Siauw Giok Tjhan dan Perjuangan Kesetaraan

Siauw Giok Tjhan dan Perjuangan Kesetaraan

“Jas merah, Jangan sekali-kali melupakan sejarah,” demikian bunyi salah satu kalimat Bung Karno yang sangat populer. Namun untuk mengingat sejarah, perlu pula bagi kita mengingat para pelakunya. Untuk tujuan itulah artikel ini hadir di hadapan para pembaca. Artikel ini mencoba mengulas kembali sosok tokoh besar dan berpengaruh, serta pahlawan dari kalangan etnis Tionghoa yang nyaris terlupakan oleh sejarah: Siauw Giok Tjhan. Gagasan menghadirkan tulisan singkat ini muncul saat penulis berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan salah satu putri Siauw Giok Tjhan, yaitu Ibu Siauw May Lie, pada awal bulan Juni lalu.

Sosok Siauw Giok Tjhan adalah salah satu tokoh besar dan berpengaruh dari kalangan etnis Tionghoa yang berjuang untuk kesetaraan dan antidiskriminasi bagi orang-orang Tionghoa. Salah satu gagasannya adalah memperjuangkan pengakuan dan penerimaan bagi etnis Tionghoa sebagai salah satu suku di Indonesia. Kharisma dan sikap antidiskriminasi dalam diri Siauw Giok Tjhan lahir dan tumbuh semenjak beliau masih remaja. Siauw lahir di Surabaya pada tahun 1914 dari pasangan Siauw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio. Merujuk pada artikel Maya H.T. Liem and Ing Lwan Taga-Tan yang berjudul “Between ideology and experience”, Siauw Giok Tjhan tumbuh di keluarga yang multikultural. Keluarga Siauw bukan hanya merupakan keluarga yang mempraktikkan tradisi Tionghoa dan Konfusianisme, namun juga akrab dengan tradisi Jawa, mulai dari cara berpakaian, makanan, hingga kegemaran pada wayang dan musik gamelan. Namun dalam hal pendidikan, Siauw mengecap pendidikan ala Belanda di sekolah Hoogere Burgerschool (HBS). Di usia 18 tahun, yaitu pada tahun 1932, Siauw muda bergabung ke Partai Tionghoa Indonesia (PTI) yang didirikan oleh temannya, Liem Koen Hian. PTI adalah partai yang didirikan oleh peranakan Tionghoa yang memilih Indonesia, alih-alih Tiongkok, sebagai tanah airnya, serta ikut berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

Masih menurut Maya Liem dan Taga-Tan, Siauw Giok Tjhan yang gemar menulis memilih bekerja sebagai jurnalis. Pada tahun 1933 Siauw bergabung menjadi wartawan di koran Sin Tit Po. Pekerjaan sebagai jurnalis ini justru membuat Siauw berkenalan dengan gagasan-gagasan kebangsaan Indonesia dari tokoh-tokoh nasionalis, seperti Ir. Soekarno dan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Aktivitas sebagai wartawan jugalah yang mempertemukan Siauw dengan dua sosok intelektual Tionghoa di Surabaya yang baru kembali dari studi di Belanda, yaitu Tan Lin Djie dan Tjoa Siek Ien. Sebagaimana dicatat oleh Liem dan Taga-Tan, kedua sosok ini berperan memperkenalkan pandangan Marxisme dan figur komunis dari Tiongkok, Mao Zedong, pada Siauw. Menurut Leo Suryadinata dalam buku berjudul Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches, periode inilah yang membentuk orientasi politik Siauw menjadi  berhaluan sosialis dan anti-kolonialisme.

Dalam artikel obituari Go Gien Tjwan, “In Memoriam: Siauw Giok Tjhan (1914-1981),” disebutkan bahwa setelah Indonesia merdeka, Siauw mengajak komunitas-komunitas Tionghoa, baik peranakan maupun totok, untuk aktif berpartisipasi dalam Revolusi Indonesia. Menurutnya, masa depan Tionghoa akan terjamin bila turut serta dalam revolusi tersebut. Siauw bersama-sama dengan Go Gien Tjwan juga mendirikan organisasi pemuda Tionghoa peranakan, yaitu Angkatan Muda Tionghoa (AMT) dan Palang Biru di Malang. Organisasi ini pun turut serta bersama pejuang Indonesia dalam pertempuran Surabaya 10 November 1945.

Liem dan Taga-Tan juga menuliskan bahwa pada tahun 1946, Siauw bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia bentukan Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Di tahun yang sama juga, Siauw terpilih menjadi salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), badan legislatif di awal kemerdekaan Indonesia. Melalui KNIP, Siauw turut berperan dalam perumusan undang-undang kewarganegaraan Indonesia yang disahkan tahun 1946. Siauw juga pernah menjabat sebagai Menteri Urusan Minoritas di kabinet Sjarifuddin tahun 1947 dengan tugas, antara lain, menyelesaikan masalah dwi-kewarganegaraan etnis Tionghoa. Merujuk pada Charles A. Coppel (2002) dalam “Studying Ethnic Chinese in Indonesia,” persoalan dwi- kewarganegaraan ini adalah akibat dari perbedaan kebijakan politik antara pemerintah Tiongkok dan Indonesia dalam menentukan status kewargaan. Tiongkok menganut “sistem aktif” yang mengharuskan orang Tionghoa di Indonesia untuk membuat pernyataan aktif bahwa mereka tidak menolak kewarganegaraan Indonesia, sedangkan Indonesia menganut prinsip “sistem pasif” yang telah diatur dalam UU kewarganegaraan tahun 1946. Dampak dari ambiguitas status kewarganegaraan bagi etnis Tionghoa ini ialah ketidakmenentuan status hukum bagi mereka di Indonesia.

Sumber Foto : sylvietanaga.wordpress.com

Aktivisme Siauw untuk memperjuangkan kesetaraan bagi etnis Tionghoa Indonesia terus berlanjut. Perjuangannya itu dilakukan melalui organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Sejak berdiri tahun 1954, Baperki berjuang untuk keadilan dan kesetaraan bagi etnis Tionghoa yang ingin mendapatkan status kewargaan Indonesia. Menurut Siauw Tiong Djin, putra dari Siauw Giok Tjhan yang juga merupakan seorang akademisi, tekad awal para pendiri Baperki sejak terbentuk pada 13 Maret 1954 ialah untuk memperjuangkan status kewarganegaraan bagi etnis Tionghoa yang setara dengan warga Indonesia lainnya, yaitu sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) sebagaimana termuat dalam Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan Indonesia 1946. Berdasarkan UU tersebut, semua orang yang lahir di Indonesia adalah WNI, kecuali secara aktif menolak kewarganegaraan Indonesia di pengadilan.

Selain itu, Siauw Giok Tjhan dan Baperki menolak pemisahan etnis warisan kolonial, dengan menyerukan kebijakan integrasionis secara utuh, sehingga etnis Tionghoa tidak perlu menanggalkan ciri-ciri dan kebudayaannya untuk menjadi bangsa Indonesia. Semangat sosialisme di tubuh Baperki yang dibawa oleh Siauw Giok Tjhan menekankan bahwa menjadi bangsa atau warga negara itu adalah memperjuangkan keadilan dan persamaan kedudukan. Oleh karena itu, Baperki aktif berperan memberikan sosialisasi bahwa etnis Tionghoa harus setara dengan etnis lainnya. Seperti dicatat oleh Charles A. Coppel, selain memperjuangkan status kewarganegaraan Indonesia bagi etnis Tionghoa, Baperki dan Siauw Giok Tjhan juga turut membantu anak-anak etnis Tionghoa yang masih berstatus WNA dan stateless (tidak memiliki kewarganegaraan) untuk memperoleh pendidikan dengan mendirikan sejumlah sekolah dan kampus Universitas Respublica.

Namun memasuki periode Orde Baru, baik Siauw maupun Baperki mulai mengalami keredupan. Pemberangusan gerakan-gerakan berhaluan komunis maupun sosialis, termasuk penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang diduga memiliki afiliasi pada organisasi kiri, juga menyasar organisasi itu. Baik organisasi Baperki maupun sekolah dan kampus yang dimilikinya dibubarkan. Siauw Giok Tjhan pun menjadi tahanan politik dari tahun 1965 hingga 1978 tanpa pernah diadili.

Tahun 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia secara mendadak di Belanda, jauh dari tanah air Indonesia yang dicintainya. Dalam catatan obituarinya, Go Gien Tjwan, sahabat Siauw Giok Tjhan di Baperki, mengatakan bahwa Siauw meninggal dunia dalam perjalanannya untuk menghadiri dan berbicara dalam forum diskusi terbuka di Universitas Leiden yang diselenggarakan mahasiswa sejarah dan para indonesianis Belanda. Siauw Giok Tjhan meninggalkan warisan nilai-nilai kesetaraan dan perjuangan antidiskriminasi bagi etnis minoritas.

Junianti Hutabarat adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

satu Respon

  1. Kesalahan Siauw adalah menempatkan BAPERKi menjadi organisasi yang bergabubg dengan PKI. Jadu, ketika G30S gagal, seluruh organisasi kemasyarakatan yang berlindung di bawah PKI dibabat habis oleh pemerintah Orde Baru yang anti komunis dan menuduh Cina sebagai otak di balik G30S. Ini menjadi pelejaran hendaknya organisasi Tionghoa yang ada sekarang tidak nyantel ke partai atau politik manapun. {Ini adalah komentar dari seorang teman, namanya Tan Boen Hua yang sekarang tinggal di sebuah negara Eropa.)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *