Sri Lanka: Krisis, Utang, dan Tiongkok

Sri Lanka: Krisis, Utang, dan Tiongkok

Dalam pembukaan acara Finance Ministers and Central Bank Governors (FMCBG) G20 ke-3 di Nusa Dua, Bali, 14 Juli 2022, Menteri Keuangan Amerika Serikat (AS) Janet Yellen menyampaikan pidato terkait situasi keuangan global. Dalam pidato yang dikutip Reuters itu, Yellen juga menyinggung masalah krisis Sri Lanka dan utang Tiongkok. Menurutnya, Tiongkok adalah kreditur yang sangat penting bagi Sri Lanka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya, Tiongkok memainkan perannya dalam restrukturisasi utang Sri Lanka demi kepentingan kedua negara. Yellen juga mengimbau negara-negara G20 agar memberi tekanan kepada Tiongkok karena menurutnya, Tiongkok selama ini kurang bersedia bekerja sama untuk memberikan kelonggaran pembayaran utang. Padahal, seperti disepakati dalam The Common Framework G20 dan organisasi kreditur internasional The Paris Club pada bulan September 2020, negara-negara pemberi pinjaman diimbau membantu meringankan beban utang negara berpendapatan rendah, termasuk Sri Lanka, selama pandemi Covid-19.

Yellen bukanlah pejabat tinggi AS pertama yang menyoroti peran Tiongkok dalam krisis utang Sri Lanka. Pejabat AS era Trump malah lebih sering memberi komentar pedas terhadap apa yang mereka sebut sebagai “jebakan utang” Tiongkok. Apakah sebenarnya yang dimaksud sebagai “jebakan utang” Tiongkok itu? Bagaimana kita memahami kaitan antara krisis di Sri Lanka dengan utang dari Tiongkok? Kedua pertanyaaan inilah yang akan dibahas dalam artikel singkat ini.

Sumber Foto : boomlive.com

Tiongkok, “Jebakan Utang”, dan Narasi Kolonialisme Modern

Pada bulan Oktober 2017 dalam diskusi yang diselenggarakan oleh lembaga penelitian kebijakan AS, Center for Strategic & International Studies (CSIS), Menteri Luar Negeri Rex Tillerson menyampaikan peringatan soal praktik “ekonomi yang bersifat memangsa” (predatory economics). Menurut pengamatan Tillerson, praktik ini muncul seiring dengan kebangkitan ekonomi negara-negara Indo-Pasifik yang memerlukan investasi besar di bidang infrastruktur. Masih menurut Tillerson, Tiongkok adalah contoh yang menggunakan model ekonomi tersebut di atas. Model pembiayaan yang dipakai Tiongkok di kawasan tersebut justru membebani negara-negara di sana dengan utang yang bertumpuk. Proyek infrastruktur seharusnya menjadi sarana penciptaan lapangan kerja bagi penduduk lokal. Namun sayangnya, pekerja asing malah didatangkan untuk mengerjakan proyek tersebut. Struktur pembiayaan diatur sedemikian rupa sehingga negara-negara tersebut sulit mendapatkan pinjaman di masa depan. Akibatnya, sering kali terjadi gagal bayar, yang membuka peluang bagi pengambilalihan aset untuk menutup utang negara-negara tersebut.

Pada kesempatan lain, ketika berpidato dalam acara yang diadakan The Hudson Institute, sebuah lembaga think tank berbasis di Washington D.C., pada tahun 2018, Wakil Presiden Mike Pence menyinggung “diplomasi utang” yang dipakai Tiongkok untuk memperluas pengaruhnya. Menurut Pence, Tiongkok menawarkan pinjaman untuk membangun infrastruktur di berbagai negara di Asia, Afrika, bahkan Eropa dan Amerika Latin. Akan tetapi, persyaratan pinjaman tersebut tidak transparan dan manfaatnya akan selalu mengalir deras ke Beijing. Secara spesifik, Pence menggunakan pembangunan pelabuhan Hambantota, Sri Lanka, sebagai contoh. Menurutnya, pelabuhan yang dibangun oleh perusahaan Tiongkok itu memiliki nilai komersial yang patut dipertanyakan. Masih menurut Pence, karena Sri Lanka menyatakan tidak sanggup lagi membayar utang yang dipakai untuk pembangunan pelabuhan tersebut, Beijing menekan Sri Lanka untuk menyerahkan pelabuhan baru itu ke tangan Tiongkok. Dalam pandangannya, pelabuhan itu mungkin akan segera menjadi pangkalan militer terdepan untuk angkatan laut Tiongkok yang sedang berkembang. Logika yang sama juga dikemukakan oleh Jaksa Agung William Barr pada tahun 2020. Dalam pidatonya, Barr menyebut praktik yang dilakukan Tiongkok, yaitu membebani negara-negara miskin dengan utang, menolak menegosiasikan pelunasan, dan kemudian mengambil alih infrastruktur itu sendiri, adalah tak lebih dari sebuah bentuk kolonialisme modern.

Narasi seperti yang disampaikan Tillerson, Pence, dan Barr di atas kerap muncul di tajuk utama media massa, khususnya di AS dan negara-negara Barat lainnya. Seiring dengan tersebar luasnya narasi semacam itu, terbentuklah persepsi mengenai Tiongkok sebagai kreditur pemangsa yang membebani negara peminjam sebagai korbannya. Berkembangnya persepsi inilah yang melatarbelakangi munculnya istilah “jebakan hutang” (debt trap) Tiongkok di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini.

Narasi Alternatif

Menarik untuk dicatat bahwa narasi yang menempatkan Tiongkok sebagai negara kreditur pemangsa ternyata tidak semerta merta muncul tanpa kontestasi.  Bahkan di kalangan cendekiawan dari negara-negara Barat sendiri, terdapat pandangan alternatif mengenai kaitan antara Tiongkok dan negara-negara yang ia beri hutang. Di antara mereka terdapat para akademisi yang mengemukakan pandangan berbeda mengenai peran Tiongkok dalam krisis di Sri Lanka. Salah satunya adalah pandangan yang dikemukakan oleh Deborah Brautingham dari School of Advanced International Studies, John Hopkins University dan Meg Rithmire dari Harvard Business School. Seperti dikutip majalah berita The Atlantic,mereka menyatakan bahwa narasi “jebakan utang” Tiongkok belum memberikan gambaran yang utuh tentang hubungan Beijing dan negara berkembang yang menjadi debitur. Keterlibatan Tiongkok dalam proyek pembangunan pelabuhan Hambantota misalnya, dalam pandangan kedua peneliti di atas jauh lebih kompleks dari pada yang sering dibicarakan orang. Menurut mereka, studi kelayakan pelabuhan yang berada di ujung selatan Sri Lanka ini sudah dilakukan pada tahun 2003 oleh firma konstruksi dan engineering asal Kanada, SNC-Lavalin dengan dukungan finansial dari Canadian International Development Agency. Atas dasar studi tersebut, SNC-Lavalin menyarankan skema kerja sama dengan Sri Lanka Port Authority (SLPA) melalui konsorsium untuk membangun dan mengoperasikan pelabuhan. Rencana tersebut tidak pernah menjadi kenyataan. Akan tetapi, pada masa pemerintahan presiden Mahinda Rajapaksa, tepatnya pada tahun 2006, ide pembangunan pelabuhan Hambantota muncul lagi. Hal ini tak terlepas dari janji sang presiden untuk membangun kembali pesisir selatan Sri Lanka, daerah asal keluarganya, setelah dihantam bencana tsunami 2004. Pada tahun 2006 Sri Lanka menggunakan jasa perusahaan Denmark, Ramboll, untuk mengadakan studi kelayakan ulang. Hasilnya, perusahaan tersebut merekomendasikan untuk melanjutkan proyek sesuai studi sebelumnya, namun perlu dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu pada tahap awal terlebih dulu membangun pelabuhan non-kontainer, sedangkan pada tahap kedua, setelah pelabuhan itu beroperasi dan menghasilkan pemasukan, barulah ditingkatkan menjadi pelabuhan yang dapat membongkar muat kontainer. Berbekal studi kelayakan yang baru dari perusahaan tersebut, Sri Lanka mencoba menggaet investor dari India dan AS, namun kedua negara tersebut tidak memberikan sambutan positif. Barulah pada tahun 2007 perusahaan konstruksi dari Tiongkok, China Harbor, menyatakan minat berinvestasi di Sri Lanka dengan dukungan pembiayaan melalui skema pinjaman dari China Exim Bank. Berdasarkan skema tersebut, Sri Lanka mendapatkan pinjaman sebesar US$307 juta dengan masa jatuh tempo 15 tahun dengan tambahan masa tenggang selama 4 tahun. Sedangkan untuk bunga, Sri Lanka memilih suku bunga tetap 6,3% daripada suku bunga mengambang berdasarkan London Interbank Offered Rate (LIBOR). Pada tahun 2012 Sri Lanka kembali meminjam US$757 juta dengan bunga 2% dari China Eximbank untuk pengembangan Pelabuhan Hambantota menjadi pelabuhan kontainer. Inisiatif presiden Mahinda Rajapaksa ini bertentangan dengan rekomendasi studi kelayakan namun tidak ada yang berani mempertanyakan ide tersebut. Keputusan tersebut membawa konsekuensi buruk, pada tahun 2017 sesuai kesepakatan negosiasi pembayaran utang, SLPA membuat entitas baru Hambantota International Port Group (HIPG). China Merchants Group menjadi mayoritas pemegang saham di situ setelah membeli 85% saham seharga US$1,12 miliar. Selanjutnya, HIPG akan memegang hak pengelolaan eksklusif pelabuhan Hambantota selama 99 tahun.

Hasil studi kasus Brautingham dan Rithmire di atas setidaknya dapat memperjelas hubungan antara Sri Lanka dan Tiongkok dalam kasus investasi untuk pembangunan Pelabuhan Hambantota di atas. Pertama, inisiatif pembangunan pelabuhan tersebut bukanlah berasal dari Tiongkok, tetapi justru datang dari pihak Sri Lanka sendiri. Kedua, masih terdapat ruang negosiasi bila muncul kendala dalam pelunasan utang, meski dalam dalam kasus Hambantota, negosiasi yang diadakan malah menghasilkan sebuah entitas baru di mana perusahaan asal Tiongkok menjadi pemegang saham mayoritas. Ketiga, Tiongkok tidak pernah secara arbitrer menyita aset bila terjadi gagal bayar, apalagi mengambil alih aset untuk kepentingan militer. Meski demikian, penting untuk dicatat bahwa dalam kasus di atas, entitas baru yang sebagian besar berada di bawah kontrol perusahaan Tiongkok memegang hak pengelolaan pelabuhan secara eksklusif selama 99 tahun.

Peneliti lain, Ganeshan Wignaraja, dkk. dari The Royal Institute of International Affairs di London, menerbitkan hasil penelitian mereka tentang investasi Tiongkok di Sri Lanka pada bulan Maret 2020. Menurut mereka, krisis Sri Lanka tidak dapat dijelaskan sebagai akibat jebakan utang Tiongkok karena utang Tiongkok hanya setara dengan 6% GDP. Sebaliknya, mereka menyoroti sejumlah masalah fundamental pada sisi pemerintah Sri Lanka, seperti perencanaan kebijakan, manajemen utang, dan transparansi. Hal ini mengakibatkan proyek infrastruktur yang dibiayai lewat investasi Tiongkok tidak berjalan seperti harapan. Selain itu, mereka juga menyoroti soal peran tenaga kerja Tiongkok dalam proyek infrastruktur. Berdasarkan hasil penelitian mereka, jumlah tenaga kerja Tiongkok di Sri Lanka memang meningkat namun masih sangat kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan angkatan kerja negara itu. 

Masih dari lembaga yang sama, Lee Jones dan Shahar Hameiri melakukan studi yang membandingkan kasus proyek Belt and Road Initiative (BRI) di Malaysia dan Sri Lanka. Menurut hasil penelitian mereka, yang diterbitkan bulan Agustus 2020, masalah utang di negara-negara tersebut terutama disebabkan oleh kesalahan elit lokal dan pasar finansial yang didominasi negara Barat. Pemerintah negara debitur seharusnya lebih bertanggung jawab dalam melakukan evaluasi untuk memastikan keberlanjutan proyek. Selain itu, negara debitur juga perlu meningkatkan kemampuan untuk bernegosiasi dengan Tiongkok untuk memastikan penduduk lokal merasakan dampak pembangunan proyek tersebut. Di sisi lain, mereka juga menilai pemangku kebijakan di Tiongkok juga perlu mengembangkan sistem pengambilan keputusan yang koheren dan terintegrasi, serta kemampuan manajemen risiko yang memadai. 

Hambantota dan Upaya Tiongkok Membangun Norma

Terlepas dari kontroversi apakah Tiongkok yang menjadi dalang krisis utang Sri Lanka, baik narasi “jebakan hutang” maupun pandangan alternatif dari beberapa peneliti di atas sebenarnya sangat konsisten dengan pandangan yang melihat Tiongkok sebagai sebuah kekuatan normatif, yaitu kekuatan yang berupaya membangun norma yang sesuai dengan pandangan dan kepentingan Beijing. Sebagai dikemukakan oleh Theodor Tudoroiu dari University of the West Indies, upaya mengubah norma yang ada dan menggantinya dengan sebuah norma baru yang pro-Beijing itu dilakukan melalui tahap persuasi dan tahap pemberian insentif berupa bantuan-bantuan yang menguntungkan elit yang berkuasa atau berpotensi untuk berkuasa di negara penerima. Upaya ini diharapkan dapat membuat elit penguasa di negara penerima sedikit banyak berada di bawah pengaruh Tiongkok. Tampaknya, proses seperti inilah yang sedang berlangsung, ketika Tiongkok memberikan bantuan tambahan kepada Sri Lanka untuk mengembangkan Hambantota menjadi pelabuhan kontainer meski hal itu bertentangan dengan rekomendasi studi kelayakan. Bagi Tiongkok, memperkuat hubungan dengan elit yang sedang berkuasa melalui pemberian pinjaman sepertinya lebih memiliki arti penting, mengingat hubungan semacam itu berpotensi membawa elit tersebut ke dalam hubungan yang lebih mesra dengan Tiongkok.

Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *