Ada Tionghoa Dalam dan di Sekitar Peristiwa Sumpah Pemuda

Ada Tionghoa Dalam dan di Sekitar Peristiwa Sumpah Pemuda

Kongres final yang melahirkan naskah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Indonesische Clubhuis Kramat, Jakarta. Sumber kompas.com
Kongres final yang melahirkan naskah Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 di Indonesische Clubhuis Kramat, Jakarta. Sumber kompas.com

Pada tanggal 28 Oktober 2022 yang lalu, kita, bangsa Indonesia merayakan peringatan 94 tahun Hari Sumpah Pemuda. Peristiwa sejarah yang menjadi salah satu tonggak terpenting bagi kelahiran bangsa Indonesia itu berlangsung pada pelaksanaan Kongres Pemuda, 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda yang dihasilkan oleh kongres tersebut telah menjadi ikrar pembentukan identitas nation kolektif Hindia Belanda saat itu. Ikrar itu menyatakan kesatuan nasib sebagai penduduk terjajah yang berjuang bersama dalam semangat anti-kolonialisme, menyatakan kesatuan kolektif sebagai bangsa Indonesia, serta kesatuan bahasa yaitu Bahasa Indonesia. Kongres Pemuda ini juga menjadi momentum dikumandangkannya lagu ciptaan W.R. Soepratman “Indonesia Raya.”

Peristiwa bersejarah di atas tentu memiliki arti sangat penting bagi segenap bangsa Indonesia, termasuk bagi orang-orang Indonesia keturunan Tionghoa (berikutnya disebut sebagai etnis Tionghoa). Sumpah Pemuda merupakan salah satu bukti nyata bagi keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam upaya membangun bangsa Indonesia, bahkan di masa-masa ketika kekuasaan kolonial Belanda masih berakar kuat. Peran orang Tionghoa dalam peristiwa Sumpah Pemuda sulit untuk dikesampingkan, meski kadang kala dilupakan. Salah satunya adalah peran menyediakan tempat bagi pelaksanaan Kongres Pemuda pada tahun tersebut.  Peran itulah yang dimainkan oleh Sie Kong Lian, seorang pemilik kos-kosan di Jalan Kramat Raya 106, Jakarta, yang merelakan rumahnya menjadi tempat bagi pemuda-pemuda pergerakan nasional untuk merumuskan isi dari Sumpah Pemuda. Menyediakan tempat berlangsungnya kegiatan berkumpul pada masa itu merupakan tindakan yang berisiko mengingat pada zaman itu kegiatan berkumpul dilarang serta diawasi oleh pemerintah kolonial Belanda. Namun, rumah Sie Kong Lian tersebut, yang juga disewakan sebagai tempat hunian bagi pemuda-pemuda terpelajar Indonesia, juga dijadikan lokasi berdiskusi bagi para pelajar tersebut. Kini, rumah tersebut telah diwakafkan menjadi Museum Sumpah Pemuda. Penting untuk kita garis bawahi bahwa meskipun rumahnya dijadikan sebagai museum, menurut keluarga ahli waris Sie Kong Lian, museum tersebut tidak memajang satu pun foto Sie Kong Lian atas peran pentingnya dalam kongres tersebut.

Selain menyediakan tempat, orang Tionghoa juga terlibat sebagai peserta dalam kongres Pemuda tersebut. Kwee Thiam Hong atau Daud Budiman adalah salah satu di antara remaja Tionghoa yang hadir dalam kongres yang hampir berusia satu abad itu. Kwee Thiam Hong adalah anggota dari Jong Sumatranen Bond (JSB) yang berasal dari Palembang. Kehadiran Kwee dalam kongres tersebut didasari oleh semangat persamaan nasib sebagai bangsa terjajah dan keinginan untuk mengikis sekat-sekat perbedaan ras yang dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Kwee pun tak hadir seorang diri. Bersama dia, datang juga teman-temannya sesama anggota JSB, yaitu Oey Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok, dan Tjio Djin Kwie. Selain keempat tokoh ini, seorang Tionghoa Muslim yang bergabung dalam Jong Islamieten Bond, Djohan Muhammad Tjai, turut andil dalam kongres tersebut. Keberadaan tokoh-tokoh ini menjadi salah satu bukti sejarah penting bagi keterlibatan etnis Tionghoa dalam pembentukan bangsa Indonesia.

Liem Koen Hian, Oei Tiang Tjoei, Oei Tjong Haw, Tan Eng Hoa. Sumber : id.quora.com

Peran kecil, namun berdampak besar dari kelompok etnis Tionghoa lainnya, ialah sumbangsih dari seorang pengusaha bernama Yo Kim Tjan (Johan Kertajasa). Yo Kim Tjan berjasa membantu Wage Rudolf Supratman, sang pencipta lagu kebangsaan “Indonesia Raya,” untuk merekam lagu tersebut ke dalam bentuk piringan hitam. Rekaman “Indonesia Raya” dalam piringan hitam itulah yang kini kita putar dalam setiap momen kenegaraan. Cerita di balik proses perekaman lagu tersebut sangat penting untuk disebarluaskan, mengingat upaya merekam lagu tersebut sempat mendapat penolakan karena penuh risiko. Keinginan untuk merekam lagu “Indonesia Raya” pernah juga ditawarkan oleh W.R. Supratman kepada Tie Tok Hong, perusahaan rekaman piringan hitam di daerah Pasar Baru, Jakarta, dan perusahaan Odeon.  Namun permintaan tersebut ditolak karena alasan resiko yang tinggi. Sebagaimana diungkapkan oleh Udaya Halim, pendiri Museum Benteng Heritage, W.R Supratman meminta Yo Kim Tjan merekam lagu “Indonesia Raya” dalam dua versi, yaitu versi Keroncong dan versi Biola. Atas bantuan Yoe Kim Tjan dan seorang teknisi Jerman, lagu tersebut direkam pada akhir tahun 1927.

Peran berbeda dimainkan oleh koran Sinpo, media yang dimiliki oleh pengusaha etnis Tionghoa. Media tersebutlah yang mencetak dan mempublikasikan lagu, lirik, dan partitur lengkap lagu “Indonesia Raya.” Meskipun berorientasi politik ke Tiongkok, Sinpo menjadi satu-satunya media yang berani menerbitkan syair dan partitur lengkap dari lagu “Indonesia Raya” karangan Wage Rudolf Supratman. Sinpo memberi ruang bagi hadirnya lagu kebangsaan Indonesia, bahkan di saat media-media milik pengusaha pribumi tidak ada yang berani menerbitkan lagu tersebut karena pengawasan ketat pemerintah kolonial Belanda. Peranan Sinpo tersebut membuat lagu “Indonesia Raya” yang dilarang oleh pemerintah kolonial itu dapat terdokumentasi dengan baik.

Peran orang-orang Tionghoa di dalam dan di sekitar peristiwa Sumpah Pemuda, seperti digambarkan di atas, memiliki arti penting bagi upaya memperkokoh identitas kebangsaan Indonesia. Memperingati hari Sumpah Pemuda adalah memperingati semangat persatuan bangsa Indonesia, yang terdiri dari berbagai latar belakang etnis, budaya, agama, dan strata sosial. Memperingati Hari Sumpah Pemuda juga berarti mengenang peletakan dasar semangat anti-kolonialisme dan perlawanan terhadap politik segregasi kolonial Belanda. Mengapresiasi kembali peran-peran keterlibatan etnis Tionghoa dalam peristiwa sejarah Kongres Pemuda adalah bagian dari upaya memperkuat narasi kebangsaan Indonesia yang inklusif. Apresiasi terhadap peran Tionghoa seolah mengingatkan kita semua, seluruh anak-anak bangsa, bahwa bangsa besar bernama Indonesia ini tidak berdiri diatas pondasi primordialisme, melainkan dibangun di atas semangat sebagai bangsa yang majemuk, namun mengikat diri sebagai satu kesatuan dalam persamaan nasib dan bahasa.

Junianti Hutabarat adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *