Ada Apa dengan TikTok? Ekspansi E-commerce Tiongkok dan Respon Indonesia

Ada Apa dengan TikTok? Ekspansi E-commerce Tiongkok dan Respon Indonesia

Pada Kamis, 16 November 2023 lalu, FSI mengadakan seminar luring dengan topik “Ada Apa Dengan TikTok? Ekspansi E-commerce Tiongkok dan Respons Indonesia”, untuk menanggapi kondisi penutupan TikTok Shop di Indonesia yang tengah menjadi perdebatan publik.

Menanggapi fenomena ini, FSI menghadirkan dua narasumber berpengalaman yaitu Dr. Diana Anggraeni, selaku dosen program studi Ilmu Komunikasi, Universitas Pancasila, dan Tb. Fiki C. Satari, S.E., M.M., selaku staf khusus Menteri Koperasi dan UKM Republik Indonesia, yang bergabung secara daring.

Fiki memberikan informasi terkait potensi ekonomi digital di Indonesia yang berkembang pesat namun manfaatnya masih belum dirasakan langsung oleh masyarakat lokal. Beliau menjelaskan bahwa 90% produk yang beredar di e-commerce adalah produk asing yang dijual dengan harga yang sangat murah. Kondisi tersebut membuat produk lokal kalah saing. Fiki menyorot isu social commerce yang semakin marak dibicarakan dalam diskusi publik akhir-akhir ini. Ancaman penggunaan media sosial sebagai sarana perniagaan itu berupa disrupsi usaha lokal yang ada saat ini. Misalnya, cross border import yang berujung pada praktik dumping dan predatory pricing (penetapan harga yang lebih murah untuk barang yang dijual ke luar negeri), serta masuknya produk-produk ilegal tanpa sertifikasi yang sesuai. Beliau melihat bahwa pentingnya UMKM lokal menempatkan diri sebagai produsen yang dapat membuka lapangan pekerjaan lokal, serta kecakapan digital masyarakat Indonesia yang perlu ditingkatkan dalam mendukung digitalisasi UMKM.

Selanjutnya, Diana menyampaikan pandangannya dari sisi Ilmu Komunikasi. Kemunculan social commerce merupakan tantangan tersendiri bagi masyarakat. Kehadiran e-commerce membuat tantangan kreativitas tersendiri bagi pelaku bisnis dalam membuat konten. Oleh karena itu, beliau melihat bahwa adanya kompetisi yang tidak fair dari kemunculan social commerce yang bersaing dengan e-commerce. Terbukti bahwa kehadiran TikTok Shop perlahan-lahan mampu menggeser e-commerce yang sudah muncul sebelumnya, seperti Tokopedia, Lazada, dan Shoppe. Ancaman juga muncul dari potensi pengumpulan data-data calon konsumen dari algoritma yang dimiliki social commerce. Walaupun penutupan TikTok shop ini terkesan buru-buru, beliau melihat tindakan pemerintah sudah tepat dalam memproteksi kondisi lokal.

Untuk menutup seminar kali ini, Johanes Herlijanto selaku pendiri FSI, berpendapat bahwa pemerintah Indonesia sebaiknya tidak hanya melihat TikTok sebatas masalah perizinan saja, melainkan ada risiko lebih besar yang perlu diperhatikan. Risiko tersebut berupa penguasaan big data terkait informasi-informasi penting yang dikelola oleh perusahaan asing, di mana hal ini dapat  menjadi  kesempatan penyebarluasan cerita-cerita yang ditujukan untuk memenuhi agenda pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Akhir kata, beliau merekomendasikan bahwa pemerintah perlu mengutamakan kepentingan UMKM. jika memang TikTok Shop nantinya diizinkan kembali beroperasi kembali, isu-isu yang menimbulkan keresahan, seperti predatory pricing, shadow banning, hingga project X TikTok, perlu mendapat perhatian lebih oleh pemerintah Indonesia.