Merebaknya Pecinan Jakarta: “Re-sinisasi”, Komodifikasi, atau “Soft Power” China?

Merebaknya Pecinan Jakarta: “Re-sinisasi”, Komodifikasi, atau “Soft Power” China?

Pada Kamis 30 Juni 2022 lalu, gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, Anies Baswedan,  meresmikan sebuah gapura baru di kawasan pecinan Glodok, Jakarta Barat. Gapura baru ini berdiri tepat di pintu masuk ke kawasan pecinan Glodok. Dalam pidato peresmian gapura tersebut, Anies Baswedan menyebutkan sekilas sejarah gapura tersebut, yang konon sudah berdiri sejak abad-18, namun sempat dirobohkan di masa penjajahan Jepang. Beliau juga menyatakan bahwa keberadaan gapura Glodok yang telah direvitalisasi ini diharapkan menjadi salah satu ikon baru yang menunjang perwujudan Jakarta sebagai kota global.

Harapan yang dilontarkan oleh Anies Baswedan di atas tentu sangat beralasan, mengingat kawasan Glodok memiliki potensi yang besar dalam bidang wisata sejarah dan kuliner, salah satunya karena keterkaitannya dengan sejarah dan budaya Tionghoa di ibu kota negara ini. Glodok yang sejak hampir tiga abad lalu tumbuh dan berkembang menjadi sentra permukiman dan perniagaan orang-orang Tionghoa di Batavia – nama kota Jakarta di masa kolonial Belanda –  merupakan salah satu kawasan pecinan terbesar di Indonesia. Tampaknya, potensi wisata kebudayaan dan kuliner khas Tionghoa Indonesia inilah yang menjadi salah satu daya tarik kawasan ini.

Namun kini, Glodok bukan satu-satunya daerah yang merepresentasikan unsur-unsur ketionghoaan di kota metropolitan Jakarta ini. Beberapa kawasan permukiman modern di sudut-sudut lain Jakarta pun menawarkan suguhan wisata yang kental dengan karakteristik ketionghoaan, atau bahkan kecinaan. Misalnya, kawasan wisata kuliner Pancoran PIK, yang terletak di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara,  dan pusat kuliner Old Shanghai di Kelapa Gading, Jakarta Utara, kini menjadi magnet wisata gastronomi yang bukan hanya menyuguhkan kudapan ala Tionghoa, namun juga arsitektur bergaya Tiongkok di Jakarta. 

Revitalisasi Glodok, yang antara lain diwarnai dengan pembangunan pusat bisnis megah yang dinamai “Pancoran Point” dan pendirian pusat kuliner “Petak Enam,” serta tumbuhnya berbagai kawasan pecinan baru di wilayah-wilayah di luar kawasan yang kerap disebut “pecinan lama” (old China town) ini menjadi hal menarik untuk diamati. Apa yang melatarbelakangi kemunculan wisata pecinan semacam ini di Jakarta? Apakah ini semata-mata merupakan kelanjutan dari euforia kembalinya budaya Tionghoa di muka publik yang mulai berlangsung sejak Indonesia memasuki era pasca-Orde Baru sekitar seperempat abad lalu?  Ataukah fenomena di atas terkait dengan fenomena kebangkitan Tiongkok (the rise of China) yang juga marak dibicarakan orang dalam dua dasawarsa terakhir ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam artikel singkat ini.

Pecinan dan Segregasi Antaretnis

Sebelum membahas kemunculan pusat-pusat bisnis baru yang berkarakteristik Tionghoa di Jakarta, perlu kiranya bagi kita untuk mengingat kembali sejarah perkembangan Glodok dan pecinan-pecinan lain di berbagai kota di Jawa, atau bahkan di pulau-pulau lain di Indonesia. Kelahiran Glodok dan pecinan-pecinan lain di Indonesia, khususnya di kota-kota pantai di Jawa, dapat ditelurusi kembali hingga ke zaman kolonialisme Belanda. Di masa itulah pecinan atau chinatown tumbuh dan berkembang, seiring dengan dibangunnya model permukiman berdasarkan etnis, yang merupakan salah satu strategi penguasa kolonial untuk melakukan pengawasan terhadap penduduk di wilayah yang dikuasainya.

Etnis Tionghoa sendiri sebenarnya telah hadir di wilayah Nusantara jauh sebelum orang-orang Belanda menggapai kepulauan ini. Dalam buku berjudul The Kapitan Cina of Batavia: 1837-1942, Mona Lohanda mengatakan bahwa ketika VOC mendarat di Batavia, mereka telah menemukan perkampungan orang Tionghoa di bantaran kali Ciliwung.  Di kemudian hari, setelah VOC mendirikan dan menguasai kota Batavia, gubernur jenderal VOC, J. P. Coen, berupaya menarik orang-orang Tionghoa dari Banten, Jepara, bahkan Cirebon untuk menjadi penduduk Batavia. Coen menganggap keberadaan orang Tionghoa akan memiliki andil yang besar, mengingat keterampilan, serta jejaring bisnis mereka sudah ajeg, bahkan pada zaman itu. Oleh karenannya, kehadiran orang-orang Tionghoa diharapkan membantu VOC mewujudkan cita-citanya untuk menguasai jalur perdagangan rempah-rempah.

Kebijakan menarik orang-orang Tionghoa ke Batavia itu berujung pada meningkatnya penduduk beretnis Tionghoa di kota ini. Merujuk pada B. Hoetink, Lohanda mencatat bahwa pada tahun 1739 terdapat 4.368 orang Tionghoa tinggal di dalam kota. Sementara itu, terdapat 10.574 Tionghoa lainnya tinggal di sebuah daerah bernama Ommelanden, yaitu wilayah sekitar Jakarta. Lohanda juga mengatakan bahwa sejak semula, VOC sudah membawa gagasan politik segregasi dan stratifikasi sosial, sehingga permukiman sudah dibentuk berdasarkan ras, agama, dan kelas sosial. Masing-masing kelompok permukiman ini dikontrol oleh kapten (kapitan) yang ditunjuk oleh pemerintah kolonial. Hal yang sama juga berlaku bagi masyarakat Tionghoa. Komunitas Tionghoa pada waktu itu dipimpin oleh seorang kapitan yang disebut Kapitan Cina. J. Vermeulen dalam Tionghoa Batavia dan Huru-Hara 1740 mengatakan bahwa nyaris seluruh kebutuhan VOC dan pegawai-pegawainya bergantung pada keberadaan orang Tionghoa. Relasi antara Tionghoa dan orang-orang Eropa berjalan dengan baik hingga terjadi peristiwa pemberontakan yang berujung pada pembantaian orang-orang Tionghoa oleh Belanda di tahun 1740. Setelah tragedi tersebut, pemerintah kolonial menempatkan orang-orang Tionghoa Batavia di sebuah distrik yang dikhususkan untuk mereka. Distrik itulah yang berkembang menjadi sebuah kampung permukiman Tionghoa yang dikenal sebagai daerah Glodok.

Di pecinan Glodok inilah orang-orang Tionghoa, yang banyak menjadi korban pada peristiwa 1740 kembali membangun eksistensi mereka sebagai pedagang. Namun pembatasan ruang gerak yang diterapkan oleh Belanda, khususnya sejak pemberlakukan peraturan  wijkenstelsel dan passenstelsel, menyebabkan kurangnya interaksi antara Tionghoa dan kelompok-kelompok masyarakat lain.

Situasi di atas pada gilirannya menyebabkan segregasi, baik secara fisik maupun nonfisik, antara komunitas Tionghoa dengan berbagai kelompok masyarakat yang lain. Di antara kelompok yang belakangan ini berkembanglah kecurigaan dan stereotipe negatif terhadap etnis Tionghoa. Mereka antara lain dicap sebagai kelompok yang eksklusif, kaya, pelit, rakus, tidak memiliki kepedulian terhadap nasib “pribumi” dan sebagainya. Bahkan hingga saat ini, pandangan bahwa Tionghoa masih memiliki kesetiaan terhadap “negeri leluhur” mereka masih tetap melekat, setidaknya pada sebagian masyarakat Indonesia non-Tionghoa. Kelak dikemudian hari, ujung pangkal dari segregasi permukiman dan kehidupan sosial ini menjadikan etnis Tionghoa sebagai kelompok yang rentan untuk dijadikan kambing hitam atas berbagai persoalan ketimpangan sosial di Hindia Belanda. Di sisi lain, identitas Tionghoa juga dianggap sebagai liyan di masyarakat.

Pecinan dan Perayaan Identitas Tionghoa Pasca-Orde Baru

Penelusuran singkat sejarah di atas memperlihatkan keterkaitan erat antara sejarah terbentuknya pecinan dan segregasi antara masyarakat Tionghoa dan non-Tionghoa di Indonesia. Di masa Orde Baru, keterpisahan tersebut makin dalam seiring dengan kebijakan asimilasi, yang ironisnya justru membuat etnis Tionghoa makin teralienasi dari kelompok masyarakat Indonesia lainnya. Kebijakan asimilasi yang dituangkan dalam berbagai aturan itu mengharuskan etnis Tionghoa menanggalkan karakteristik kebudayaan Tionghoa dalam diri mereka, seperti nama, bahasa, agama, hingga akasara. Singkat kata, segala hal yang memperlihatkan ketionghoaan dilarang untuk hadir di ranah publik. Pada dasawarsa akhir pemerintahan Orde Baru, bahkan karakter bahasa Mandarin (dikenal sebagai karakter Han) pun tidak diperkenankan untuk terlihat di tempat umum, termasuk di pecinan-pecinan. Meski demikian, sebagi disampaikan Chang Yau Hoon dalam sebuah karya berjudul Identitas Tionghoa Pasca Suharto, meski mengalami berbagai pembatasan, orang Tionghoa di era itu masih tetap bertahan dalam upaya menjaga identitas dan budaya Tionghoa. Sebagian dari mereka berupaya menjaga dan mempraktikkan adat istiadat dan keyakinan sebagai orang Tionghoa dengan cara sembunyi-sembunyi di balik pintu atau melalui kegiatan-kegiatan yang tersamarkan dan tertutup seperti arisan, restoran, atau klub-klub sosial mereka. Semakin tak terlihat dan samar maka semakin baik.

Namun suasana yang sangat kontras justru muncul setidaknya dalam dua puluh tahun belakangan ini. Etnis Tionghoa seolah merengkuh kembali identitas kebudayaan Tionghoa sehingga kehadiran simbol-simbol budaya itu terlihat jelas. Sebagaimana diamati oleh Hoon, hari raya Tionghoa, khususnya Imlek, kini telah menjadi agenda libur keagamaan nasional dan dirayakan dengan terbuka di ruang-ruang publik, pusat-pusat perbelanjaan, dan perkantoran. Dalam konteks inilah agaknya pusat perbelanjaan berkaraktersitik Tionghoa seperti yang disinggung di awal tulisan ini tumbuh dan berkembang, khususnya di Jakarta. 

Memaknai Menjamurnya “Pecinan Baru”

Kemunculan berbagai pusat perbelanjaan berkarakteristik Tionghoa (atau bahkan Tiongkok), serta revitalisasi pecinan lama di Jakarta merupakan sebuah fenomena yang sangat menarik untuk diamati. Pada satu sisi, fenomena di atas memperlihatkan perayaan identitas Tionghoa di Indonesia dari sebuah kebudayaan yang dulu dianggap asing, lalu kini menjadi bagian dari jati diri bangsa yang multikultural. Dalam konteks Jakarta, pecinan tidak lagi dimaknai sebagai sebuah sudut terpisah tempat “orang-orang luar” tinggal,  tetapi sebagai sebuah simbol yang menghubungkan antara masa lampau dan masa depan Jakarta sebagai kota Global.

Pada sisi lain, kehadiran berbagai pusat perbelanjaan yang memamerkan berbagai simbol budaya Tionghoa nampaknya mengukuhkan mencuatnya sebuah fenomena yang oleh Chang Yau Hoon disebut sebagai “re-sinisasi” (re-sinicization). Tampaknya, kecenderungan “re-sinisasi” yang telah berlangsung sejak Indonesia memasuki era reformasi inilah yang diperhatikan oleh dunia usaha, yang pada gilirannya menjadikan simbol ketionghoaan sebagai modal (capital). Namun demikian, proses komodifikasi simbol budaya Tionghoa ini juga dapat dimaknai dalam konteks kebangkitan Tiongkok, yang juga kerap dibicarakan orang dalam dua puluh tahun terakhir ini. Pemaknaan belakangan ini tentu sedikit banyak mengundang pertanyaan mengenai apakah maraknya pusat perbelanjaan yang mengekspresikan simbol terkait Tiongkok itu dapat pula dilihat sebagai perwujudan kuasa lunak (soft power) negara itu. Melihat potensi pemaknaan di atas, tidak berlebihan bila kita menganggap nasihat yang disampaikan Hoon di tahun 2009 lalu, yaitu agar Tionghoa menyikapi kemunculan budaya dan simbol ketionghoaan secara kritis, masih tetap relevan hingga hari ini.

Junianti Hutabarat, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *