Revisi Undang-undang Anti-spionase China dan Dampaknya bagi Hubungan Antarbangsa

Revisi Undang-undang Anti-spionase China dan Dampaknya bagi Hubungan Antarbangsa

Sebuah poster komik peringatan mata-mata asing ditampilkan di sebuah stasiun kereta bawah tanah di Beijing pada tanggal 22 April 2016 Foto: Kyodo/AP/File
Sebuah poster komik peringatan mata-mata asing ditampilkan di sebuah stasiun kereta bawah tanah di Beijing pada tanggal 22 April 2016 Foto: Kyodo/AP/File

Salah satu keputusan yang ditetapkan pada Sidang Kongres Nasional Rakyat China ke-14 pada 26 April 2023 adalah revisi undang-undang anti-spionase. Sebelumnya, peraturan perundangan tersebut ditetapkan pada Sidang Pleno ke-11 Kongres Rakyat Nasional ke-12 pada 1 November 2014. Pembaharuan undang-undang itu mulai berlaku pada 1 Juli 2023.1 Salah satu hal yang menjadi perhatian publik internasional dalam revisi undang-undang tersebut adalah perluasan definisi spionase dari yang mencakup rahasia dan intelijen negara menjadi “dokumen, data, materi, atau barang apa pun yang terkait dengan keamanan dan kepentingan nasional”, tanpa memberikan parameter khusus terkait bagaimana istilah-istilah ini didefinisikan.2 Hal lain yang membuat khalayak khawatir adalah revisi tersebut memberikan wewenang lebih luas kepada otoritas yang melakukan investigasi anti-spionase, seperti akses ke data, peralatan elektronik, informasi tentang properti pribadi, bahkan penerapan cekal atau larangan keluar (exit ban).3 Tak ayal, dunia bisnis internasional semakin berhati-hati dalam menyikapi perkembangan terakhir ini. Terlebih lagi, sejak awal tahun 2023, otoritas China acap kali mengadakan penggerebekan dan penyelidikan terhadap aktivitas perusahaan asing di China dengan alasan keamanan nasional.

Lantas, bagaimana dampak revisi undang-undang bagi dunia bisnis China yang marak diwarnai dengan hadirnya investasi asing? Selain bisnis, sektor apa saja yang dapat terdampak oleh kebijakan revisi undang-undang di atas? Bagaimana pula perkembangan ini memberi gambaran mengenai perspektif Presiden Xi Jinping terhadap apa yang paling penting untuk diprioritaskan bagi negaranya? Artikel pendek ini akan memaparkan jawaban pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Memperketat Peraturan yang Sudah Ketat

Yasuhiro Matsuda, profesor hubungan internasional pada Universitas Tokyo, menilai undang-undang anti-spionase tahun 2014 sudah sangat kuat dan ambigu tetapi China masih merasa tidak cukup.4 Masih menurut Matsuda, para pemimpin China beranggapan bahwa dengan semakin membuka diri, negara itu justru menjadi semakin rentan. Oleh karena itu, demi menjaga diri terhadap segala ancaman, revisi undang-undang di atas dibuat sedemikian rupa sehingga baik organisasi maupun individu mana pun dapat menjadi tersangka. Demikian juga dengan perbuatan apa saja yang dapat dianggap sebagai ancaman terhadap keamanan nasional. Undang-undang yang baru ini demikian lentur sehingga hal apapun dapat dianggap membawa ancaman bagi keamanan negara tersebut. Hal ini pasti akan menimbulkan efek jeri.5

Semakin luasnya definisi spionase dalam revisi perundangan tersebut membuat dunia bisnis khawatir. Betapa tidak? Beberapa waktu sebelum revisi undang-undang anti-spionase ini disahkan, tepatnya pada awal 2023, otoritas China melakukan penggerebekan dan interogasi staf di perusahaan konsultan raksasa Bain & Company dan firma due diligence Mintz Group.6 Pada kurun waktu yang sama, perusahaan auditor publik Deloitte dan sejumlah karyawannya juga didenda karena kesalahan audit.7 Dalam dunia bisnis dan perdagangan internasional, praktik intelijen bisnis maupun due diligence, yaitu kegiatan penyelidikan secara menyeluruh pada perusahaan terkait aset, kewajiban, risiko usaha dan sebagainya, adalah hal yang lumrah. Namun kini, perusahaan asing yang berbisnis di China harus lebih berhati-hati dalam menjalankan aktivitas tersebut di atas, yang sebetulnya dianggap wajar dalam dunia bisnis. Hal ini semakin meningkatkan risiko berbisnis di China, yang sudah dibatasi oleh undang-undang serupa, seperti Undang-undang Keamanan Data dan Undang-undang Keamanan Nasional.8

Para pemimpin dua kamar dagang asing terbesar di China, yaitu American Chamber of Commerce dan European Union Chamber of Commerce, mengatakan bahwa penerapan undang-undang yang didefinisikan secara ambigu akan semakin menggoyahkan kepercayaan dunia bisnis.9 Padahal, dunia bisnis di China masih belum benar-benar pulih dari guncangan ketegangan geopolitik antara Beijing dan Washington, serta kebijakan lockdown ketat selama pandemi Covid-19. Michael Hart, ketua American Chamber of Commerce in China, menegaskan bahwa perusahaan anggota kamar dagangnya ingin mematuhi hukum. Tetapi jika aktivitas bisnis normal dikategorikan kegiatan mata-mata, kekhawatiran akan muncul.10 Hart menambahkan, kurangnya transparansi tentang mengapa perusahaan-perusahaan di atas telah ditindak membuat bisnis sulit untuk menavigasi apa yang ilegal dan apa yang tidak.11

Ambiguitas peraturan perundangan baru tersebut sebenarnya dapat merusak atmosfer bisnis di China yang dipandang semakin kurang kondusif oleh para pebisnis internasional. Awal tahun ini, survei American Chamber of Commerce in China menunjukkan bahwa 32% dari perusahaan anggota kamar dagang itu menganggap interpretasi peraturan yang tidak konsisten, serta hukum dan penegakan hukum yang tidak jelas, sebagai risiko utama di negara tersebut. Laporan itu juga mengindikasikan bahwa perusahaan anggota, untuk pertama kalinya, kurang mau berinvestasi di negara tersebut meskipun ukuran pasarnya besar, dengan hampir 45% responden mengatakan lingkungan investasi domestik memburuk.12 Sejalan dengan survei di atas, laporan yang dirilis oleh Kamar Dagang Eropa di China pada Juni 2023 juga menunjukkan sebanyak 64% perusahaan Eropa menilai bahwa melakukan bisnis di China semakin sulit dalam setahun terakhir.13 Laporan yang sama bahkan menyatakan bahwa 11% dari perusahaan Eropa di China telah mengalihkan investasi perusahaan mereka ke luar negeri.14

Senada dengan itu, pada Juni 2023, Tetsuro Homma, ketua Kamar Dagang dan Industri Jepang di China, mengatakan bahwa masalah yang menjadi keprihatinan bagi para pebisnis internasional, khususnya para pengusaha asal Jepang, utamanya adalah menyangkut apakah prediktabilitas, keadilan, dan transparansi dapat dipertahankan di pasar China.14 Hal itu amat wajar mengingat menurut catatan pemerintah Jepang, sejak undang-undang kontra spionase mulai berlaku di China tahun 2014, tercatat ada 17 warga Jepang yang ditahan karena diduga terlibat dalam kegiatan mata-mata. Kasus terakhir terjadi pada Maret 2023 ketika seorang karyawan senior pabrik farmasi Jepang Astellas Pharma ditahan oleh China karena dicurigai terlibat dalam kegiatan mata-mata, meski masih belum diketahui bagaimana dia diduga melanggar hukum.16

Sejumlah analis juga memperkirakan bahwa revisi perundangan anti-spionase China bukan hanya akan mempengaruhi ranah bisnis saja, tetapi juga dapat membawa dampak besar bagi ranah riset dan jurnalisme. Kurangnya kejelasan tentang jenis dokumen, data, atau materi apa yang dapat dianggap membahayakan keamanan nasional akan menimbulkan risiko hukum yang besar bagi akademisi dan wartawan yang mencoba mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang China. Profesor Alfred Wu dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, mengkhawatirkan kemungkinan tuduhan sebagai spionase terhadap kegiatan yang sebelumnya dianggap aktivitas normal. Misalnya, pertanyaan-pertanyaan terkait alokasi anggaran pemerintah daerah dapat didefinisikan secara luas sebagai masalah ketahanan pangan, atau bahkan ketahanan nasional. Oleh karenanya, para peneliti pasti harus berhati-hati.17

Ada Apa di Balik Revisi Ini?

Menanggapi polemik revisi undang-undang anti-spionase, Beijing bersikeras bahwa ia memiliki hak untuk menjaga keamanan nasionalnya melalui perundang-undangan dan menekankan akan terus menjunjung tinggi supremasi hukum.18 Segera setelah pembaharuan undang-undang itu disahkan, Kementerian Perdagangan China menggelar rapat pengarahan dengan perwakilan kamar dagang negara-negara mitra, termasuk Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Korea Selatan, serta puluhan perusahaan asing yang berbisnis di China. Dalam pertemuan tersebut, Asisten Menteri Perdagangan Chen Chunjiang menyatakan bahwa China berkomitmen untuk menciptakan lingkungan bisnis yang adil, transparan, dan dapat diprediksi.19

Tampaknya, pendekatan keamanan nasional inilah yang semakin menjadi arus utama dalam pengambilan kebijakan di China sejak Xi Jinping memegang tampuk kepemimpinan negara itu pada 2012. Setidaknya itulah yang diamati oleh Jeremy Daum, peneliti senior pada Yale’s Paul Tsai China Center. Menurut Daum, perundangan baru itu menggambarkan pendekatan holistik kemasyarakatan untuk menangani segala sesuatu yang menimbulkan risiko keamanan nasional. Akan tetapi, definisi spionase dan keamanan nasional yang ambigu dalam perundangan itu memberi otoritas setempat wewenang yang lebih luas. Lebih jauh lagi, hal itu kemungkinan akan memberi efek jeri bagi warga China yang memiliki kontak dengan orang asing dan bekerja untuk perusahaan atau organisasi asing.20

Tak jauh berbeda, Profesor Alfred Wu menilai revisi undang-undang ini merefleksikan pemikiran Presiden Xi Jinping yang mengedepankan hasil yang cepat dan terukur (bottom line thinking). Menurutnya, dalam kebijakan Xi, perekonomian kurang menjadi prioritas jika dibandingkan dengan kemerdekaan dari campur tangan asing. Xi ingin bersiap untuk skenario terburuk dalam hal prospek bisnis negaranya: China masih dapat bertahan meskipun tidak memiliki dukungan eksternal atau nol investasi asing.21

Saat ini, mungkin masih terlalu dini untuk menilai dampak revisi undang-undang spionase terhadap hubungan antarbangsa, khususnya dalam ranah bisnis. Namun demikian, seperti dikemukakan para analis di atas, kebijakan China yang lebih memprioritaskan keamanan nasional daripada perekonomian cepat atau lambat tentu akan berdampak negatif pada posisinya sebagai kekuatan ekonomi dunia. Di samping itu, akademisi dan jurnalis internasional juga akan semakin berhati-hati ketika berhubungan dengan China, yang pada akhirnya dapat membatasi akses pemberitaan dan pengetahuan tentang China.


Referensi

  1. 新华社, “中华人民共和国反间谍法,” 中华人民共和国中央政府, 27 April 2023, https://www.gov.cn/yaowen/2023-04/27/content_5753385.htm
  2. Simone McCarthy dan Nectar Gan, “China has widened its already sweeping counter-espionage law. Experts say foreign businesses should be worried,” CNN, 27 April 2023, https://edition.cnn.com/2023/04/27/china/china-counter-espionage-law-revision-intl-hnk/index.html
  3. Reuters, “China briefs trade partners on new anti-espionage law,” The Japan Times, 21 Juli 2023, https://www.japantimes.co.jp/news/2023/07/21/business/china-espionage-law-explain/
  4. McCarthy dan Gan, “China has widened”
  5. Ibid.
  6. Agence France-Presse, “China’s Sweeping New Anti-Espionage Law Comes Into Effect,” VOA, 1 Juli 2023, https://www.voanews.com/a/china-s-sweeping-new-anti-espionage-law-comes-into-effect-/7162900.html
  7. Chad de Guzman, “China’s Expanded Anti-Espionage Law Threatens Business Consultants and Advisers,” Time, 7 Juli 2023, https://time.com/6292785/china-foreign-investment-national-security-revised-espionage-business-consultants/
  8. Tan dan Tabeta, “China’s anti-espionage law”
  9. C.K. Tan dan Shunsuke Tabeta, “China’s anti-espionage law set to ‘politicize’ business,” Nikkei Asia, 29 Juni 2023, https://asia.nikkei.com/Politics/China-s-anti-espionage-law-set-to-politicize-business
  10. Ibid
  11. De Guzman, “China’s Expanded Anti-Espionage Law”
  12. Ibid
  13. Ibid
  14. Ibid
  15. Kyodo, “Concern for Japanese firms as China’s revised anti-spying law takes effect,” The Japan Times, 1 Juli 2023, https://www.japantimes.co.jp/news/2023/07/01/business/china-espionage-law/
  16. Ibid
  17. McCarthy dan Gan, “China has widened”
  18. Agence France-Presse, “China’s Sweeping”
  19. Reuters, “China briefs
  20. Agence France-Presse, “China’s Sweeping”
  21. De Guzman, “China’s Expanded Anti-Espionage Law”


Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *