Tionghoa dan Politik Indonesia Dewasa Ini: Pandangan, Harapan, dan Tantangan

Tionghoa dan Politik Indonesia Dewasa Ini: Pandangan, Harapan, dan Tantangan

Gerbang Kehormatan Tionghoa di Kesawan, Medan saat perayaan 25 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina pada September 1923. Photo: COLLECTIE TROPENMUSEUM
Gerbang Kehormatan Tionghoa di Kesawan, Medan saat perayaan 25 tahun pemerintahan Ratu Wilhelmina pada September 1923. Photo: COLLECTIE TROPENMUSEUM

Demokratisasi yang berlangsung di Indonesia dalam hampir 25 tahun terakhir ini telah memberi ruang yang lebih besar bagi berbagai kelompok masyarakat di Indonesia untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial politik di negeri ini. Tionghoa Indonesia adalah salah satu dari kelompok masyarakat yang mendapatkan lebih banyak ruang untuk berpartisipasi dalam era Indonesia Pasca-Orde Baru ini. Meski Tionghoa adalah salah satu dari 15 kelompok etnik terbesar di negeri ini,1 mereka menjadi target dari berbagai peraturan diskriminatif yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru.2 Di bawah rezim yang bersifat otoritarian itu, Tionghoa mengalami berbagai pengekangan, baik dalam ekspresi identitas maupun budaya. Mereka didorong untuk mengambil jarak dari partisipasi politik, dan cenderung diarahkan pada kegiatan-kegiatan ekonomi dan bisnis semata.3 Namun sejak berakhirnya pemerintahan otoritarian Orde Baru, berbagai pengekangan terhadap komunitas Tionghoa dihapuskan. Menguatnya iklim demokrasi di negeri ini menjadi berkah tersendiri bagi komunitas Tionghoa Indonesia.4 Mereka kembali memperoleh hak dan ruang untuk mengekspresikan identitas dan budaya mereka.5 Bahkan, dalam lebih dari dua dasawarsa terakhir ini, partisipasi orang-orang Tionghoa dalam politik cenderung meningkat.6

Sebagai hasil dari partisipasi politik di atas, Tionghoa Indonesia—baik sebagai sebuah kelompok masyarakat maupun secara individu—semakin terintegrasi ke dalam kancah politik bangsa. Tak sedikit dari mereka bahkan berhasil meraih jabatan-jabatan politik yang penting. Salah satu di antara mereka adalah Basuki Tjahaja Purnama (BTP). Politisi beretnik Tionghoa asal kabupaten Belitung Timur ini berhasil meraih jabatan sebagai bupati di daerah kelahirannya pada 2005. Pada 2012, pria yang juga populer dengan panggilan Ahok ini berpasangan dengan Walikota Surakarta kala itu, Joko Widodo (Jokowi), untuk bertarung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta di tahun 2012. Pada peristiwa politik tersebut, pasangan Jokowi dan BTP berhasil memenangkan pilkada dan menjadi pasangan pemimpin ibu kota periode 2012—2017. Belakangan, setelah Jokowi memenangkan pemilihan umum 2014 dan memulai jabatan barunya sebagai Presiden Republik Indonesia, BTP menggantikan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta.

BTP bukan hanya memiliki karier yang terhitung mulus. Ia juga dianggap sebagai simbol dari penerimaan masyarakat Indonesia terhadap politisi dengan latar belakang etnik Tionghoa. Penerimaan masyarakat itu terlihat dari terpilihnya BTP untuk memegang jabatan politik strategis. Namun, di tengah optimisme terhadap makin meningkatnya penerimaan tersebut, resistensi terhadap kepemimpinan beliau justru meningkat, khususnya pada pertengahan hingga akhir 2016. Gelombang penolakan terhadap BTP berlangsung dalam skala yang cukup besar ketika beliau kembali berpartisipasi dalam pilkada tahun 2017 untuk mempertahankan jabatan sebagai gubernur ibukota pada periode berikutnya. Yang penting untuk dicatat, etnisitas beliau sebagai Tionghoa turut pula diangkat dalam gelombang penolakan terhadap beliau.

Muncul kembalinya isu identitas dalam gelombang resistensi terhadap BTP menjelang dan di sepanjang pilkada tahun 2017 tentu membawa dampak tertentu bagi masyarakat Tionghoa, termasuk para politisi dan pemimpin komunitas Tionghoa. Bagaimana mereka merespons peristiwa di atas? Akankah mereka kecewa dan bersikap pesimistik terhadap situasi politik negeri ini? Atau apakah mereka tetap memiliki optimisme dan mempertahankan komitmen untuk berkontribusi bagi perpolitikan di Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting untuk dicari jawabannya.

Meski tak bermaksud mewakili pandangan seluruh pemimpin komunitas dan politisi Tionghoa terhadap situasi politik di Indonesia dewasa ini, tulisan ini mencoba untuk menampilkan suara dari sebagian politisi dan tokoh komunitas Tionghoa dalam kaitan dengan pertanyaan-pertanyaan di atas. Berdasarkan percakapan yang berlangsung pada paruh kedua tahun 2019 dengan beberapa politisi dan tokoh masyarakat Tionghoa, penulis menemukan bahwa pandangan mereka terhadap kondisi politik Indonesia dewasa ini sangat beragam. Namun demikian, di antara berbagai pandangan tersebut terdapat beberapa pokok-pokok pikiran yang sangat menarik, yang membentuk sebuah benang merah yang penting untuk diperhatikan.

Pertama, meski sebagian dari para politis dan tokoh tersebut mengakui terdapat kekecewaan dan kekhawatiran terhadap kembalinya isu etnisitas di seputar pilkada 2017 yang lalu, mereka tetap memiliki sikap optimis dan bersemangat untuk terus berkontribusi bagi negeri ini melalui partisipasi politik. Ini terlihat dari tak sedikit orang Tionghoa yang turut berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun 2019 sebagai calon anggota legislatif, baik pada tataran pusat maupun daerah. Bahkan, mereka yang belum berhasil mendulang suara untuk terpilih sebagai anggota legilatif tetap memiliki semangat untuk terus berkontribusi dalam bidang politik.

Kedua, optimisme dan semangat di atas antara lain disebabkan karena mereka masih memiliki kepercayaan dan harapan terhadap semangat toleransi dan kebhinekaan dalam masyarakat Indonesia. Dalam pandangan seorang politisi muda Tionghoa, misalnya, fakta bahwa BTP memperoleh lebih dari 40 persen suara dalam pilkada 2017 lalu merupakan bukti bahwa masyarakat Indonesia sangat toleran. “Dari lebih 40 persen pemilih BTP itu, tentu terdapat sejumlah besar orang non-Tionghoa dan yang memiliki kepercayaan berbeda dari BTP,” tutur sang politisi. Seorang politisi Tionghoa lain, yang adalah seorang wanita dengan usia yang relatif muda, menuturkan pengalamannya bahwa ia justru memperoleh penerimaan yang hangat ketika melaksanakan program kampanye di wilayah dengan mayoritas penduduk non-Tionghoa. Yang juga menarik untuk dicatat, sang politisi wanita juga berpendapat bahwa kebhinekaan Indonesia harus dipertahankan melalui perjuangan. Menurutnya, isu terkait identitas etnis dalam politik sebenarnya hanyalah isu yang diembuskan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingannya. Meski demikian, bila isu tersebut terus berembus, ia akan membawa dampak buruk bagi nilai Bhineka Tunggal Ika yang melandasi Indonesia. Oleh karenanya, politisi wanita di atas merasa terpanggil untuk berjuang bagi nilai-nilai kebhinekaan bangsa Indonesia.

Ketiga, setidaknya sebagian dari para politisi dan pemimpin masyarakat Tionghoa di atas memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap demokrasi dan sistem politik. Seorang pemimpin komunitas Tionghoa berusia sekitar 50 tahun, misalnya, menyampaikan harapannya agar partai politik di Indonesia berperan lebih besar lagi dalam meningkatkan kualitas demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Bagi pria yang satu dasawarsa lalu turut mencalonkan diri sebagai anggota legislatif itu, meningkatnya kualitas demokrasi dan HAM merupakan langkah penting menuju Indonesia yang lebih baik, yang ia anggap sebagai sebuah cita-cita luhur yang turut ia perjuangkan. Sementara itu, seorang politisi Tionghoa lainnya, yang juga berusia sekitar 50 tahun, menyatakan optimismenya pada partai politik di Indonesia. Menurutnya, partai-partai politik di Indonesia telah terbuka dan tidak mempersoalkan identitas etnik maupun agama dari mereka yang ingin bergabung.

Keempat, di tengah kekecewaan yang mungkin terjadi akibat kembalinya isu identitas dalam politik di tahun 2017 lalu, nasionalisme keindonesiaan dari para politisi dan tokoh komunitas Tionghoa bukan saja tak luntur, tetapi bahkan semakin tinggi. Sang politisi berusia setengah baya di atas, misalnya, menyatakan bahwa, “Kalau Indonesia mau maju, rakyatnya harus  memiliki semangat nasionalisme yang tinggi. Rasa nasionalisme itulah yang akan membuat kita menyalurkan setiap potensi yang ada pada kita untuk bangsa dan negara.” Semangat nasionalisme keindonesiaan juga disampaikan oleh seorang aktivis wanita Tionghoa—yang sempat bergabung dengan sebuah partai politik pada pemilu 2019 lalu. Ia beranggapan bahwa Tionghoa perlu merasa menjadi salah satu dari suku-suku yang membentuk Indonesia, sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku. Mengenai asal usulnya ia berkata, “Saya seratus persen Tionghoa, kakek saya berasal dari Cina, tetapi saya bukan orang Cina. Sampai detik ini saya tidak tahu Cina itu seperti apa. Saya bisa Bahasa Mandarin. Saya bisa Bahasa Hokien. […] tetapi saya hanya tahu saya adalah orang Indonesia. Dan saya ingin Indonesia menjadi tempat hidup anak dan cucu saya di masa datang.”  

Kelima, para politisi dan tokoh Tionghoa di atas beranggapan bahwa orang-orang Tionghoa perlu lebih meningkatkan kesadaran berbangsa dan kesadaran sebagai warga negara. Seorang aktivis muda Tionghoa, misalnya, mengkritisi keengganan Tionghoa untuk melakukan pembelaan terhadap kelompok-kelompok minoritas lainnya, yang sedang atau pernah mengalami diskriminasi. Menurutnya, tak sedikit Tionghoa yang telah merasa nyaman dan oleh karenanya tak tergerak melakukan pembelaan terhadap kelompok lain. Bagi aktivitis muda Tionghoa di atas, sikap ini menunjukan proses keindonesiaan yang belum selesai. “Mereka sudah memiliki kesadaran politik, tetapi masih perlu meningkatkan kesadaran sebagai warga negara, kesadaran berbangsa, dan bertanah air,” tuturnya.

Berbagai pokok pikiran yang telah disuarakan oleh beberapa politisi dan pemimpin komunitas Tionghoa di atas pada hakikatnya dapat diringkas menjadi sebuah pernyataan berikut ini: Tionghoa Indonesia tetap memiliki optimisme terhadap situasi politik bangsa ini—betapapun dinamisnya situasi tersebut—dan tetap menganggap penting perjuangan demi kebhinekaan, nasionalisme Indonesia, serta kualitas demokrasi dan HAM. Meski demikian, masih terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Pada satu sisi, sebagaimana disampaikan oleh pemerhati Tionghoa asal Malaysia, Dr. Wu Ling Chong, Tionghoa masih dipandang oleh kelompok-kelompok lain dalam masyarakat Indonesia sebagai kelompok minoritas asing yang kaya, hanya memikirkan diri sendiri, ekslusif, korup, dan oportunis.7 Pada sisi lain, sebagai disampaikan oleh Profesor Leo Suryadinata dalam beberapa tulisan beliau,8 setidaknya dalam satu dasawarsa terakhir, negara Republik Rakyat Cina (RRC) tampak berupaya untuk mengingatkan orang-orang Tionghoa yang telah bermigrasi ke berbagai penjuru dunia—termasuk Tionghoa Indonesia—bahwa mereka memiliki hubungan khusus dengan RRC. Dalam pandangan penulis, upaya yang bertujuan untuk membawa keuntungan bagi kebijakan luar negeri RRC ini justru akan menempatkan Tionghoa Indonesia dalam posisi sulit karena ia justru berpotensi melanggengkan sebuah stereotipe terhadap Tionghoa yang masih belum lenyap, yaitu bahwa Tionghoa masih memiliki loyalitas pada “negeri leluhur.”9 Oleh karenanya, sikap sebagian Tionghoa Indonesia yang dalam catatan Profesor Leo Suryadinata menolak upaya RRC di atas patut untuk diapresiasi.10 Sikap tersebut seolah menegaskan untuk kesekian kalinya, bahwa nasionalisme Tionghoa Indonesia adalah nasionalisme Indonesia.

Referensi:

  1. Aris Ananta et. al., Demography of Indonesia’s Ethnicity. Singapura: ISEAS, 2015.
  2. Mengenai pengalaman etnik Tionghoa dalam periode Orde Baru, lihat karya klasik Charles A. Coppel, Indonesian Chinese in Crisis. Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1983.
  3. Johanes Herlijanto, “’Search for Knowledge As Far As China’: Indonesian Responses to the Rise of China,” dalam Chinese Encounters in Southeast Asia: How People, Money, and Ideas from China Are Changing a Region, diedit oleh Pal Nyiri dan Danielle Tan. Seattle: University of Washington Press, 2017, pp. 195-213.
  4. Wu-Ling Chong, Chinese Indonesians in Post-Suharto Indonesia: Democratisation and Ethnic Minorities. Hong Kong: Hong Kong University Press, 2018
  5. Lihat misalnya, Chang-Yao Hoon, Chinese Identity in Post-Suharto Indonesia: Culture, Politics and Media. Brighton : Sussex Academic Press, 2011; Chang-Yau-Hoon dan Esther Kuntjara, “The politics of Mandarin fever in contemporary Indonesia: Resinicization, economic impetus, and China’s soft power,” Asian Survey 59(3), pp. 573-594.
  6. Hoon. (2011).; Chong. (2018).
  7. Ibid
  8. Leo Suryadinata, The Rise of China and the Chinese Overseas: A Study of Beijing Changing Policy in Southeast Asia and Beyond. Singapura: ISEAS, 2017; Suryadinata, “Rising China, New Migrants and Ethnic Chinese Identity in Southeast Asia,” dalam Rising China and New Chinese Migrants in Southeast Asia, diedit oleh Leo Suryadinata dan Benjamin Loh. Singapura: ISEAS, 2022., hal. 20-30.
  9. Diego Fossati, Hui Yew-Foong, dan Siwage Dharma Negara, “The Indonesian National Survey Project: Economy, Society, and Politics,” Trends in Southeast Asia (10)27.
  10. Suryadinata, “Rising China..”


Johanes Herlijanto adalah dosen pada program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan dan ketua Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *