“Global Security Initiative” (GSI): Gagasan RRC yang Perlu Kita Cermati

“Global Security Initiative” (GSI): Gagasan RRC yang Perlu Kita Cermati

Sumber: Nikkei montage/Source photo by Getty Images
Sumber: Nikkei montage/Source photo by Getty Images

Dalam satu tahun belakangan ini, wacana Global Security Inisiative (GSI), sebuah gagasan yang dicanangkan oleh Republik Rakyat Cina (RRC), ramai diperbincangkan, khususnya oleh para pemerhati hubungan internasional. Sejak mempopulerkan gagasan yang diklaim sebagai upaya menghapuskan akar dari konflik internasional itu, RRC berupaya keras untuk mengajak berbagai negara untuk terlibat dan bergabung dalam proyek tersebut. Namun apakah gagasan itu akan begitu saja disambut oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia? Hal-hal apa yang perlu Indonesia cermati terkait dengan gagasan di atas? Artikel singkat ini mencoba untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan ini.

Proyek RRC yang dinamai GSI ini pertama kali diumumkan oleh presiden Xi Jinping pada April 2022 lalu, tepatnya dalam Forum Boao untuk Asia pada tahun tersebut.1 Selain sebagai upaya untuk menghapuskan akar dari konflik internasional, gagasan GSI juga ditujukan untuk meningkatkan pengaturan keamanan global, mendorong upaya bersama masyarakat internasional untuk meningkatkan stabilitas dan kepastian dalam era yang tak pasti dan selalu berubah, serta mempromosikan kedamaian dan pembangunan dalam jangka panjang di dunia.

Sebagaimana dijelaskan dalam konsep dasar GSI yang dirilis pada 21 Februari 2023 lalu, proyek keamanan global gagasan RRC ini dilandasi oleh beberapa prinsip dan konsep utama.2 Termasuk dalam prinsip dan konsep utama tersebut adalah: (a) prinsip memegang teguh visi tentang keamanan bersama, menyeluruh, kooperatif, dan memiliki keberlanjutan; (b) menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara; (c) setia pada tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB); (d) memperhatikan dengan serius kekhawatiran keamanan yang sah dari semua negara; (e) setia pada upaya untuk menyelesaikan perbedaan-perbedaan dan sengketa-sengketa antarnegara dengan cara damai melalui dialog dan konsultasi; dan (f) setia untuk menjaga keamanan baik pada arena tradisional maupun arena nontradisional. Dalam hal prinsip kesetiaan terhadap Piagam PBB, konsep GSI secara spesifik menekankan pada apa yang RRC sebut sebagai menghindari “mentalitas Perang Dingin,” unilateralisme, konfrontasi antara blok, dan hegemonisme.

Meski prinsip-prinsip di atas terlihat sangat indah, namun GSI dan prinsip-prinsip yang melandasinya justru menuai kritik dari kalangan pemerhati Cina, termasuk dari para sarjana yang memusatkan studinya pada hubungan RRC dan Asia Tenggara.3 Bagi sementara kalangan, prinsip-prinsip di atas terlihat kontradiktif dengan berbagai manuver RRC yang telah dipertontonkan, baik di kawasan Asia Pasifik maupun kawasan-kawasan lain di dunia. Sikap RRC yang cenderung memperlihatkan keberpihakan pada Rusia dalam kasus invasi negara adikuasa tersebut ke Ukraina, misalnya, tidak sejalan dengan prinsip menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua negara yang menjadi salah satu dasar bagi GSI. Sementara itu, Rajeswari Pillai Rajagopalan, direktur Centre for Security Strategy and Technology (CSST) yang berbasis di New Delhi, merujuk pada sengketa perbatasan antara RRC dan India—yang seringkali pecah menjadi konflik fisik (terakhir terjadi pada 9 Desember 2022)—sebagai contoh dari kontradiksi antara prinsip penyelesaian perbedaan secara damai dengan apa yang terjadi di lapangan.4 Bagi Rajagopalan, adanya kontradiksi di atas memperlihatkan bahwa gagasan GSI mengandung kemunafikan.

Kontradiksi yang kurang lebih sama juga terlihat jelas dalam berbagai peristiwa yang terjadi di seputar Laut Cina Selatan (LCS), di mana terjadi sengketa berkepanjangan antara RRC dan beberapa entitas politik lain, termasuk negara-negara Asia Tenggara. Insiden di mana kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan RRC berhadapan dengan otoritas negara-negara Asia Tenggara di wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) negara-negara Asia Tenggara tersebut sering kali terjadi, setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir. Operasi yang oleh para sarjana disebut dengan istilah Gray Zone itu diterapkan RRC setidaknya di wilayah ZEE Filipina dan Vietnam. Bahkan, Indonesia yang sebenarnya tidak terlibat dalam sengketa di LCS juga telah berkali-kali menjadi target dari operasi Gray Zone RRC tersebut. Setidaknya sejak tahun 2010, RRC telah berulang kali melakukan aktivitas yang tak mengindahkan hak berdaulat Indonesia di wilayah ZEE kita di sekitar Kepulauan Natuna.5 Manuver RRC yang secara sepihak menggunakan sembilan garis putus-putus buatannya sebagai landasan itu menjadi salah satu faktor yang menurut Alvin Camba, seorang akademisi dari Universitas Denver, menyebabkan GSI hanya akan membawa dampak yang terbatas di Asia Tenggara.6 Dalam pandangan Camba, RRC justru menjadi salah satu sumber terbesar bagi isu keamanan nontradisional di sejumlah negara Asia Tenggara. Menurutnya, posisi RRC di Asia Tenggara berbeda dengan posisi Amerika Serikat (AS) yang tak memiliki isu terkait keamanan teritorial, arena maritim, dan ZEE di Asia Tenggara. Sebaliknya, RRC tidak sekadar menghadirkan isu keamanan yang terkait sengketa kewilayahan di Asia Tenggara, tetapi juga isu-isu lainnya, seperti perjudian online dan penyediaan jasa keuangan digital (fintech) ilegal.7

Berkaca pada isu-isu di atas, agaknya dapat dipahami bila tanggapan terhadap GSI di negara-negara Asia Tenggara didominasi oleh kewaspadaan. Seperti dilaporkan oleh Hoang Thi Ha, peneliti senior pada ISEAS Yusof Ishak Institute, Singapura, kewaspadaan di atas terlihat dalam jajak pendapat terhadap 1308 responden asal negara-negara anggota ASEAN (Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara) yang antara lain terdiri atas kelompok akademisi dan peneliti, kalangan bisnis dan professional, perwakilan lembaga swadaya masyarakat (LSM), pejabat pemerintah, dan para staf pada organisasi internasional dan regional.8 Berdasarkan catatan Hoang, hanya 27,4 persen dari responden di atas merasa yakin atau sangat yakin bahwa GSI akan membawa keuntungan bagi wilayah Asia tenggara. Sementara itu, 44,5 persen responden merasa kurang yakin atau bahkan tidak yakin sama sekali, sedangkan 28 persen memilih untuk tidak berkomentar sama sekali. Yang menarik untuk dicatat, hanya responden dari Brunei, Kamboja, dan Laos yang memperlihatkan dukungan pada GSI. Sementara para responden dari Myanmar, Vietnam, dan Indonesia termasuk di antara mereka yang bersikap sangat waspada terhadap GSI. Di kalangan para responden asal Indonesia, 59,5 persen memperlihatkan keyakinan yang kecil atau bahkan nihil terhadap GSI. Hanya 19 persen dari responden Indonesia yang meyakini GSI akan membawa keuntungan.

Dalam pandangan Hoang, dominannya sikap waspada di kalangan para pemangku kepentingan dari negara-negara ASEAN di atas disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, terdapat kesenjangan antara retorika yang digaungkan RRC yang mengandung moralitas yang tinggi dengan realitas yang diejawantahkan dalam kebijakan luar negeri negara itu. Sejalan dengan Rajagopalan dan Camba, Huang merujuk pada tingkah laku dan kebijakan RRC di Laut Cina Selatan yang melanggar Konvensi PBB mengenai Hukum Laut (UNCLOS) sebagai contoh ketidakkonsistenan antara janji RRC menjunjung tinggi Piagam PBB dengan perilakunya di lapangan. Kedua, menurut analisis Hoang, terdapat ketakutan di kalangan para responden asal negara-negara Asia Tenggara terhadap potensi GSI meningkatkan ketegangan antara RRC dan AS, yang pada gilirannya akan meningkatkan tekanan pada negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk menentukan keberpihakan. Masih menurut Hoang, kekhawatiran muncul terkait digaungkannya konsep “keamanan tak terbagi” (indivisible security) yang sebenarnya berfungsi sebagai “alat normatif baru Cina untuk menghalangi negara-negara Asia Tenggara untuk memiliki aliansi dan hubungan keamanan yang lebih dekat dengan Washington.”

Posisi hati-hati dan waspada di ataslah yang agaknya juga dipegang oleh pemerintah Indonesia dalam merespons GSI yang digagas RRC itu. Seperti ditulis oleh Aristyo Rizka Darmawan dan Jefferson Ng Jin Chuan, selepas pertemuan antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Xi Jinping pada bulan Juli 2022 lalu, dirilis pernyataan pers bersama oleh kementerian luar negeri kedua negara yang antara lain menyampaikan bahwa “Indonesia memperhatikan (takes note of) keberadaan GSI dan siap untuk bekerja bersama pihak Cina dalam memastikan kedamaian dan stabilitas melalui dialog dan diplomasi.”9 Dalam pandangan Darmawan dan Ng, kalimat dalam pernyataan pers di atas memperlihatkan bahwa Indonesia hanya secara prinsip setuju untuk bekerja bersama RRC dalam hal GSI sambil menunggu pihak RRC mengartikulasi dan mengelaborasi insiatif yang masih belum terlalu jelas.


Lalu perlukah Indonesia memberikan dukungan bagi gagasan RRC ini? Darmawan dan Ng berpandangan bahwa meski setiap upaya bagi perdamaian di kawasan Asia Tanggara perlu untuk didukung, dukungan terhadap GSI harus didasarkan pada sebuah persyaratan, yaitu kemampuan RRC untuk memperoleh kepercayaan dari negara-negara Asia Tenggara dengan cara membuktikan bahwa negeri itu mengimplementasikan prinsip-prinsip GSI tanpa menerapkan standar ganda. Namun dalam pandangan penulis, selama RRC masih sibuk membangun kehadiran militernya di perairan LCS, menerapkan operasi Gray Zone di wilayah ZEE negara-negara Asia Tenggara, termasuk di perairan dekat Kepulauan Natuna, membuat pengelompokan yang menyerupai blok aliansi seperti yang diupayakan dengan negara-negara Kepulauan Pasifik, maka retorika GSI—yang menekankan kedamaian, penghormatan kedaulatan, kesetiaan terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB, dan penolakan terhadap mentalitas Perang Dingin—akan tetap tinggal sebagai retorika yang sulit untuk memperoleh kepercayaan. Oleh karenanya, ia akan terus menuai kewaspadaan di kalangan masyarakat Indonesia.

Referensi:

  1. Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, “Xi Jinping Delivers a Keynote Speech at the Opening Ceremony of the Boao Forum for Asia Annual Conference 2022,” https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/zxxx_662805/202204/t20220421_10671083.html
  2. Ministry of Foreign Affairs of the People’s Republic of China, “The Global Security Initiative Concept Paper,” https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/wjbxw/202302/t20230221_11028348.html
  3. Misalnya Alvin Camba, “Will China’s Global Security Initiative Impact ASEAN?” https://thediplomat.com/2023/04/will-chinas-global-security-initiative-impact-asean/; Hoang Thi Ha, “Why Is China’s Global Security Initiative Cautiously Perceived in Southeast Asia?” https://www.iseas.edu.sg/articles-commentaries/iseas-perspective/2023-11-why-is-chinas-global-security-initiative-cautiously-perceived-in-southeast-asia-by-hoang-thi-ha/; Rajeswari Pillai Rajagopalan, “China’s Xi Proposes Global Security Initiative,” https://thediplomat.com/2022/05/chinas-xi-proposes-global-security-initiative/
  4. Ibid
  5. Johanes Herlijanto, “China dan Hak Berdaulat Indonesia di Natuna,” https://forumsinologi.id/china-dan-hak-berdaulat-indonesia-di-natuna/
  6. Camba (2023)
  7. Misalnya https://www.kominfo.go.id/content/detail/13681/fintech-china-serbu-indonesia/0/sorotan_media; https://news.republika.co.id/berita/quuq0n377/pinjol-ilegal-jaringan-china-curi-data-nasabah
  8. Hoang (2023); Lihat juga “The State of Southeast Asia 2023: Survey Report,” https://www.iseas.edu.sg/wp-content/uploads/2025/07/The-State-of-SEA-2023-Final-Digital-V4-09-Feb-2023.pdf
  9. Aristo Darmawan dan Jefferson Ng Jin Chuan, “China’s Global Security Initiative: A View from Indonesia,” https://www.rsis.edu.sg/rsis-publication/idss/ip22064-chinas-global-security-initiative-a-view-from-indonesia/#.ZGL5eKXP02w

Johanes Herlijanto adalah dosen pada program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan dan ketua Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *