Kontribusi Tionghoa pada Masyarakat Indonesia di Sepanjang Sejarah

Kontribusi Tionghoa pada Masyarakat Indonesia di Sepanjang Sejarah

Ungkapan dukungan pemuda Tionghoa kepada kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946. Sumber Foto: Berita Film Indonesia
Ungkapan dukungan pemuda Tionghoa kepada kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946. Sumber Foto: Berita Film Indonesia

Dalam beberapa waktu terakhir, wacana mengenai penguasaan ekonomi orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa (berikutnya disebut sebagai orang Tionghoa saja) kembali mengemuka. Orang-orang Tionghoa, yang merupakan salah satu etnik minoritas di Indonesia, dianggap menguasai bagian yang cukup besar dari ekonomi negeri ini. Anggapan ini tentu berpotensi memicu kecemburuan sosial dari kelompok-kelompok etnik yang lain.

Tentu saja, anggapan di atas masih perlu didukung dengan data-data yang lebih lengkap untuk menunjukan kebenarannya. Namun demikian, kalaupun Tionghoa menguasai bagian yang besar dari ekonomi di Indonesia, fakta ini sebenarnya tidak perlu dipersoalkan sejauh penguasaan itu merupakan hasil kerja keras yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Dalam pandangan penulis, penguasaan Tionghoa terhadap bagian yang cukup besar dari ekonomi Indonesia hanya menimbulkan persoalan bila dikaitkan dengan anggapan Tionghoa sebagai kelompok liyan atau bangsa asing, sebuah stereotip usang yang masih tetap hidup dewasa ini. Oleh karenanya, dalam artikel singkat ini, penulis berkeinginan untuk menyampaikan sisi yang berbeda dari komunitas Tionghoa. Alih-alih mereproduksi pandangan bahwa Tionghoa adalah kelompok luar, artikel singkat ini berpandangan bahwa Tionghoa adalah bagian yang utuh dari bangsa Indonesia. Mereka bukan hanya menjalin aliansi dengan masyarakat Nusantara lainnya di sepanjang sejarah, tetapi juga turut berkontribusi dalam aspek politik, budaya, dan ekonomi negeri ini.

Hubungan erat antara Tionghoa dan berbagai kelompok masyarakat lainnya di Nusantara ini telah terjadi di sepanjang sejarah. Di Jawa, hubungan itu kerap dicontohkan salah satunya dengan aliansi Tionghoa dan Jawa tak lama setelah orang-orang Eropa di Batavia—yang di bawah kendali perusahaan dagang Belanda di Nusantara (VOC)—melakukan pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa pada 1740. Mereka yang selamat dari pembantaian itu berbondong-bondong ke arah timur, dan mengepung benteng-benteng VOC di Semarang, Demak, dan Rembang.1 Pakubuwono II, yang memimpin kerajaan Mataram Islam dengan pusat kekuasaan di Kartasura, mengirimkan 20 ribu pasukan dan sejumlah meriam untuk membantu 3500 pasukan Tionghoa mengepung VOC di Semarang.2 Beberapa cerita juga menyebut bahwa terdapat pula aliansi antara Tionghoa dan masyarakat Jawa di Lasem untuk berperang melawan VOC. Setengah abad setelah peristiwa di atas, berlangsung perlawanan terhadap Belanda oleh Raden Rangga Prawiradirja, Bupati Madiun yang menyatakan diri sebagai pelindung bagi orang-orang Jawa dan Tionghoa yang diperlakukan tak adil oleh pemerintahan Eropa. Raden Rangga dikabarkan menggalang bantuan bukan hanya dari kalangan orang-orang Jawa, tetapi juga Tionghoa. Bahkan, menurut sejarahwan Peter Carey, saat ia akhirnya tertangkap oleh Belanda, di antara pengikut yang masih setia padanya, terdapat 12 orang Tionghoa.3 Sementara itu, Mary Somer Heidhues, seorang ahli Indonesia kelahiran Amerika Serikat, menuliskan bagaimana Tionghoa pernah bergabung bersama para pemimpin lokal di Pulau Bangka untuk melawan Belanda.4

Hubungan Tionghoa dan masyarakat lokal di Nusantara tak melulu terkait aliansi dalam perang. Sejak sebelum Indonesia berdiri, Tionghoa turut terlibat dalam membangun kebudayaan yang hingga kini masih dikenal masyarakat. Lenong misalnya, tumbuh dalam interaksi antara Tionghoa dan masyarakat Betawi. Menurut Van Till, ketika Lenong mulai tumbuh dan berkembang, khususnya sekitar tahun 1930 hingga 1950-an, Tionghoa turut berpartisipasi bukan hanya dengan mengatur sisi bisnis dari kesenian ini, tetapi juga berperan menambahkan lagu-lagu dan cerita untuk ditampilkan dalam pertunjukan-pertunjukan itu.5 Sementara itu, menurut catatan Matthew Isaac Cohen, Tionghoa juga turut berperan dalam perkembangan Komedi Stambul, pertunjukan drama yang marak, khususnya di pulau Jawa, pada awal-awal abad ke 20.6 Selain itu, di kalangan para pengusaha Tionghoa, terdapat pula tokoh-tokoh yang sangat dermawan. Misalnya, pengusaha asal Medan, Tjong A Fie dan Tjong Yong Hian, dikenal sebagai dermawan yang sering berbagi dengan masyarakat tanpa memandang latar belakang suku dan agama. Mereka menyumbangkan uangnya untuk pembangunan sekolah, klenteng, masjid, jembatan, dan rumah sakit.7 Oleh karenanya mereka sangat dihargai oleh masyarakat Medan dari berbagai latar belakang etnis.8

Orang Tionghoa juga dicatat turut berperan dalam pembangunan kebangsaan Indonesia. Pada sekitar tahun 1930-an, berdiri sebuah partai bernama Partai Tionghoa Indonesia (PTI), yang menaruh simpati dan mendukung gerakan nasionalisme Indonesia. Di kemudian hari, tokoh dari partai ini, Liem Koen Hian, bahkan menjadi salah satu dari empat tokoh Tionghoa yang turut terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Selain Liem Koen Hian, tokoh lain yang dikenal terlibat dalam BPUPKI adalah Tan Eng Hwa, yang adalah seorang ahli hukum. Sementara itu, Soemarsono, seorang tokoh pemuda di tahun 1945 yang turut memimpin pertempuran melawan sekutu pada November tahun itu, pernah menyampaikan pada penulis bahwa di antara pasukan Indonesia yang ia pimpin, terdapat pula satu kompi yang terdiri dari orang-orang Tionghoa.9 Pasca kemerdekaan, kita mengenal nama-nama Tionghoa, seperti Siauw Giok Tjhan dan ahli hukum terkemuka, Yap Thiam Hien.10 Kehadiran mereka mewarnai dunia politik dan hukum Indonesia.

Dan yang tak kalah pentingnya, para pebisnis Tionghoa juga berperan dalam pemulihan ekonomi Indonesia yang sempat mengalami krisis tak lama setelah peristiwa kudeta gagal yang dilancarkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Peristiwa berdarah itu bukan hanya menyebabkan gugurnya sejumlah perwira terbaik Tentara Nasional Indonesia (TNI), tetapi juga membawa pada kekacauan ekonomi, yang terus berlangsung bahkan hingga di awal pemerintahan Orde Baru (Orba). Ekonomi baru mulai stabil setelah Orde Baru membentuk tim ekonomi—yang antara lain terdiri dari para ahli ekonomi lulusan Amerika Serikat—yang kemudian membuat terobosan dengan menumbuhkan pengusaha-pengusaha muda nasional dan mengundang masuknya modal asing.11 Di sinilah pengusaha-pengusaha Tionghoa memainkan peran mereka: mendukung pemerintah Orde Baru memulihkan ekonomi Indonesia saat itu. Pada waktu itu (akhir dasawarsa 1960-an) mereka dianggap sebagai satu-satunya kelompok yang paling cocok untuk mendukung pemerintah dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi karena mereka memiliki pengalaman bisnis, kemampuan kewirausahaan, serta jaringan yang relevan untuk menjalankan peran di atas.12 Namun penting untuk dicatat, bahwa dengan memainkan peran di atas, para pengusaha tersebut sebenarnya telah memasuki sebuah hubungan yang diwarnai dengan keterikatan antara mereka dan para pemimpin Orde Baru. Hubungan yang oleh Donald Nonini disebut sebagai klientelisme dengan sifat predator (predatory clientelism) itu terus bertahan sepanjang rezim Orde Baru berkuasa di Indonesia.13

Peran dan kontribusi Tionghoa sebagai diuraikan di atas, kiranya cukup untuk memperlihatkan bagaimana kelompok masyarakat ini sebenarnya telah berakar secara mendalam pada masyarakat lokal. Oleh karenanya, seluruh masyarakat Indonesia seyogianya merespons keberadaan saudara sebangsa etnik Tionghoa ini dengan penerimaan yang utuh, dan tak lagi mempermasalahkan kalaupun benar mereka memiliki proporsi penguasaan ekonomi yang cukup besar. Bukankah mereka adalah sesama bangsa Indonesia yang memiliki hak yang sama dengan komponen bangsa yang lain? Meski demikian, etnik Tionghoa sebaiknya tetap waspada pada hal apapun yang berpotensi merusak hubungan antara Tionghoa dan seluruh komponen bangsa Indonesia yang lain. Termasuk di dalamnya adalah perubahan kebijakan Tiongkok, yang akhir-akhir ini seolah ingin menegaskan kembali hubungan antara etnik Tionghoa dan Tiongkok.14 Respons penolakan yang tegas, yang telah diperlihatkan oleh beberapa tokoh Tionghoa dan kelompok muda Tionghoa,15 perlu mendapatkan apresiasi.

Referensi


  1. M. C. Rickelfs, A History of Modern Indonesia since c.1200, Edisi Ketiga. Basingstoke: Palgrave, 2001.
  2. Ibid.
  3. Peter Carey, “Changing Javanese Perceptions of the Chinese Communities in Central Java, 1755-1825.” Indonesia 37 (April, 1984):1-47
  4. Mary F. S. Heidhues , Bangka Tin and Mentok Pepper: Chinese Settlement on an Indonesian Island. Singapore: ISEAS, 1992
  5. Margreet van Till, In search of Si Pitung: The history of an Indonesian legend Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 152 (1996), no: 3, Leiden, 461-482
  6. Matthew I. Cohen, The Komedie Stamboel: Popular Theathre in Colonial Indonesia, 1891-1903. Athens Ohio : Ohio University Press, 2006.
  7. Claudine Salmone dan Myra Sidharta, “Sino-Insulindian Private History Museums, Cultural Heritage Places, and the (Re)construction of the Past.” Asian Culture 42 (December 2018); Pauline K. M. van Roosmalen, Sugar and the City: The Contribution of Three Chinese-Indonesians to Architecture and Planning in the Dutch East Indies (1900–1942). Architectural Histories, 8, 1 (November, 2020).
  8. bid.
  9. Komunikasi pribadi dengan Soemarsono. Sydney, 2010.
  10. Lihat Ignatius Edhi Kharitas, “Yap Thiam Hien dan Pandangan Anti Diskriminasi,” Forum Sinologi Indonesia, 1 Juli 2023, https://forumsinologi.id/yap-thiam-hien-dan-pandangan-anti-diskriminasi
  11. Lihat Christian Chua, Chinese Big Business in Indonesia: the State of Capital. London & New York, Routledge, 2008. Hal., 46.
  12. Ibid.
  13. Donald Nonini, “Spheres of Speculation and Middling Transnational Migrants: Chinese Indonesians in the Asia Pacific.” Dalam State/ Nation/ Transnation: Perspective on Transnationalism in the Asia-Pacific. Diedit oleh Brenda S. A. Yeoh dan Katie Willis. Hal., 37-66. London: Routledge, 2004.
  14. Leo Suryadinata, The Rise of China and the Chinese Overseas: A Study of Beijing Changing Policy in Southeast Asia and Beyond. Singapura: ISEAS, 2017; Suryadinata, “Rising China, New Migrants and Ethnic Chinese Identity in Southeast Asia,” dalam Rising China and New Chinese Migrants in Southeast Asia, diedit oleh Leo Suryadinata dan Benjamin Loh. Singapura: ISEAS, 2022., hal. 20-3.
  15. ibid.

Johanes Herlijanto adalah dosen pada program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan dan ketua Forum Sinologi Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *