AS, Taiwan dan Kebijakan Satu Tiongkok

AS, Taiwan dan Kebijakan Satu Tiongkok

Kunjungan Nancy Pelosi, ketua Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat (AS), ke Taiwan pada awal Agustus lalu, dapat dianggap sebagai sebuah peristiwa yang menggegerkan seantero dunia. Betapa tidak, kunjungan Pelosi tersebut berlangsung di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), khususnya terkait isu mengenai Taiwan. Beberapa hari sebelum kedatangan Pelosi, RRT telah menyatakan sikap penolakannya terhadap kehadiran pejabat tinggi AS di wilayah yang mereka anggap sebagai “provinsi yang membangkang” itu. Keberangan Tiongkok itu dituangkan dalam pernyataan yang disampaikan oleh kementerian luar negeri mereka. Bahkan beberapa beberapa jam setelah ketibaan Pelosi di Taiwan, militer China mengumumkan akan melaksanakan latihan perang di perairan sekelilingTaiwan.

Reaksi keras RRT di atas terkait erat dengan keinginan Tiongkok untuk menegakan apa yang disebut sebagai “prinsip satu Tiongkok” (One China Principle. Ini terlihat dari pernyataan kemenlu Tiongkok yang menekankan kembali komunike bersama antara RRT dan AS 43 tahun lalu. Dalam komunike bersama itu, AS sepakat mengakui RRT, dan sejak saat itu menerapkan apa yang dikenal sebagai kebijakan satu Tiongkok (One China Policy). Apakah sebenarnya kebijakan satu Tiongkok itu? Bagaimana sejarah munculnya kebijakan tersebut? Apa yang menyebabkan seringkali muncul isu isu terkait kebijakan itu? Artikel singkat ini mencoba untuk mendiskusikan hal-hal mendasar terkait isu di atas.

Suber Ilustrasi Foto : track2training.com

Sejarah Kebijakan Satu Tiongkok

“Prinsip satu Tiongkok” lahir segera setelah berakhirnya perang saudara di negeri itu pada tahun 1949, yaitu perang antara Partai Komunis Tiongkok (PKT) dan Partai Nasionalis Tiongkok yang juga dikenal sebagai Kuomintang (KMT). Perang tersebut berakhir dengan kemenangan kubu PKC  yang dipimpin oleh Mao Zedong. Di bawah kepemimpinan Ketua Mao, panggilan popular Mao Zedong, PKT berhasil menguasai seluruh wilayah Tiongkok dan mendirikan Republik Rakyat Tionghoa (RRT). Sementara pimpinan KMT, Chiang Kai Shek, mengundurkan diri  menuju Taiwan bersama pengikutnya. Di pulau itu, mereka mendirikan pemerintahan, yang mereka nyatakan sebagai kelanjutan dari Republik Tiongkok, yang berkuasa di Tiongkok sejak 1912.

Sejak berdiri di tahun 1949, RRT menganggap diri sebagai satu satunya pemerintahan yang sah dan berhak mewakili seluruh rakyat Tiongkok di dunia internasional. Pengakuan akan hal di atas merupakan syarat yang RRT minta dari setiap negara yang ingin membuka hubungan diplomatik dengan Tiongkok. Ini artinya negara-negara tersebut tidak diperkenankan menjalin hubungan diplomatik dengan Republik Tiongkok di Taiwan. Tak sedikit negara-negara yang membangun hubungan diplomatik dengan RRT dan mengakui prinsip di atas, termasuk Indonesia. Namun meski tidak memiliki hubungan diplomatik, negara-negara tersebut biasanya tetap mempertahankan hubungan ekonomi dan bisnis, serta pertukaran budaya dengan Taiwan.

Penerapan kebijakan “prinsip satu Tiongkok” di atas menyebabkan Taiwan berada pada posisi terisolasi. Meski demikian, selama kurang lebih dua dasawarsa, justru Republik Tiongkok di Taiwan lah yang diterima sebagai perwakilan Tiongkok di Perserikatan Bangsa-Bangsa. RRT baru diterima menjadi anggota organisasi dunia itu pada tahun 1971. Masuknya RRT ke dalam PBB tentu memiliki konsekwensi pada posisi Taiwan dalam percaturan politik internasional. Pada tahun 1971 pula, PBB mengeluarkan Taiwan dari keanggotaannya.  Pada perkembangan selanjutnya, posisi Taiwan makin terpuruk seiring dengan meningkatnya kedekatan AS dan Tiongkok, yang mulai saling mengunjungi sejak tahun 1971. Tahun 1972, presiden Amerika Serikat, Richard Nixon melakukan kunjungan ke Tiongkok dan melahirkan kedekatan diplomatik baru antara AS dan Tiongkok melalui Komunike Shanghai.

Hubungan Tiongkok dan AS berkembang ke arah makin dekat menjelang akhir dekade 1970 an, terlebih setelah Tiongkok dan Amerika Serikat membuat kesepakatan bersama pada tahun 1979. Kesepakatan itu menandai normalisasi hubungan diplomatik AS dan Tiongkok yang didasari atas pengakuan AS terhadap pemerintahan RRT sebagai satu-satunya pemerintahan legal di Tiongkok, meski AS akan tetap mempertahankan hubungan budaya, perdagangan, dan hubungan non diplomatik lainnya dengan Taiwan.  Meski demikian, dalam konteks pengakuan “prinsip Satu Tiongkok,” AS menggunakan kata “acknowledge” alih alih “recognize” terhadap posisi RRT bahwa hanya ada satu Tiongkok dan Taiwan adalah bagian dari Tiongkok. Prinsip inilah yang kemudian dikenal sebagai “kebijakan satu Tiongkok” (One China Policy), dan menjadi norma dan konsensus universal dalam hubungan diplomatik AS dengan Tiongkok.

Multi-Interpretasi Konsep Satu Tiongkok

Pembicaraan mengenai “prinsip satu Tiongkok” menjadi menarik karena berbagai pihak menafsirkan  konsep Satu Tiongkok sesuai posisi masing-masing. Taiwan pun pernah menerima prinsip di atas meski dengan interpretasi yang berbeda, yaitu bahwa Republik Tiongkok di Taiwan lah yang merupakan pemerintah sah dari seluruh daratan Tiongkok. Perbedaan interpretasi ini pernah disepakati dalam sebuah pertemuan tak resmi antara wakil-wakil PKT dan KMT pada tahun 1992. Namun kompromi yang dikenal sebagai “konsensus 1992” itu tidak diakui oleh pemerintahan Taiwan di bawah Partai Demokratik Progresif (DPP) saat ini, yang cenderung memandang Taiwan sebagai sebuah entitas berbeda dan terpisah dari Tiongkok.

Sama halnya dengan Taiwan, AS pun memiliki interpretasi sendiri atas “prinsip Satu Tiongkok.” Meski secara diplomatik AS tidak memiliki hubungan dengan Taiwan, namun sebagai terlihat dalam kesepakatan 1979 yang telah disingung di atas, AS menegaskan akan tetap membuka hubungan dalam bidang kultural dan perdagangan. Pemerintah AS juga berkeinginan untuk memastikan tidak terjadi penyatuan Taiwan dengan Tiongkok dengan jalan kekerasan. Dalam konteks itulah Undang-Undang Hubungan Taiwan (Taiwan Relation Act/TRA) lahir pada tahun 1979. Undang-Undang ini menjadi basis hubungan bagi pihak AS dan Taiwan, dan memungkinkan AS memperlengkapi Taiwan dengan persenjataan untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan RRT.

Belakangan, di tahun 2018, Presiden AS saat itu, Donald Trump, bahkan menandatangani undang-undang terkait kunjungan dari dan ke Taiwan oleh para pejabat tinggi kedua belah pihak. Penandatanganan undang-undang yang disebut sebagai Taiwan Travel Act ini tentu mendapat respons keras dari RRT karena dianggap bertentangan dengan “prinsip satu Tiongkok.” Meski demikian, AS tetap memberlakukan kebijakan tersebut, sebagai terlihat dari kunjungan Presiden Taiwan Tsai Ing-wen ke New York pada tahun 2019. Nampaknya adanya undang-undang ini pulalah yang memungkin kehadiran Nancy Pelosi di Taipei awal agustus lalu, maupun kunjungan rombongan anggota Kongres AS  sekitar dua minggu sesudahnya.

Junianti Hutabarat adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *