagi hubungan China-AS, dan garis merah pertama yang tidak boleh dilanggar dalam hubungan China-AS”.  Dan baru untuk pertemuan kali ini pula China mengeluarkan pernyataan keras bahwa negara itu tidak akan membiarkan siapa pun berusaha untuk memisahkan Taiwan dari China.

Pertemuan Xi Jinping-Joe Biden di Bali berlangsung tidak lama setelah Xi Jinping berpidato dalam Kongres Partai Komunis China (PKC) ke 20 pada 22 Oktober 2022. Dalam pidatonya, Xi Jinping jelas-jelas mengatakan adanya “provokasi kotor dari intervensi asing dalam masalah Taiwan”. Xi Jinping memang tidak menyebutkan secara eksplisit siapakah yang dimaksud sebagai pihak asing yang telah melakukan intervensi dan provokasi kotor soal Taiwan.

Foto Pertemuan Xi Jinping dan Joe Biden, jelang KTT 20 di Bali Indonesia. Sumber : static.dw.com

Akan tetapi, pada tataran tertentu, sulit untuk mengatakan bahwa pernyataan Xi Jinping itu tidak ditujukan kepada AS. Pasalnya, pada bulan Agustus lalu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) AS Nancy Pelosi berkunjung ke Taiwan.

Selain itu, Joe Biden belakangan ini juga menunjukkan sikap semakin keras dalam isu Taiwan. Biden pernah mengatakan bahwa  jika China menggunakan kekuatan bersenjata untuk mengambil alih Taiwan, maka AS siap untuk mengerahkan kekuatan militer untuk mempertahankan Taiwan.

Seperti dinyatakan oleh Al Jazeera (19 September 2022), pernyataan Joe Biden itu merupakan pernyataan paling keras yang disampaikan AS tentang masalah Taiwan. AS memang mengakui China sebagai satu-satunya “China” seperti yang dimaksud dalam prinsip “one China policy”. Sekalipun demikian, AS  juga mempunyai kebijakan 1979 Taiwan Relations Act tentang komitmen AS untuk membantu Taiwan untuk mempertahankan dirinya sendiri, tanpa memperinci seperti apa bentuk bantuan itu.

Akan tetapi, Joe Biden kemudian memperinci  bantuan itu dengan membandingkannya dengan bantuan terhadap Ukraina yang diserang Rusia. Biden menegaskan, jika dalam kasus Ukraina AS hanya memberi bantuan materi dan persenjataan bagi Ukraina melawan Rusia, maka dalam isu Taiwan, Biden memastikan bahwa AS akan menerjunkan pasukannya untuk mempertahankan Taiwan.

Statemen pemerintah China tentang pertemuan antara Xi Jinping dengan Joe Biden pada 14 November 2022 lalu memang menunjukkan suatu sikap yang semakin keras dari Beijing terhadap AS dalam isu Taiwan.  Namun dari sisi AS sendiri, menyusul pertemuan keduanya, situs resmi Gedung Putih mengatakan bahwa dalam pertemuan itu, Joe Biden menyampaikan keberatan kepada China terhadap meningkatnya sikap koersif dan agresif negara itu terhadap Taiwan “yang akan melemahkan perdamaian dan stabilitas di kawasan Selat Taiwan dan wilayah yang lebih luas, serta membahayakan kemakmuran global”.

Oleh sebab itu, sulit untuk mengatakan bahwa pertemuan antara kedua presiden pada 14 November lalu merupakan indikasi meredanya ketegangan antara AS dan China. Sebaliknya, berbagai pernyataan dalam maupun setelah pertemuan keduanya justru mengindikasikan bahwa hubungan antara kedua negara masih akan diwarnai ketegangan; dan seperti yang dikatakan oleh pemerintah China, masalah Taiwan adalah isu yang akan mengganjal hubungan kedua negara saat ini, melebihi isu-isu lainnya.

Muhammad Farid adalah Dosen President University dan Sekretaris pada Forum Sinologi Indonesia

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *