Krisis Properti di Tiongkok: Dampak Ekonomi dan Sosial

Krisis Properti di Tiongkok: Dampak Ekonomi dan Sosial

Seperti diberitakan majalah berita bisnis Nikkei Asia, 14 Juli 2022, puluhan ribu pembeli rumah di Tiongkok mengancam menyetop pembayaran cicilan kredit pemilikan rumah (KPR) mereka karena proyek pembangunan rumah yang mereka beli terbengkalai. Ancaman serupa juga diserukan oleh kontraktor konstruksi, pembuat patung, dan pertamanan, sebagaimana diberitakan lembaga berita Australia ABC, 27 Juli 2022. Mereka mengancam menunda pembayaran kredit bank karena piutang mereka belum dibayar oleh perusahaan pengembang perumahan yang bermasalah. Sektor properti di Tiongkok memang sedang dilanda krisis. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari implementasi kebijakan “tiga garis merah” (sān dào hóng xiàn 三道红线) yang diinisiasi oleh Kementerian Perumahan dan Bank Sentral Tiongkok pada pertengahan tahun 2020. Kebijakan ini sebetulnya bertujuan positif, yaitu untuk mengontrol penyaluran kredit perbankan dan mengatur rasio utang terhadap modal (debt-to-equity ratio) perusahaan di sektor properti. Namun imbasnya, sejak akhir tahun lalu beberapa pengembang besar sudah mengumumkan gagal bayar (default) utang dan obligasi mereka. Pada akhirnya, kondisi keuangan perusahaan pengembang yang tidak ideal tersebut mengakibatkan semakin banyak proyek pembangunan perumahan yang mangkrak. Gejolak di sektor properti tentu saja membawa dampak yang signifikan mengingat sektor ini diperkirakan menyokong sekitar 25% hingga 30% perekonomian Tiongkok. Artikel singkat ini akan membahas krisis properti di Tiongkok dari sudut pandang ekonomi dan kebijakan publik, serta yang tak kalah penting, mengamati sejauh mana krisis ini berdampak pada kestabilan sosial masyarakat Tiongkok.

Sektor Properti: Dulu Jadi Andalan, Kini Mengkhawatirkan

Sejak 1998 sektor properti di Tiongkok mengalami serangkaian deregulasi pasar. Hal ini memicu pertumbuhan pesat di bidang konstruksi perumahan untuk memenuhi permintaan konsumen kelas menengah yang terus meningkat. Booming sektor perumahan ini tak lepas dari persepsi kelas menengah, khususnya di kota-kota besar Tiongkok, yang menganggap kepemilikan properti sebagai simbol status dan aset utama keluarga. Selain itu, Tiongkok menerapkan pajak bumi dan bangunan yang relatif rendah sehingga pembeli menilai kepemilikan rumah sebagai sarana investasi yang menguntungkan. Kemudahan akses kredit perbankan, baik bagi pengembang maupun pembeli, juga membuat laju pertumbuhan sektor properti ini semakin cepat. Sebagian besar pembeli rumah di Tiongkok menggunakan sistem inden, yaitu memesan dan membayar dulu rumah yang akan atau sedang dibangun. Mereka umumnya membayar sejumlah uang muka kepada pengembang lalu menggunakan fasilitas kredit bank untuk melunasi sisanya. Sampai sebelum ancaman pemogokan tersebut di atas, tingkat kredit macet atau bahkan penundaan pembayaran angsuran kredit perumahan terbilang relatif rendah karena Tiongkok menerapkan sistem kredit sosial. Dalam sistem tersebut, tunggakan utang akan mempengaruhi akumulasi nilai kredit seseorang, yang pada akhirnya dapat menghalangi mobilitas, seperti larangan bepergian dengan kereta cepat dan memesan kamar hotel. Namun demikian, pertumbuhan sektor properti bagaikan dua sisi mata uang yang juga memiliki sisi negatif. Harga rumah terus mengalami tren kenaikan, bahkan sejak 2016 sudah pada posisi harga melambung dan sangat sulit dikendalikan. Oleh karena itu, dalam acara Rapat Kerja Ekonomi Sentral, yang dihadiri para pejabat tinggi Tiongkok di bidang ekonomi, tahun 2016 dicetuskan jargon “rumah untuk dihuni, bukan untuk spekulasi” (fáng zhù bù chăo 房住不炒). Ungkapan tersebut didasari oleh pemikiran bahwa fungsi dasar rumah adalah sebagai tempat tinggal. Fungsi lain, seperti kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) dan pajak, perlu diposisikan di bawah fungsi dasar. Demi merealisasikan jargon tersebut, Komite Ekonomi Sentral menyelaraskan aturan hukum, perpajakan, pertanahan, dan investasi agar pertumbuhan di sektor properti lebih stabil serta terkontrol. Kebijakan tersebut terus disempurnakan dan diperketat, bahkan pada rapat kerja tahun 2020 ditambahkan usaha untuk menghapuskan “penyakit ketergantungan pada properti” (fángdìchǎn yīlài zhèng 房地产依赖症), meneruskan implementasi pembatasan jumlah pembelian rumah, dan menggalakkan sistem penjualan rumah yang siap huni, alih-alih menggunakan sistem inden. Langkah ini diperkuat dengan penerapan kebijakan “tiga garis merah”, seperti disebut di atas, pada tahun yang sama.

Otoritas Tiongkok tampaknya sudah mengkalkulasi ekses negatif kebijakan tersebut. Tak lama setelah muncul ancaman pemogokan pembayaran angsuran kredit perumahan, sektor perbankan segera meyakinkan para investor bahwa risiko kredit macet perumahan masih terkontrol. Seperti dikutip majalah bisnis Fortune, salah satu bank milik pemerintah, Agricultural Bank of China, mengumumkan kredit macet terkait proyek perumahan yang mangkrak sejumlah 660 juta yuan, sementara bank yang lebih kecil, Industrial Bank Co.hanya 384 juta yuan. Menurut catatan perusahaan investasi Amerika Serikat (AS), Goldman Sachs, sebagaimana dikutip CNBC, paparan bank Tiongkok terhadap kredit macet perumahan dalam portofolio investasi mereka rata-rata hanya sekitar 17%. Lebih jauh lagi, menurut pemberitaan media lokal, mantan Gubernur Bank Sentral Tiongkok, Dai Xianglong menyampaikan optimismenya bahwa Tiongkok tidak akan mengalami “subprime mortgage crisis” seperti yang dialami AS pada 2007. Bahkan setelah kebijakan “tiga garis merah” berjalan setahun, kantor berita Xinhua melaporkan keberhasilan kebijakan ini dengan indikator penurunan laju pertumbuhan utang sektor perumahan, baik dari sisi konsumen maupun perusahaan pengembang.

Sumber Foto : bisnisindonesia.id

“Gedung Ekor Busuk”: Impian Calon Pemilik Rumah yang Kandas

Jika pada level pembuat kebijakan tersirat optimisme dalam menghadapi krisis properti ini, lantas bagaimana dampaknya pada level akar rumput? Sangat sulit menggali situasi sebenarnya bila hanya mengandalkan media lokal. Seperti diberitakan Reuters, otoritas Tiongkok segera menyensor tanda pagar #stopbayarangsuran di platform media sosial Weibo, sejenis Twitter versi Tiongkok. Selain itu, video pendek soal keluhan proyek pembangunan perumahan yang mangkrak maupun ajakan memboikot pembayaran angsuran KPR di platform Douyin, versi lokal TikTok, juga segera dihapus. Warga lokal menggunakan istilah “gedung ekor busuk” untuk menggambarkan proyek pembangunan apartemen yang mangkrak. Menurut pemberitaan SCMP, sebagian pembeli memilih tinggal di gedung setengah jadi seperti itu, tanpa aliran listrik dan air bersih, karena tidak sanggup lagi membayar sewa di tempat lain. Sementara itu, Vice mengangkat kisah sedih narasumber yang terpaksa gagal menikah karena unit apartemen yang ia beli tak kunjung selesai dibangun. Padahal, orang tuanya sudah memberikan tabungan dan dana pensiun mereka untuk uang muka dan ia masih harus melunasi utang kredit pemilikan rumah (KPR) sambil terus mengeluarkan biaya sewa tempat tinggal.

Keresahan para calon pemilik rumah di atas patut menjadi perhatian pemerintah Tiongkok. Jangan sampai niat baik pada tataran kebijakan, justru memberikan lebih banyak dampak negatif pada rakyat kebanyakan. Pasalnya, pembelian rumah di sana lazimnya melibatkan dua generasi: orang tua dan anak. Proyek pembangunan perumahan yang terbengkalai tidak hanya membuat orang tua terancam kehilangan rumah masa tua mereka, tetapi juga membebani anak dengan lilitan utang hipotek sekaligus biaya sewa sampai rumah yang mereka beli selesai terbangun. Di lain pihak, proyek mangkrak yang dijadikan agunan KPR di bank pada akhirnya hanya akan membebani bank dengan aset yang tidak berharga. 

Ignatius Edhi Kharitas adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *