Yap Thiam Hien dan Pandangan Anti Diskriminasi

Yap Thiam Hien dan Pandangan Anti Diskriminasi

Sosok Yap Thiam Hien, sang pembela kemanusiaan. Sumber Foto: Arsip Kompas
Sosok Yap Thiam Hien, sang pembela kemanusiaan. Sumber Foto: Arsip Kompas

Bulan Mei merupakan bulan yang penuh refleksi bagi komunitas etnis Tionghoa di Indonesia. Kenangan buruk akan kerusuhan yang sebagian besar menyasar toko dan permukiman milik etnis Tionghoa patut dijadikan pelajaran berharga agar tidak terulang lagi. Tentu saja, hal itu akan lebih mudah dilaksanakan bila pandangan bahwa etnis Tionghoa adalah bagian yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia semakin disebarluaskan. Salah satu tokoh yang menyerukan ide kebangsaan bagi etnis Tionghoa di Indonesia adalah Yap Thiam Hien. Bukan hanya sebagai praktisi hukum dan pejuang hak asasi manusia (HAM), ia juga merupakan seorang pemikir cemerlang terkait isu status etnis Tionghoa dalam masyarakat Indonesia. Buah pemikirannya itu, meskipun kebanyakan ditulis pada era 1960-an, masih sangat relevan dengan situasi masa kini.

Yap Thiam Hien lahir di Peunayong, Aceh, 25 Mei 1913, dalam keluarga terpandang dan berkecukupan. Buyutnya adalah seorang letnan dari Bangka yang menikahi putri seorang kapiten di Kutaraja, yang sekarang bernama Banda Aceh.1 Letnan dan kapiten yang disebut di atas bukan pangkat militer, melainkan jabatan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda kepada tokoh sipil lokal yang mengurusi kelompok etnis tertentu.2 Perkawinan dua keluarga terpandang itu menghasilkan “kerajaan” bisnis besar. Ketika ia lahir, bisnis keluarganya, seperti perkebunan kelapa, kolam ikan, dan monopoli perdagangan opium, masih berada pada puncak kejayaan.3 Latar belakang keluarga Yap itulah yang membuatnya dapat mengenyam pendidikan model Eropa. Ia menyelesaikan pendidikan dasar di Europeesche Lagere School (ELS) dan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Kutaraja. Pada 1929, setamat MULO, ia melanjutkan pendidikan menengah ke tanah Jawa, tepatnya di Algemeene Middelbare School (AMS), Yogyakarta. Ia lulus AMS pada 1933, dengan diploma A-II jurusan Sastra Barat. Pendidikan inilah yang telah melatihnya berkutat dengan berbagai bacaan dalam bahasa Belanda, Jerman, Perancis, dan Inggris. Setelah itu, ia melanjutkan studi di Chineesche Kweekschool, Batavia. Berbekal ijazah dari sekolah keguruan tersebut, ia merintis karier sebagai pendidik di beberapa sekolah Tionghoa. Ia sempat beralih profesi menjadi pegawai swasta di beberapa perusahaan, seperti asuransi dan periklanan. Namun ia tak puas dengan dunia kerja, sehingga memilih kembali ke sekolah, lalu mendaftarkan diri ke Rechtshogeschool (Sekolah Tinggi Ilmu Hukum yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia) pada akhir 1938. Meski sudah lulus ujian kandidat, studinya terpaksa terhenti pada 1942 akibat penutupan sekolah seiring datangnya masa pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, ia melanjutkan studi hukum di Universitas Leiden, Belanda, pada 1946, hingga mendapat gelar Meester in de Rechten (Mr.) setahun kemudian. Ia menghabiskan beberapa tahun di beberapa negara Eropa bersama organisasi misi Kristen sebelum akhirnya kembali ke tanah air pada 1949 dan memulai karier sebagai pengacara.

Privilese di usia sekolah tersebut tak lantas membuat Yap Thiam Hien lupa dengan realitas yang dihadapi sebagian besar masyarakat Hindia Belanda kala itu. Ia justru menuturkan, lingkungan perkebunan yang feodalistis di mana ia dibesarkan justru membuatnya membenci penindasan dan kesewenang-wenangan. Ditambah lagi, pengalamannya sebagai seorang Tionghoa yang belajar di sekolah khusus untuk orang Belanda juga membuat ia sadar akan diskriminasi rasial. Ia mencontohkan, dalam pelajaran matematika dan sejarah, ia selalu mendapat nilai sepuluh. Akan tetapi, dalam pelajaran bahasa Belanda, gurunya senantiasa memberinya angka enam atau kurang. Guru Belandanya itu mungkin berpendapat bahwa anak bukan Belanda tidak patut mendapat angka lebih dari enam.4 Masa sekolah di Yogyakarta juga membuka wawasan baru, ia mulai mengenal agama Kristen dari pasangan Jopp dan Nell O’Brien yang menjadi induk semang indekosnya. Keluarga Yap di Aceh, seperti layaknya keluarga Tionghoa tradisional masa itu, tidak secara eksklusif mempraktikkan satu agama tertentu. Merasa tersentuh oleh perhatian dan kebaikan hati pasangan Belanda itu kepada siswa perantauan seperti dirinya, ia berusaha membalas budi dengan ikut ke gereja bersama mereka.5 Meskipun demikian, ia baru secara resmi dibaptis menjadi anggota gereja pada umur 25 tahun di Gereja Patekoan, Jakarta.6 Masa pendidikan tinggi di Leiden juga menjadikan Yap seorang nasionalis yang menentang upaya Belanda untuk menguasai kembali koloninya.7 Suatu hal yang jarang karena sebagian besar pelajar etnis Tionghoa di Belanda cenderung apolitis.8 Pada saat yang sama, ia mulai mengembangkan orientasi politik sosialis demokratis melalui pergaulannya dengan mahasiswa Indonesia lainnya yang terkait dengan Partij van de Arbeid (Partai Buruh) Belanda.9 Pemikiran-pemikiran itu sedikit banyak mewarnai gagasan kebangsaan Indonesia yang ia kemukakan pada era 1950 hingga 1960-an.

Satu dasawarsa setelah Indonesia merdeka, proses nation building masih terus berjalan. Dalam hal etnis minoritas Tionghoa, proses untuk menjadi bagian bangsa Indonesia masih sangat rumit. Setidaknya, ada dua organisasi kemasyarakatan Tionghoa dengan pendekatan yang berbeda untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Yang pertama adalah Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Dipimpin oleh Siauw Giok Tjhan, organisasi ini mengusulkan jalan integrasi radikal dalam masyarakat Indonesia untuk menjadi masyarakat tanpa kelas.10 Organisasi kedua adalah Lembaga Kesatuan Bangsa (Kelompok 20), yang mengusulkan penyelesaian problema etnis minoritas Tionghoa melalui asimilasi total, yaitu pembauran secara sukarela dan berjalan dua arah di masyarakat antara kelompok minoritas dan mayoritas.11 Yap Thiam Hien menilai kedua pendekatan itu kurang efektif. Meskipun sama-sama berkecimpung di Baperki, Yap menganggap integrasi radikal terlalu dekat dengan bentuk masyarakat ala negara komunis, suatu paham yang tidak ia dukung. Sementara menurut Yap, gerakan asimilasi total juga sukar dilaksanakan secara tuntas selama golongan elit mayoritas masih belum bisa menerima kelompok minoritas, dalam hal ini Tionghoa. Salah satu usulan pegiat gerakan asimilasi total ini adalah penggantian nama-nama orang Tionghoa menjadi nama lokal Indonesia. Anjuran tersebut, setelah Orde Baru berkuasa, dituangkan dalam Keputusan Presiden No. 240 Tahun 1967. Yap menentang kebijakan itu. Dalam pandangannya, pengubahan nama seseorang tidak akan memuaskan para rasialis atau memberikan kebahagiaan bagi orang Indonesia yang sadar dan rasional sehingga tidak akan berguna bagi pembentukan suatu bangsa yang bersatu.12 Yap yakin akan adanya hak kemanusiaan di mana hak mempertahankan identitas etnis adalah bagian dari hak tersebut.13 Karena itu, ia berpendapat bahwa “terapi” yang terbaik adalah penegakan hukum yang konsekuen dan penciptaan hukum atau undang-undang yang anti terhadap diskriminasi rasial, serta mendukung penegakan HAM.14 Pemikiran itu, meski sudah dikemukakan beberapa dekade lalu, masih tetap relevan untuk menjadi referensi bagi masyarakat Indonesia masa kini ketika dihadapkan pada masalah kebangsaan.


Referensi:

  1. Kompas, Yap Thiam Hien Sang Pendekar Keadilan, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2013), 9–11.
  2. Mona Lohanda, The Kapitan Cina of Batavia, 1837-1942: A History of Chinese Establishment in Colonial Society, (Jakarta: Djambatan, 1996), 79—85.
  3. Ibid.
  4. Leo Suryadinata, Tokoh Tionghoa dan Identitas Indonesia: Dari Tjoe Bou San Sampai Yap Thiam HIen, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2010), 152.
  5. Kompas, (2013), 19.
  6. Op.Cit. 22.
  7. Daniel S. Lev, “Becoming An Orang Indonesia Sejati: The Political Journey of Yap Thiam Hien,” Indonesia, (Juli 1991), 97–112.
  8. Ibid
  9. Ibid.
  10. Kompas, (2013), 145–146.
  11. Ibid
  12. Suryadinata, (2010), 162–163.
  13. Ibid
  14. Kompas, (2013), 145–146.


Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *