Menyoal Utang Afrika ke Tiongkok: Pelajaran bagi Indonesia

Menyoal Utang Afrika ke Tiongkok: Pelajaran bagi Indonesia

Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menghadiri KTT Forum Kerjasama Tiongkok-Afrika 2018 di Beijing. (Foto oleh Lintao Zhang/Getty Images)
Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menghadiri KTT Forum Kerjasama Tiongkok-Afrika 2018 di Beijing. (Foto oleh Lintao Zhang/Getty Images)

Pada kunjungan kerja ke Afrika akhir Maret 2023 lalu, Presiden Bank Dunia, David Malpass, menyatakan kekhawatirannya terhadap utang negara-negara berkembang di Afrika terhadap Tiongkok.1 Dalam pernyataan tersebut, Malpass mengungkapkan perlunya syarat dan kondisi yang lebih transparan lagi dalam pemberian utang tersebut.

Pasalnya, saat ini negara-negara Afrika, seperti Ghana dan Zambia, sedang berusaha keras untuk melunasi pinjaman dari Tiongkok. Situasi di atas seakan mengingatkan publik pada kejadian serupa ketika Sri Lanka jatuh ke “jurang” krisis ekonomi awal tahun 2022, sebuah kejadian yang membuat narasi “jebakan utang” Tiongkok semakin mengemuka.

Artikel singkat ini akan membahas beberapa poin penting. Pertama, bagaimana keterlibatan Tiongkok di negara-negara Afrika melalui pemberian bantuan keuangan, pinjaman, maupun investasi? Kedua, bagaimana keterlibatan tersebut diposisikan dalam konteks persaingan pengaruh kekuatan global di Afrika? Dan ketiga, apa pelajaran berharga yang dapat dipetik oleh Indonesia terkait situasi di atas?

Sepak Terjang Tiongkok sebagai Penyokong Pembangunan di Afrika

Tiongkok bukan “pemain baru” di Afrika. Berdasarkan penelitian Dr. Alex Vines dan Jon Wallace, Afrika sudah menjadi bagian krusial dalam politik luar negeri Tiongkok bahkan sejak Tiongkok masih mengalami perang saudara antara Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan partai nasionalis Kuomintang pada tahun 1947.2 Setelah PKT berjaya dan mendirikan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), negara baru tersebut memperlihatkan dukungan kepada rakyat Afrika yang sedang berjuang memerdekakan diri. Dukungan ini menuai hasil yang menguntungkan RRT pada tahun 1971, ketika suara negara-negara Afrika berperan penting dalam memenangkan kendali RRT atas kursi di Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB – menggusur perwakilan dari delegasi pemerintahan nasionalis China, yang setelah dikalahkan dalam perang saudara dan sampai kini memerintah Taiwan. Tahun-tahun berikutnya, keterlibatan RRT di Afrika selalu terkait dengan upaya untuk mengalihkan hubungan diplomatik negara-negara di sana dari Taiwan. Upaya yang antara lain meliputi berbagai bantuan finansial itu terbilang berhasil jika jumlah negara-negara Afrika yang masih mempertahankan hubungan diplomatik dengan Taiwan dilihat sebagai indikatornya. Saat ini hanya Eswatini yang masih mempertahankan hubungan diplomatik dengan negara pulau tersebut.

Babak baru hubungan Tiongkok dan negara-negara Afrika mulai berlangsaung sejak akhir dekade 1990-an. Seiring dengan perkembangan ekonominya, RRT mendorong perusahaan swasta untuk bergerak mencari pasar baru di luar Tiongkok. Saat inilah arus investasi langsung dari Tiongkok mulai mengalir deras ke Afrika, khususnya di bidang konstruksi infrastruktur. Kebijakan itu semakin diperkuat lewat pembentukan Forum for China Africa Cooperation (FOCAC) pada 2003.

Kehadiran investasi Tiongkok di Afrika makin meningkat tajam dalam satu dekade terakhir, khususnya sejak peluncuran proyek Belt and Road Initiative (BRI) pada 2013. Seperti dicatat oleh Jones, Ndofor, dan Li, investasi langsung (foreign direct investment) China ke Afrika tumbuh rata-rata 18% per tahun dari 2004 hingga 2016.3 Sementara itu, pembiayaan untuk kontrak proyek yang dikerjakan perusahaan-perusahaan Tiongkok di Afrika juga meningkat dan mencapai puncaknya pada 2015 dengan nilai 55 miliar dolar Amerika Serikat (USD).4 Di antara perusahan tersebut, badan usaha milik negara (BUMN) menjadi yang paling dominan. Bahkan, sepertiga dari proyek jaringan listrik dan infrastruktur di Afrika dikerjakan oleh BUMN Tiongkok.5 Tingginya arus investasi dari Tiongkok itu menyebabkan negara yang seringkali dijuluki sebagai raksasa Asia itu menjadi sumber utama pembiayaan pembangunan di Afrika dalam 20 tahun terakhir.6 Hingga saat ini, pinjaman dari Tiongkok bahkan telah mencakup sekitar seperlima dari seluruh pinjaman negara-negara Afrika.7 Sebagian besar dari modal asal Tiongkok itu mengalir menuju tujuh negara strategis dan kaya sumber daya alam, yaitu Angola, Kamerun, Djibouti, Ethiopia, Republik Kongo, Kenya, dan Zambia, dengan nominal tertinggi setara US$29,5 miliar pada 2015.8

Bagi negara-negara berkembang seperti di Afrika, mengandalkan investasi maupun pinjaman asing, terutama dari Tiongkok, untuk membiayai pembangunan di berbagai bidang adalah hal yang lumrah.9 Hal itu dilakukan dengan harapan pembangunan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya dapat digunakan untuk mengembalikan pinjaman tersebut berikut bunganya. Namun demikian, kondisi ideal tersebut belum tentu dapat tercapai. Seperti yang disinggung di awal artikel ini, dewasa ini, sejumlah negara Afrika justru menghadapi ancaman gagal bayar utang. Sebagaimana diungkapkan oleh David Dollar, keterlibatan Tiongkok di Afrika memang sering kali dikaitkan dengan kinerja ekonomi yang lebih baik tetapi hal itu bukan tanpa kontroversi.10 Menurutnya, keterlibatan ekonomi Tiongkok dengan Afrika adalah masalah yang kompleks dengan banyak sisi. Pada umumnya sulit untuk menemukan data komprehensif tentang negara berpenghasilan rendah, khususnya di Afrika. Masalah itu diperparah dengan kecenderungan ke arah non-transparansi di sisi pemerintah dan BUMN Tiongkok. Pada sisi lain, setelah mengendalikan pasar dan kekayaan sumber daya alam, investasi Tiongkok tidak berkorelasi dengan hak kepemilikan dan supremasi hukum di negara tujuan. Dalam pengertian ini, Tiongkok bersikap acuh tak acuh terhadap pemerintahan dan lingkungan negara tujuan investasinya.11

Kekisruhan terkait keterlibatan Tiongkok dalam aspek ekonomi di negara-negara Afrika seperti disampaikan Dollar di atas mulai nampak setidaknya sejak 2016. Menurut penelitian Vines et.al., hal itu dapat dilihat dari laju pinjaman Tiongkok kepada pemerintah di Afrika yang melambat setelah pada tahun 2016 tercatat senilai $28,4 miliar, lalu turun drastis menjadi $8,2 miliar pada tahun 2019, dan jatuh lagi menjadi hanya $1,9 miliar pada tahun 2020.12 Masih menurut mereka, harga komoditas dan tingkat pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) negara-negara Afrika yang menurun sejak 2016 menjadi penyebab utama. Situasi di atas diperparah oleh datangnya pandemi Covid-19 pada 2020 dan krisis Rusia–Ukraina pada 2022. Sebagai akibatnya, potensi bagi negara-negara Afrika untuk gagal membayar utang mereka pada Tiongkok makin meningkat. Bagaimana langkah Tiongkok dalam mengelola potensi gagal bayar tersebut di tengah narasi “jebakan utang” Tiongkok yang semakin santer? Situasi ini oleh para pengamat dipandang sebagai titik krusial Tiongkok dalam kesuksesan menjalankan perannya sebagai kreditur dan investor utama di Afrika.

Perang Pengaruh Tiongkok dan Kekuatan Global Lain di Afrika

Jauh sebelum investasi dan pinjaman Tiongkok ke Afrika mencapai puncak dan kemudian berbalik menjadi potensi gagal bayar, para pemimpin Amerika Serikat (AS) sudah memberikan peringatan soal ini. Misalnya, pada 2011, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton memperingatkan Afrika agar berhati-hati terhadap “kolonialisme baru” Tiongkok dan lebih berfokus pada mitra yang dapat membantu membangun kapasitas ekonomi di benua tersebut.13 Pada 2018, Penasihat Keamanan Nasional AS, John Bolton, menganggap Tiongkok sebagai ancaman nyata bagi kepentingan AS dan Afrika karena karakter kehadiran Tiongkok di Afrika yang bersifat memangsa, oportunistik, dan haus akan kekuasaan. Sedangkan peringatan terkini disampaikan pada April 2023—ketika ancaman gagal bayar negara-negara Afrika sudah menjadi kenyataan—oleh Menteri Keuangan AS, Janet Yellen. Sang menteri menyebut China sebagai kreditur bilateral terbesar di dunia yang cenderung menjadi “batu sandungan”, alih-alih memainkan peran yang lebih bermakna bagi upaya pemberian keringanan utang.14

Komentar elit politik AS tersebut tentu saja perlu didudukkan dalam konteks persaingan pengaruh dengan Tiongkok di Afrika. Pasalnya, selain memberikan peringatan “bahaya” keterlibatan Tiongkok, pada saat bersamaan AS juga meningkatkan keterlibatannya di Afrika. Yang terakhir, kunjungan Wakil Presiden Kamala Harris pada akhir Maret 2023 ke Ghana, Tanzania, dan Zambia. Salah satu isu penting yang dibahas dalam kunjungan tersebut adalah upaya meringankan tekanan utang Ghana dan Zambia.15 Namun demikian, persaingan itu tak selamanya harus dipandang negatif. Presiden Bank Dunia David Malpass dalam liputan yang sama justru menganggap persaingan antara dua kekuatan ekonomi terbesar dunia mungkin malah berdampak positif bagi negara-negara Afrika karena dapat memberikan pilihan yang lebih luas untuk mereka. Senada dengan itu, analis dari Zambia Dr. Sishuwa Sishuwa menilai dalam hal restrukturisasi utang negaranya, Tiongkok memang memegang pengaruh lebih besar. Namun demikian, AS justru dinilai menampilkan diri sebagai partner yang lebih dapat diandalkan. Zambia menilai AS, Tiongkok, maupun Rusia sebagai teman, dan kedekatan terhadap salah satunya tidak dapat ditafsirkan sebagai pengabaian terhadap pihak lain.16

Berdasarkan analisis Malpass, adalah hal yang lumrah bila Tiongkok dalam posisi sebagai kreditur masih menghadapi beragam masalah. Menurutnya, bahkan negara ataupun lembaga pemberi kredit yang berpengalaman pun masih sering menghadapi kendala efektivitas pemberian pinjaman dan analisis kemampuan debitur untuk membayar utang. Masih menurut Malpass, yang menjadi masalah utama pinjaman Tiongkok, selain transparansi, adalah kecenderungan untuk menawarkan proyek pembangunan sekaligus dengan pembiayaan dari satu sumber yang sama (bundling). Hal ini justru yang patut menjadi perhatian debitur karena dapat mengaburkan nilai manfaat yang didapat.17

Sementara itu, studi yang dilakukan Vines et.al. menyoroti lemahnya perencanaan dan koordinasi sebagai permasalahan utama Tiongkok dalam keterlibatannya di Afrika. Selain itu, logika investasi China juga sangat bervariasi, dari pencarian keuntungan bisnis semata hingga perhitungan geostrategis yang bergantung secara politik. Oleh karena itu, masalah utang Tiongkok di negara-negara Afrika tidak dapat digeneralisasi karena motif dan seberapa jauh keterlibatan Tiongkok di negara tersebut dapat berbeda-beda.18

Pelajaran Berharga bagi Indonesia

Apa yang tengah terjadi pada negara-negara Afrika dalam kaitan dengan utang asal Tiongkok di atas patut menjadi sumber referensi bagi kita di Indonesia. Pasalnya, keterlibatan Tiongkok di Indonesia dalam wujud investasi langsung dan pinjaman juga cukup signifikan. Sebagaimana dilaporkan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), foreign direct investment (FDI) Tiongkok pada tahun 2022 menempati posisi kedua dengan nilai US$8,2 miliar.19 Sementara itu, mengutip data Bank Indonesia pada Februari 2023, Tiongkok sudah memberikan pinjaman kepada Indonesia senilai lebih dari US$ 20 miliar.20 Dengan kondisi tersebut, Indonesia patut mengambil hikmah dari situasi tekanan utang yang tengah dihadapi sejumlah negara berkembang di Afrika di atas. Ada beberapa poin yang penting untuk dicermati. Poin penting pertama adalah transparansi, baik dari sisi kreditur maupun debitur, terkait syarat dan ketentuan pemberian utang, beserta rencana pengembalian dan bunganya. Selain itu, sistem bundling pengerjaan proyek pembangunan sekaligus pembiayaan dari pihak yang sama sangat penting untuk dikaji kembali, dan bila memungkinkan dihindari. Selanjutnya, seperti rekomendasi dari studi kasus yang dilakukan oleh Jones dan Hameiri pada proyek BRI di Asia, pembuat kebijakan di negara penerima investasi dan pinjaman Tiongkok perlu meningkatkan kemampuan evaluasi, negosiasi, dan manajemen proyek.21 Sebagai negara berkembang, kita tentu saja memerlukan pembangunan yang adil dan merata. Akan tetapi, jangan sampai pembiayaan pembangunan tersebut malah berujung gagal bayar utang.

Referensi:

  1. Jonathan Josephs, “China’s loan to Africa worry World Bank President David Malpass,” BBC, 2 April 2023, https://www.bbc.com/news/business-65140363
  2. Alex Vines dan Jon Wallace, “China-Africa relations,” Chatham House, 18 Januari 2023, https://www.chathamhouse.org/2023/01/china-africa-relations
  3. Carla D. Jones, et.al., “Chinese Economic Engagement in Africa: Implications for U.S. Policy,” FPRI, 24 Januari 2022, https://www.fpri.org/article/2022/01/chinese-economic-engagement-in-africa/
  4. Ibid
  5. Ibid
  6. Alex Vines, et.al., “The response to debt distress in Africa and the role of China,” Chatham House, 15 Desember 2022, https://www.chathamhouse.org/2022/12/response-debt-distress-africa-and-role-china
  7. Ibid
  8. Ibid
  9. Josephs, “China’s loan”
  10. David Dollar, “China’s engagement with Africa: From natural resources to human resources,” Brookings, 13 Juli 2016, https://www.brookings.edu/research/chinas-engagement-with-africa-from-natural-resources-to-human-resources/
  11. Ibid.
  12. Vines, et.al., “The response”
  13. Reuters, “Clinton warns against ‘new colonialism’ in Africa,” 11 Juni 2011, https://www.reuters.com/article/idINIndia-57642520110611
  14. Reuters, “Yellen Raps China for Serving as ‘Roadblock’ in Debt Restructuring Process,” VOA, 20 April 2023, https://www.voanews.com/a/yellen-raps-china-for-serving-as-roadblock-in-debt-restructuring-process-/7059492.html
  15. Reuters, “Kamala Harris to discuss China influence, debt distress in Africa,” Aljazeera, 24 Maret 2023, https://www.aljazeera.com/news/2023/3/24/us-vice-president-harris-to-address-chinas-influence-and-debt-distress-in-africa-visit
  16. Anne Soy, “Kamala Harris Africa trip: Can US charm offensive woo continent from China?” BBC, 26 Maret 2023, https://www.bbc.com/news/world-africa-65062976
  17. Josephs, “China’s loan”
  18. Vines, et.al., “The response”
  19. Heru Andriyanto, “Indonesia Reports Highest FDI in History,” Jakarta Globe, 25 Januari 2023, https://jakartaglobe.id/business/indonesia-reports-highest-fdi-in-history
  20. “External Debt Statistics – April 2023,” Bank Indonesia, 14 April 2023, https://www.bi.go.id/en/statistik/ekonomi-keuangan/sulni/Pages/SULNI-April-2023.aspx
  21. Lee Jones dan Shahar Hameiri, “Debunking the Myth of ‘Debt-trap Diplomacy’: How Recipient Countries Shape China’s Belt and Road Initiative,” Chatham House, 19 Agustus 2020, https://www.chathamhouse.org/2020/08/debunking-myth-debt-trap-diplomacy/6-conclusion-and-policy-recommendations

Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *