Kunjungan Nancy Pelosi dan Komitmen AS atas Taiwan

Kunjungan Nancy Pelosi dan Komitmen AS atas Taiwan

Kunjungan Nancy Pelosi, ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Amerika Serikat (AS), ke Taiwan pada awal bulan ini merupakan sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati. Pasalnya, kunjungan tersebut berlangsung di tengah keberatan China, yang telah disampaikan bahkan ketika lawatan itu masih berupa rencana. Sensivitas dari lawatan tersebut tampaknya membuat Pelosi memilih untuk tidak memberi kepastian mengenai jadi atau tidaknya ia singgah ke pulau tersebut. Kepastian barulah diperoleh oleh media setelah sang pejabat senior AS itu  menjejakan kakinya di Bandar Udara Songshan, Taipei, Taiwan. Mengapa Pelosi tetap melaksanakan kunjungannya di tengah serangkaian keberatan dan bahkan ancaman dari China terhadap kunjungan itu? Apa signal yang disiratkan oleh kunjungan tersebut dalam konteks keterlibatan AS dalam isu mengenai Taiwan? Artikel singkat ini akan mencoba mengulas hal-hal terkait dengan serangkaian pertanyaan di atas.

Lawatan Pelosi dan Ancaman China

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Zhao Lijian, dalam konferensi pers reguler (28/7) menegaskan pihak China sudah berulang kali menyampaikan keberatan kepada AS atas rencana kunjungan Pelosi ke Taiwan. Menurutnya, ini adalah bukti bahwa politisi AS sekali lagi menggunakan ketegangan hubungan China–AS dan gejolak di Selat Taiwan untuk kepentingan mereka sendiri. Selain itu, Zhao juga mengutip pernyataan juru bicara Kementerian Pertahanan China yang mengatakan bahwa militer China tidak akan tinggal diam jika pihak AS tetap memaksakan kunjungan ini. Tindakan keras dan tegas pasti akan diambil untuk menggagalkan setiap usaha campur tangan asing dan upaya pemisahan diri untuk “kemerdekaan Taiwan”.

Pada konferensi pers reguler keesokan harinya (29/7), Zhao menegaskan kembali posisi China yang menentang segala bentuk hubungan resmi antara AS dan Taiwan. Mengutip hasil pembicaraan telepon Presiden Xi Jinping dengan Presiden Joe Biden hari sebelumnya, pihak China menekankan tiga komunike bersama, yang sudah disepakati kedua belah pihak, dan prinsip “Satu China” sebagai landasan politis hubungan China–AS. Jadi, menurut China, pihak AS harus menghormati fondasi tersebut dalam perkataan dan perbuatan.

Sehari sebelum kunjungan (1/8), dalam jumpa pers reguler, Zhao menekankan lagi pesan agar AS tidak “bermain api” dalam masalah Taiwan. Ia mengatakan bahwa kunjungan Pelosi ke Taiwan adalah intervensi serius terhadap masalah dalam negeri China. Kunjungan tersebut mengganggu kedaulatan dan keutuhan wilayah China, mengabaikan prinsip “Satu China”, mengancam stabilitas Selat Taiwan, dan merusak hubungan AS–China. Selain itu, Zhao juga mengulangi pesan bahwa Tentara Pembebasan Rakyat sudah siap siaga untuk memberikan respons tegas dan tindakan balasan demi mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorial China. Meski demikian, di tengah berbagai keberatan dan ancaman dari China di atas, Pelosi tetap melaksanakan lawatannya ke Taiwan. Bagaimana kita memaknai keputusan Pelosi untuk tetap menjalankan kunjungannya itu?

Foto yang di unggah oleh Kantor Kepresidenan Taiwan.
Sumber Foto : Republika.id

Kunjungan Pelosi dan Konfirmasi Komitmen AS atas Taiwan

Kunjungan Nancy Pelosi ke Taiwan perlu untuk dipahami dalam konteks upaya AS mempertahankan status quo di Taiwan pascapembukaan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat China (RRC) pada 1979. Mengingat pembukaan hubungan diplomatik tersebut mensyaratkan diakuinya prinsip “Satu China” (One China Principle), AS menerapkan apa yang dikenal sebagai “Kebijakan Satu China” (One China Policy) dan menutup kedutaan besarnya di Taipei, Taiwan. Pengakuan terhadap RRC di atas tidak lantas membuat AS mengabaikan hubungannya dengan Taiwan. Pada 10 April 1979 Presiden Jimmy Carter menandatangani Taiwan Relations Act. Salah satu poin undang-undang tersebut adalah dukungan AS untuk kapasitas pertahanan Taiwan. Namun demikian, AS juga mempraktikkan apa yang disebut sebagai “ambiguitas strategis” (strategic ambiguity) dengan tidak pernah mengungkapkan secara jelas bantuan pertahanan apa yang akan diberikan AS kepada Taiwan. AS tidak menyatakan dengan tegas mengenai apakah negara adidaya itu akan menurunkan pasukan atau sekadar menyuplai persenjataan bila Taiwan terlibat konflik militer dengan China. Strategi ini bertujuan untuk mempertahankan status quo, agar Taiwan tidak berusaha mendeklarasikan kemerdekaan, dan pada saat bersamaan mencegah China menggunakan kekuatan militer untuk mempersatukan Taiwan dalam naungan RRC. 

Namun dalam beberapa waktu belakangan ini, terjadi beberapa perkembangan yang menyebabkan beberapa pihak mempertanyakan kembali posisi AS dalam isu yang dikenal sebagai hubungan antar-Selat ini. Salah satunya adalah pernyataan Presiden Joe Biden yang menegaskan bahwa AS siap untuk mengerahkan kekuatan militer untuk mempertahankan Taiwan jika China mengambil alih Taiwan dengan kekuatan senjata. Pernyataan yang disampaikan Biden dalam kunjungannya ke Tokyo itu kontan saja membuat banyak pihak bertanya-tanya: apakah pernyataan tersebut mengindikasikan berakhirnya “ambiguitas strategis” yang selama ini diterapkan AS?

Kunjungan Pelosi seolah-olah memberikan jawaban bagi pertanyaan semacam itu. Nancy Pelosi sendiri menyampaikan dalam op-ed yang diterbitkan The Washington Post (2/8) bahwa kunjungannya ke Taiwan adalah bentuk komitmen untuk terus mendukung demokrasi di tengah situasi dunia yang harus menghadapi pilihan antara autokrasi dan demokrasi. Menurutnya, Beijing secara dramatis telah menaikkan tensi hubungan dengan Taiwan melalui peningkatan intensitas patroli militer, serangan cyber, dan tekanan ekonomi. Masih menurut Pelosi, Partai Komunis China juga mengingkari janji “Satu Negara, Dua Sistem” untuk Hong Kong, dengan pembatasan kebebasan politik dan hak asasi manusia, serta melancarkan kampanye untuk membatasi etnis minoritas, seperti Uyghur dan Tibet. Dalam pandangan beberapa pengamat, baik pernyataan-pernyataan di atas maupun kedatangan Pelosi ke Taiwan memiliki arti penting. Sebagaimana disampaikan oleh James Lee dan M. Patrick Hulme, alih alih sebagai upaya untuk menggeser “ambiguias strategis,” kunjungan Pelosi lebih merupakan upaya untuk mencegah Beijing melakukan aksi sepihak untuk mengubah status quo. Selain itu, kunjungan dan pernyataan Pelosi di atas menjadi signal bagi dukungan Kongres AS terhadap komitmen yang ditegaskan Presiden Biden untuk mempertahankan status quo Taiwan.  

Ignatius Edhi Kharitas, Adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *