Politik Kewargaan dan Etnis Tionghoa Pasca-Reformasi 1998

Politik Kewargaan dan Etnis Tionghoa Pasca-Reformasi 1998

Pada tulisan berjudul “Strategi Tionghoa Indonesia dalam Melawan Diskriminasi dan Stigma Pasca-Reformasi 1998” penulis menyampaikan pandangan bahwa sterotipe dan prasangka-prasangka terhadap etnis Tionghoa adalah persoalan yang upaya penanganannya masih belum selesai. Belum tuntasnya persoalan terkait prasangka dan stigma ini penting untuk dicermati karena selain berpotensi menjadi sumber konflik laten dan prasangka, hal tersebut juga merupakan sumber hambatan bagi etnis Tionghoa untuk menjadi inklusif. Penyelesaian persoalan ini pun membutuhkan keterlibatan utuh dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun seluruh lapisan masyarakat, dan tentu saja dari sisi etnis Tionghoa itu sendiri. Dalam pandangan penulis, salah satu cara penyelesaiannya adalah dengan menempatkan persoalan stereotipe, pelabelan, ataupun prasangka-prasangka ini sebagai persoalan kewargaan. Yang penulis maksudkan sebagai persoalan kewargaan tidak hanya terbatas pada masalah-masalah administratif  kependudukan atau persoalan pemenuhan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Persoalan kewargaaan juga mencakup pengucilan, stereotipe, dan prasangka, yang berpotensi menghambat etnis Tionghoa untuk mendapatkan penerimaan secara penuh dan utuh sebagai bagian dari warga negara.

Kewargaan, sebagaimana dipahami oleh Kristian Stokke, merupakan sebuah fenomena politis sehingga perlu diperjuangkan dengan strategi-strategi yang dinilai efektif untuk memenuhinya. Perjuangan dengan menerapkan berbagai strategi itulah yang ia sebut sebagai politik kewargaan. Kristian Stokke (2017) dalam “Politics of Citizenship: Towards an Analytical Framework” mendefinisikan politik kewargaan sebagai perjuangan untuk pemenuhan kewargaan yang substansial dan penuh. Kewargaan yang substansial dan penuh inilah yang disebut sebagai kewargaan yang inklusif, yaitu kewargaan yang telah mendapatkan rekognisi (pengakuan keanggotaan), representasi (keterwakilan dalam politik), dan redistribusi dalam kesejahteraan. Apabila salah satu dari ketiga dimensi ini tidak terpenuhi, maka satu kelompok warga negara dapat dikatakan mengalami eksklusi kewargaan.

Stokke memberikan konsep untuk membantu memahami level inklusi atau eksklusi kewargaan, yaitu apabila warga negara memiliki atau tidak memiliki syarat-syarat berikut: status legal, hak-hak, partispasi, dan keanggotaan. Status legal berkaitan dengan administrasi dan legalitas seperti KTP, dan akta lahir; hak-hak berkaitan dengan hak-hak dasar sebagai warga negara; partsipasi berkaitan dengan keterlibatan dalam kegiatan politik; dan keanggotaan berkaitan dengan kemasyarakatan atau aspek sosial sebagai warga negara.

Berkaca pada pencapaian-pencapaian pasca Orde Baru, etnis Tionghoa dapat dikatakan telah mengalami perbaikan dalam persoalan status legal, hak-hak dasar sebagai warga negara, penerimaan secara sosial dari masyarakat, serta partisipasi mereka dalam politik. Sekilas, tampaknya etnis Tionghoa sudah tidak memiliki masalah eksklusi sebagai kewargaan. Namun seperti diperlihatkan oleh berbagai riset-riset terdahulu, nyatanya etnis Tionghoa masih mengalami eksklusi dari aspek keanggotaan karena masih adanya tindakan pelabelan, prasangka, dan sterotipe terhadap etnis Tionghoa. Eksklusi keanggotaan menyebabkan etnis Tionghoa masih mengalami persoalan kewargaan hingga dewasa ini.

Eksklusi secara keanggotaan terhadap etnis Tionghoa berakar pada masalah kegagalan rekognisi. Menurut Nancy Fraser (1995) dalam “Recognition or Redistribution?: Dilemmas of Justice in Post-Socialist Age,” kegagalan rekognisi adalah masalah ketidakadilan. Terinspirasi dari pandangan Fraser di atas, Stokke pun menawarkan solusi untuk persoalan kegagalan rekognisi tersebut melalui politik kewargaan. Politik kewargaan ini menyajikan strategi-strategi yang ditempuh oleh kelompok-kelompok warga yang mengalami ketidakadilan untuk memperjuangkan keadilan bagi mereka. Dalam hal ini ada jalur-jalur yang menurut Stokke bisa ditempuh, yaitu jalur afirmatif atau transformatif. Jalur transformasi menyelesaikan persoalan dengan transformasi menyeluruh, atau mendekonstruksi seluruh tatanan sosial yang menyebabkan adanya tindakan eksklusi. Sementara itu,  jalur afirmasi menawarkan penyelesaian kegagalan rekognisi dengan mengupayakan multikulturalisme seluas-luasnya sehingga memungkinkan adanya ruang bagi identitas-identitas kelompok sosial.

Etnis Tionghoa di era pasca-Reformasi ini sejatinya telah mencoba melakukan praktik politik kewargaan sebagai dijabarkan Stokke di atas. Salah satu contoh dari praktik politik kewargaan yang bersifat afirmatif atau multikultural tersebut, misalnya, telah ditempuh oleh komunitas etnis Tionghoa di kota  Solo.

Foto Festival Grebeg Sudiro / Sumber : asiangames.antaranews.com

Festival Grebeg Sudiro sebagai Festival Kewargaan

Di kota Solo, sebuah kota yang memiliki akar sejarah kelam bagi etnis Tionghoa sejak Orde Baru hingga peristiwa Mei 1998, terdapat sebuah kegiatan kebudayaan tahunan setiap menjelang perayaan Tahun Baru Imlek. Kegiatan kebudayaan ini disebut Festival Grebeg Sudiro. Festival ini lahir dari kampung Sudiroprajan, kawasan pecinan Surakarta yang memiliki sejarah interaksi yang kuat antara etnis Jawa dan Tionghoa, terutama di sebuah kampung bernama Kampung Balong. Festival Grebeg Sudiro mulai diselenggarakan setelah Indonesia memasuki era Reformasi, ketika pendekatan multikulturalisme digunakan untuk mengakomodasi keragaman dan perbedaan identitas etnis, agama, dan adat istiadat di Indonesia, menggantikan kebijakan asimilasi Orde Baru. Dalam wacana multikulturalisme tersebut, identitas kebudayaan etnis Tionghoa bisa diterima dan ditampilkan di ruang publik.

Di dalam Festival Grebeg Sudiro dapat ditemui unsur-unsur identitas budaya Tionghoa Indonesia, seperti kue keranjang, lampion, jeruk mandarin, nuansa merah, dan bentuk gunungan menyerupai pola atap rumah tradisional Tionghoa. Unsur-unsur Tionghoa tersebut hadir berdampingan dengan unsur-unsur kesenian Jawa berupa gunungan atau susunan buah-buahan yang disusun berbentuk kerucut menyerupai gunung. Dalam pelaksanaan Festival Grebeg Sudiro, gunungan kue keranjang akan diarak keliling jalan-jalan Pasar Gede Solo sebelum kemudian diperebutkan oleh seluruh peserta festival.

Pada perkembangannya, penyelenggaraan festival ini tidak hanya melibatkan warga kampung Sudiroprajan dan pedagang di Pasar Gede. Organisasi etnis Tionghoa, seperti PMS (Perkumpulan Masyarakat Surakarta), Makin (Majelis Agama Khonghucu) Solo, Yayasan Klenteng Tien Kok Sie, dan asosiasi-asosiasi marga lainnya ikut terlibat. Bahkan, Pemerintah Kota Surakarta turut berpartisipasi mendukung pelaksanaan festival ini sebagai bagian dari agenda pariwisata Kota Solo.

Festival Grebeg Sudiro adalah sebuah kontes politik kewargaan akar rumput, mengingat Festival Grebeg Sudiro tidak lahir dari agenda pemerintah namun tumbuh dari inisiatif warga negara. Dengan demikian, jika dianalisis menggunakan konsep politik kewargaan dari Kristian Stokke, festival ini bukan hanya sebatas ajang seremonial menyambut Imlek, namun juga merupakan sebuah ruang perjuangan bagi etnis Tionghoa untuk mendapatkan pengakuan (rekognisi) secara afirmatif dari masyarakat luas.

Di antaranya, Grebeg Sudiro menghadirkan ruang perjumpaan bagi etnis Tionghoa dan etnis Jawa secara terbuka. Gotong royong dan kolaborasi dalam mempersiapkan festival ini menjadi peluang baik untuk berkomunikasi dan pengenalan antar kelompok.  Kemudian, festival ini juga menjadi arena bagi etnis Tionghoa untuk memperkenalkan identitas dan kebudayaan mereka secara lebih luas, kreatif, dan terbuka sehingga dapat memperoleh dukungan dari publik.

Ruang perjumpaan inilah yang bisa dimanfaatkan untuk menangkis persepsi-persepsi negatif, stigma, dan stereotipe terhadap etnis Tionghoa. Stigma, stereotipe, dan prasangka negatif telah menjadi salah satu penyebab kegagalan rekognisi bagi etnis Tionghoa. Persoalan ini tidak bisa hanya diselesaikan dengan cara-cara formal belaka. Upaya-upaya kultural dan informal, seperti melalui kegiatan festival Grebeg Sudiro di atas, juga diperlukan. Dari ruang perjumpaan informal tersebut akan lahir pengenalan, yang bila terjadi secara simultan, akan berdampak pada pengikisan sifat “alergi” dan stigma-stigma usang terhadap orang Tionghoa.

Membawa persoalan stigmatisasi dan persepsi terhadap etnis Tionghoa kembali ke akar rumput dapat membantu kita menyadari bahwa pada tataran antarsesama warga negara juga terdapat mekanisme penyelesaian konflik ala mereka sendiri. Meski membutuhkan waktu yang lama, persoalan-persoalan yang tak bisa diselesaikan di level politik formal, bisa diselesaikan dengan cara informal. Semoga melalui makin berkembangnya politik kewargaan seperti Grebeg Sudiro, hubungan etnis Tionghoa dan masyarakat Indonesia yang berlatar belakang etnis lainnya menjadi makin erat, membentuk sebuah kesatuan di bawah payung Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang hari lahirnya baru-baru ini kita rayakan.

Junianti Hutabarat adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *