Hubungan Tiongkok dan Inggris: Era Keemasan yang Telah Berlalu?

Hubungan Tiongkok dan Inggris: Era Keemasan yang Telah Berlalu?

Bendera UK dan China Sumber Foto: GETTY IMAGES
Bendera UK dan China Sumber Foto: GETTY IMAGES

Publik Inggris dalam beberapa waktu terakhir dihebohkan dengan isu spionase melalui perangkat elektronik yang diproduksi oleh perusahaan Tiongkok. Sebagaimana diberitakan BBC, mantan kepala MI6 Sir Alex Younger, yang memimpin badan intelijen Inggris itu dari 2014 hingga 2020, menyatakan bahwa negara-negara Barat berada di bawah tekanan penuh spionase Tiongkok. Lebih lanjut lagi, ia juga menekankan bahwa Inggris perlu membatasi toleransi terhadap negara-negara yang berperilaku tidak terpuji1. Sementara itu, Financial Times mengangkat laporan komisioner Kantor Biometrik dan Kamera Surveilans Inggris yang mengemukakan kekhawatiran bahwa kepolisian Inggris rentan untuk dimata-matai oleh Beijing karena ketergantungan mereka pada teknologi buatan Tiongkok2.

Rangkaian pemberitaan tersebut tampaknya semakin memperkeruh suasana hubungan diplomatik kedua negara yang sedang berada pada titik nadir. Tentu masih segar dalam ingatan publik pernyataan Perdana Menteri (PM) Inggris Rishi Sunak pada akhir November 2022. Ia mengatakan era keemasan hubungan dengan Tiongkok telah berakhir. Oleh karenanya, ia berjanji untuk mengevolusikan sikap Inggris terhadap negara tersebut. Dalam pidato kebijakan luar negeri pertamanya itu, PM Sunak menyatakan hubungan ekonomi yang lebih dekat pada dekade sebelumnya adalah sesuatu yang naif. Lebih lanjut lagi, ia juga mengatakan bahwa Inggris harus berhenti berandai-andai dan menerapkan pragmatisme yang kuat terhadap Tiongkok sebagai pesaing. Namun demikian, ia juga memperingatkan agar Inggris tidak terjebak dalam retorika Perang Dingin karena, bagaimanapun juga, signifikansi Tiongkok dalam panggung global tidak dapat diabaikan3. Pernyataan itu semakin mempertegas posisi Inggris yang sepertinya sedang menjaga jarak dengan Tiongkok, mengingat beberapa minggu sebelumnya dalam ajang Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Bali PM Sunak secara sepihak membatalkan pertemuan dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping. Alasan yang dikemukakan oleh juru bicara Kantor Perdana Menteri Inggris adalah jadwal yang bentrok. Sementara di sini lain, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok mengungkapkan bahwa pihaknya tidak menerima penjelasan resmi apa pun dari pihak Inggris terkait pembatalan itu.4

Seperti terungkap dalam pidato PM Sunak di atas, Inggris dan Tiongkok pernah mengalami hubungan ekonomi yang intens selama hampir satu dekade yang disebut sebagai era keemasan hubungan kedua negara. Artikel singkat ini akan memaparkan bagaimana cikal bakal munculnya era keemasan tersebut? Mengapa era itu dianggap telah berakhir? Apa latar belakang perubahan tersebut? Mungkinkah era keemasan tersebut akan kembali?

Cikal Bakal Era Keemasan Hubungan Inggris dan Tiongkok

Berdasarkan penelitian Yue Ming dan Michael Plouffe dari School of Public Policy, University College London, konsensus ilmiah merujuk tahun 1997 sebagai titik balik dalam hubungan Inggris-Tiongkok. Tidak lagi didominasi oleh masalah pengembalian Hong Kong, kebijakan Inggris terhadap Tiongkok pun mulai dipengaruhi oleh hubungan komersial setelah tahun tersebut. Meskipun pertimbangan komersial telah menjadi bagian dari hubungan bilateral bahkan sebelum 1997, hanya setelah penyerahan Hong Kong kedua negara mulai membuka jalan bagi hubungan yang lebih konstruktif.5 Salah satu ahli pendukung konsensus tersebut adalah Shaun Breslin, profesor pada Department of Politics and International Studies, University of Warwick. Menurut Profesor Breslin, dalam mengembangakan kerangka kerja hubungan bilateral pasca-pengembalian Hong Kong, kebijakan resmi Inggris terhadap Tiongkok memiliki dua tujuan utama: meningkatkan kesempatan komersial untuk pebisnis dan perusahaan asal Inggris, sekaligus mempromosikan perubahan politik dan sosial yang “positif” di Tiongkok. Keterlibatan ekonomi akan menciptakan jaringan interaksi transnasional yang padat. Dengan demikian, perubahan politik di Tiongkok dipercaya akan terjadi karena negara itu semakin lama menjadi semakin terlibat dalam ekonomi global.6 Dalam konteks regional, prinsip semacam itu juga diterapkan oleh Jerman dalam pendekatannya terhadap Tiongkok.

Senada dengan itu, Kerry Brown, profesor studi China pada King’s College, London, menilai sejak memegang tampuk kepemimpinan pemerintahan Inggris pada Mei 1997, Partai Buruh harus menghadapi dilema “aktif terlibat dengan Tiongkok atau justru membendungnya” (to engage or to contain). Untuk itu, Perdana Menteri Tony Blair, dalam semangat kebijakan luar negeri yang etis, perlu menyeimbangkan antara nilai-nilai yang dianut Inggris dan kepentingan ekonomi. Hal itu dapat dilakukan melalui kebijakan keterlibatan dengan Tiongkok yang fleksibel, yaitu tetap mampu mengedepankan masalah hak asasi manusia dan isu sensitif lain di Tiongkok sambil memastikan kegiatan bisnis terus berjalan lancar.7 Menjelang akhir kepemimpinannya, Partai Buruh bahkan berhasil menerbitkan panduan strategi The UK and China: A Framework for Engagement. Dokumen tersebut menekankan perlunya memanfaatkan pertumbuhan ekonomi Tiongkok untuk sebaik-baiknya kepentingan Inggris, mendorong Tiongkok agar menjadi pemain global yang bertanggung jawab, serta mendukung modernisasi demokrasi di Tiongkok.

Partai Konservatif di bawah pimpinan Perdana Menteri David Cameron yang memuncaki pemerintahan Inggris pada 2010 secara perlahan menggeser strategi pendekatan terhadap Tiongkok, dengan penekanan pada peningkatan hubungan komersial bilateral. Pada awal masa kepemimpinannya, PM Cameron sempat melakukan blunder dengan menerima kunjungan Dalai Lama pada Mei 2012.8 Insiden ini sempat membuat hubungan bilateral kedua negara menjadi renggang. Meski demikian, ketegangan itu tak berlangsung lama. Bahkan, pada 2015 “era keemasan” menjadi istilah yang sering muncul dalam retorika pejabat publik Inggris ketika membicarakan hubungan negaranya dengan Tiongkok. Misalnya, Chancellor of the Exchequer (pejabat setara menteri keuangan), George Osborne, dalam pidatonya di Bursa Efek Shanghai pada 22 September 2015 menyerukan untuk menciptakan dekade emas dalam hubungan Inggris dan Tiongkok.9 Perdana Menteri Cameron sendiri dalam wawancara dengan pers sebelum kunjungan kenegaraan Presiden Xi Jinping ke Inggris pada Oktober 2015 menyatakan keyakinannya akan era emas hubungan bilateral kedua negara akan mendatangkan keuntungan yang lebih besar untuk perdagangan dan investasi bagi kedua pihak.10 Dukungan tersebut juga diwujudkan dalam bentuk konkret melalui keanggotaan Inggris dalam Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB), sebuah bank pembangunan multilateral yang diprakarsai Tiongkok untuk membantu pembangunan ekonomi dan sosial di kawasan Asia. Keikutsertaan itu seperti menggambarkan Inggris sebagai negara Barat yang paling terbuka terhadap investasi Tiongkok.

Brexit dan Pandemi Covid-19: Titik Balik Era Keemasan Hubungan Bilateral

Hasil referendum Brexit tahun 2016 memberikan kejutan bagi hubungan bilateral Inggris, termasuk hubungannya dengan Tiongkok. Perdana Menteri Theresa May, pengganti David Cameron yang mengundurkan diri setelah hasil referendum, harus menjaga keseimbangan antara negosiasi Brexit dengan Uni Eropa dan mempertahankan mitra lama sekaligus menjajaki potensi mitra baru selepas Inggris keluar dari pasar bersama Eropa tersebut. Dalam konteks hubungan bilateral dengan Tiongkok, Perdana Menteri May memilih jalan lebih pragmatik dengan melanjutkan apa yang sudah dicanangkan pemerintahan sebelumnya. Ia bahkan menunjukkan keseriusannya dengan mengadakan lawatan resmi ke Tiongkok pada Januari 2018. Langkah ini dipuji oleh media dan pejabat Tiongkok karena ia menolak seruan publik untuk secara terbuka menentang Beijing atas isu hak asasi manusia di Hong Kong.11 Bahkan, Duta Besar Tiongkok untuk Inggris, Liu Xiaoming menyebut kunjungan tersebut membawa era keemasan yang telah dinikmati kedua negara ke tingkat yang lebih tinggi atau era keemasan 2.0.12

Namun demikian, tak semua pihak setuju akan keberhasilan era keemasan hubungan bilateral Inggris–Tiongkok tersebut. Oliver Turner, dosen hubungan internasional pada University of Edinburgh, memaparkan tiga alasan mengapa era keemasan hubungan tidak terealisasi seperti yang dibayangkan. Pertama, peran Inggris sebagai mitra dagang Tiongkok terbilang marginal. Peringkat Inggris masih di bawah Australia, Vietnam, Korea Selatan, Malaysia dan lainnya. Pada level kawasan Eropa, Perancis merumuskan visi “kemitraan strategis global” dengan Tiongkok sejak tahun 2004. Sementara Jerman, mitra ekonomi terpenting Tiongkok di Eropa sejauh ini, mengekspor ke Tiongkok empat kali lebih banyak daripada Inggris dan mengimpor dua kali lebih banyak. Kedua, target Inggris untuk era keemasan tersebut belum tercapai. Pada tahun 2012, Kementerian Luar Negeri Inggris menegaskan bahwa mereka telah meningkatkan jaringan staf mereka di Tiongkok sebesar 60 persen dan targetnya adalah menggandakan volume perdagangan dengan China pada tahun 2015. Pada kenyataannya, antara tahun 2010 dan 2015 perdagangan Inggris dengan Tiongkok hanya meningkat sebesar sekitar 30 persen. Ketiga, semenjak Brexit, pengaruh Inggris sebagai pendukung Tiongkok di Uni Eropa dengan sendirinya akan semakin melemah. Oleh karenanya, Tiongkok tidak lagi melihat adanya insentif untuk mempererat hubungan.13

Boris Johnson yang menggantikan Theresa May sebagai perdana menteri pada 2019 berusaha mempertahankan hubungan dengan Tiongkok dengan melakukan bisnis sebanyak mungkin sambil tetap menjauhkan perusahaan Tiongkok dari bidang kritis, seperti keamanan nasional. Menurut Yu Jie, peneliti senior di Chatham House, sikap Perdana Menteri Johnson tersebut menyiratkan sinyal yang membingungkan. Ia menyatakan diri sebagai seorang pencinta Tiongkok (sinophile) tetapi tindakannya tidak sejalan dengan itu. Jadi, sementara pihak Tiongkok dapat berdialog dengan Inggris soal perdagangan, mereka sudah tahu apa batasannya. Selain itu, Yu Jie juga menambahkan peran Amerika Serikat (AS) dalam hubungan Inggris dan Tiongkok. Inggris sangat dipengaruhi oleh Piagam Atlantik Baru dan kemitraan pertahanan AUKUS. Meskipun masih agak samar, posisi London pada akhirnya akan selaras dengan Washington.14 Faktor peran AS juga diamati oleh Zeno Leoni, dosen pada Departemen Studi Pertahanan, King’s College London. Ia berpendapat bahwa berakhirnya era keemasan hubungan Tiongkok dan Inggris sampai pada titik tertentu adalah pergeseran struktrual, alih-alih penyesuaian taktis.15 Masih menurut Leoni, perubahan kebijakan Inggris terhadap Tiongkok pasca-Brexit secara umum dipengaruhi kejadian di panggung internasional, terutama tekanan hegemonik AS.16
Sementara itu, Thomas des Garets Geddes, analis junior pada the Mercator Institute for China Studies (MERICS) di Berlin, berargumen bahwa meskipun tekanan dari AS memainkan peran penting dalam hubungan Inggris dan Tiongkok, dinamika politik domestik Inggris adalah kunci perubahan arah yang radikal ini.17 Menurut Geddes, penanganan wabah Covid-19 di Tiongkok yang diikuti dengan sikap Beijing yang semakin asertif menjadi peringatan bagi publik Inggris. Pers dan publik Inggris, yang selama lebih dari empat tahun didominasi oleh isu-isu terkait Brexit, mulai mengalihkan perhatiannya ke ancaman baru: perilaku asertif Beijing.18 Setidaknya di mata Geddes, Beijing dianggap “sukses” menampilkan dirinya sebagai ancaman yang jauh lebih parah daripada yang selama ini dipersepsikan oleh warga Inggris.19 Misalnya, tingkah laku para diplomat “prajurit serigala” (“wolf warrior” diplomats) yang selalu siap sedia mengecam setiap kritik terhadap pemerintah Tiongkok dan Partai Komunis Tiongkok yang berkuasa. Mereka bahkan menggunakan kekerasan fisik terhadap para pengujuk rasa dan pembangkang Tiongkok di tanah Inggris. Kondisi ini semakin “diperpanas” dengan komentar pejabat dan mantan pejabat Inggris yang menyerukan sikap yang lebih tegas pada Tiongkok, mulai dari komentar soal ketergantunggan Inggris yang berlebihan pada alat kesehatan produksi Tiongkok ketika awal pandemi Covid-19, hingga yang terakhir soal ketergantungan aparat pemerintah Inggris pada produk teknologi Tiongkok. Masih menurut Geddes, sulit untuk ditentukan apakah persepsi elit politik Inggris terhadap Tiongkok yang mempengaruhi pandangan publik atau sebaliknya.20 Namun yang pasti, hasil survey yang dilakukan oleh Tim Summers et al. terhadap elit poltik, media, dan publik Inggris menunjukkan bahwa semakin hari justru semakin memandang Tiongkok sebagai “kekuatan jahat,” bahkan “ancaman.”21

Kondisi ini masih terus berlanjut sampai baru-baru ini, seperti telah disampaikan di awal artikel ini. Pertanyaan selanjutnya, apakah keputusan Perdana Menteri Sunak untuk mengakhiri era keemasan dengan Tiongkok adalah keputusan akhir yang tidak dapat direvisi? Dalam dunia politik terdapat adagium: tidak ada musuh abadi, yang ada hanya kepentingan abadi. Bila mengikuti prinsip tersebut, tentu masih ada kemungkinan era keemasan hubungan Inggris dan Tiongkok dapat kembali, meskipun proses kembalinya era keemasan itu akan dipengaruhi oleh beberapa faktor utama, yaitu kebijakan Amerika Serikat, dinamika politik dalam negeri Inggris sendiri, dan yang tak kalah penting, tingkah laku Tiongkok.

Referensi:

  1. https://www.bbc.com/news/uk-politics-64635179
  2. https://www.ft.com/content/4e528f1f-1558-40a6-b9c3-5ccb02d1e0c2
  3. https://www.bbc.com/news/uk-politics-63787877
  4. https://www.bbc.com/news/uk-politics-63646635
  5. Yue Ming & Michael Plouffe (2021): Engaging the dragon: UK
  6. government documents on doing business with China, Economic and Political Studies, DOI:
  7. 10.1080/20954816.2021.1933770
  8. Breslin, S. (2004). Beyond Diplomacy? UK Relations with China since 1997. The British Journal of Politics and International Relations, 6(3), 409–425. https://doi.org/10.1111/j.1467-856X.2004.00147.x
  9. Brown, Kerry (2011) Britain’s relations with China under New Labour: engagement and repulsion?
  10. In: Oliver Daddow and Jamie Gaskarth (eds.) British Foreign Policy: The New Labour Years.
  11. London: Palgrave Macmillan, pp. 170–187.
  12. https://www.bbc.com/news/uk-politics-18084223
  13. https://www.gov.uk/government/speeches/chancellor-lets-create-a-golden-decade-for-the-uk-china-relationship
  14. https://www.reuters.com/article/us-china-britain-idUSKCN0SB10M20151017
  15. https://www.theguardian.com/world/2018/feb/02/china-commends-visiting-theresa-may-for-sidestepping-human-rights
  16. https://news.cgtn.com/news/3067444e30677a6333566d54/index.html
  17. https://thediplomat.com/2018/12/the-golden-era-of-uk-china-relations-meets-brexit/
  18. https://www.politico.eu/article/boris-johnson-china-ukraine-putin-war-invasion/
  19. Leoni, Zeno. (2022). The End of the “GoldenEra”? The Conundrum of Britain’s China Policy Amidst Sino-American Relations. Journal of Current Chinese Affairs, Vol. 51(2), 313–326. DOI: 10.1177/18681026221090315
  20. Ibid.
  21. https://thediplomat.com/2020/10/uk-china-relations-from-gold-to-dust/
  22. Ibid.
  23. Ibid.
  24. Ibid.
  25. Summers, T., Chan, H.M., Gries, P. et al. (2022). Worsening British views of China in 2020: evidence from public opinion, parliament, and the media. Asia Eur J 20, 173–194. https://doi.org/10.1007/s10308-021-00639-x


Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *