Strategi Tionghoa Indonesia dalam Melawan Diskriminasi dan Stigma Pasca-Reformasi 1998

Strategi Tionghoa Indonesia dalam Melawan Diskriminasi dan Stigma Pasca-Reformasi 1998

Sebagai sebuah kelompok etnis minoritas di Indonesia, etnis Tionghoa telah mengalami berbagai bentuk diskriminasi sejak zaman kolonial hingga Indonesia berada di era Orde Baru. Pada masa yang belakangan itu, etnis Tionghoa didorong untuk memusatkan perhatian mereka pada aktivitas perdagangan semata. Konsentrasi pada dunia bisnis pada gilirannya melanggengkan pelbagai stereotipe yang pernah ada tentang komunitas ini. Mereka dianggap sebagai pekerja keras dan tekun. Namun pada sisi lain, mereka dicap sebagai “manusia ekonomi” yang hanya berorientasi pada uang, karir, bisnis, dan toko. Di samping itu, mereka juga dianggap pelit, rakus, dan cenderung hidup ekslusif.

Merebaknya persepsi di atas membuat etnis Tionghoa menjadi kelompok yang rentan terhadap tindakan kekerasan baik secara kultural, struktural, maupun fisik. Sejarah mencatat bukti-bukti kekerasan yang dialami oleh etnis Tionghoa Indonesia. Mereka antara lain menjadi korban pembantaian dalam peristiwa Perang Diponegoro di era kolonialisme Belanda, menjadi korban penggusuran dan lokalisasi dari desa-desa akibat kebijakan PP 10 tahun 1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang skala kecil atau eceran di daerah pinggiran, dan menjadi sasaran politik asimilasi Orde Baru, yang mewajibkan orang Tionghoa melepaskan identitas budaya, sosial, dan politik. Menurut Jemma Purdey dalam buku berjudul Anti-Chinese Violence and Transition in Indonesia, akumulasi dari sentimen anti-Tionghoa itu menjadi pemicu bagi peristiwa kerusuhan Mei 1998 pada akhir masa pemerintahan Orde Baru yang menyasar etnis Tionghoa di beberapa kota di Indonesia.

Namun pengalaman menjadi korban kekerasan dalam kurun waktu yang cukup lama itu tak membuat mereka menjadi putus asa. Sebaliknya, baik sepanjang era Orde Baru maupun setelahnya, etnik Tionghoa melakukan berbagai upaya untuk menempatkan diri mereka pada posisi yang tak lagi rentan. Tulisan pendek ini mencoba membahas secara singkat beberapa strategi yang telah mereka praktikkan baik pada zaman Orde Baru maupun sejak Indonesia memasuki era Reformasi.

Upaya Adaptasi Dalam Era Orde Baru

Meningkatkan tingkat asimilasi antara etnis Tionghoa dengan penduduk non-Tionghoa adalah salah satu pilihan yang dilakukan oleh etnis Tionghoa di beberapa wilayah di Indonesia untuk menempatkan diri mereka pada posisi yang lebih setara. Beberapa kelompok etnis Tionghoa Indonesia sejatinya telah beradaptasi dan mengasimilasikan diri dengan penduduk lokal setempat, bahkan jauh sebelum Soeharto memberlakukan kebijakan asimilasi. Sebagai contoh, etnis Tionghoa di Kepulauan Riau telah melekat kuat dengan akar budaya Kepulauan Riau. Contoh lain adalah orang-orang Tionghoa di Solo, yang menurut Rustopo dan Riyadi  turut berperan aktif dalam kesenian setempat, serta menggunakan partisipasi dalam kesenian itu sebagai wahana untuk melebur dengan masyarakat non-Tionghoa di kampung Balong, kawasan pecinan Solo.

Contoh-contoh di atas memperlihatkan bahwa, baik sebelum maupun sepanjang pemerintahan Orde Baru, setidaknya sebagian etnik Tionghoa telah melakukan daya upaya untuk melebur dengan masyarakat non-Tionghoa. Khususnya semasa pemerintahan Orde baru, sebagian besar orang-orang etnis Tionghoa memilih untuk tunduk pada kebijakan asimilasi pemerintah. Mereka memilih untuk menyembunyikan ketionghoaan mereka di ruang privat, dan hanya memelihara tradisi Imlek dan bahasa Mandarin di “balik pintu,” atau melalui film-film impor berbahasa Mandarin. Sementara itu, Tionghoa yang menjadikan usaha bisnis sebagai mata pencaharian utama mereka biasanya menjadikan hubungan dengan penguasa, birokrasi, dan militer sebagai strategi untuk bertahan dan berkembang dalam bisnis mereka. Hubungan “patron-klien” antara pengusaha Tionghoa dan para penguasa dari berbagai tingkatan itu menjadi salah satu karaktersitik masyarakat Indonesia pada era Orde Baru.

Sumber Foto : Arsip FSI

Reformasi dan Aktivisme Sosial Politik Etnis Tionghoa

Seiring dengan berakhirnya kepemimpinan Soeharto, etnis Tionghoa mengadopsi strategi yang berbeda dalam upaya mengatasi kerentanan yang selama ini mereka hadapi. Gerakan Reformasi membawa harapan baru bagi tumbuhnya masyarakat yang demokratis dan inklusif. Reformasi menghadirkan ruang bagi kelompok-kelompok minoritas di Indonesia untuk memperjuangkan hak-hak sipil dan eksistensinya. Bagi etnis Tionghoa, kehadiran ruang tersebut membuka kesempatan untuk memperjuangkan identitas dan eksistensi mereka yang “terkebiri” selama Orde Baru. Itulah sebabnya Thung Julan (2010) dalam Setelah Air Mata Kering mengistilahkan periode ini sebagai periode di mana etnis Tionghoa berpindah dari kedudukan sebagai “objek” menjadi “subjek” politik. Beberapa orang Tionghoa menginisiasi pembentukan kembali asosiasi dan organisasi, baik berbasis etnis maupun lintas etnis, untuk mempromosikan pluralisme, kesetaraan, hak asasi manusia, partisipasi aktif warga negara, dan juga untuk memperjuangkan hak-hak sipil serta identitas kebudayaan Tionghoa Indonesia.

Organisasi-organisasi milik etnis Tionghoa pun bermunculan bak jamur di musim penghujan. Seperti dicatat oleh Mary Somers Heidhues, organisasi-organisasi seperti Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI), Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI), Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), dan Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi (Gandi) mulai didirikan sejak Indonesia memasuki periode pasca-Orde Baru. Selain itu, seperti dituliskan oleh Leo Suryadinata, orang Tionghoa juga mulai mendirikan partai politik, di antaranya adalah Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti), Partai Pembauran Indonesia, dan Partai Bhinneka Tunggal Ika Indonesia (PBI).

Buah manis dari perjuangan aktivis-aktivis Tionghoa Indonesia ini ialah etnis Tionghoa kembali merengkuh identitas budaya yang selama Orde Baru harus disembunyikan. Eksistensi orang Tionghoa kembali mendapat tempat di publik. Beberapa pencapaian-pencapaian gemilang etnis Tionghoa di antaranya adalah: dicabutnya penggunaan istilah “pribumi” dan “non-pribumi” dalam akta-akta resmi melalui Instruksi Presiden No. 26 Tahun 1998, pencabutan kewajiban menunjukan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), penghapusan larangan ekspresi budaya, bahasa, dan keyakinan etnis Tionghoa melalui Keppres No 6 Tahun 2000, dan penetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sejak tahun 2003 oleh presiden Megawati. Selain itu, pers dan Bahasa Mandarin juga kembali mendapat tempat di Indonesia setelah mengalami mati suri panjang di era Orde Baru. Perlahan tetapi pasti, etnis Tionghoa mengalami pemulihan dan pengakuan secara sosial, budaya, dan juga politik.

Sebagai akibat dari perkembangan di atas, publik Indonesia menjadi terbiasa dengan kehadiran tokoh-tokoh dari kalangan etnis Tionghoa di luar bidang bisnis dan ekonomi, misalnya Basuki T. Purnama (Ahok), Grace Natalie dan pengamat politik Yunarto Wijaya. Meningkatnya jenis-jenis aktivisme di luar bisnis yang dilakukan oleh etnis Tionghoa dewasa ini membuktikan bahwa penerimaan dan keterlibatan etnis Tionghoa dalam berbagai aktivitas di luar “toko” adalah sebuah pencapaian yang baik.

Persoalan yang Belum Tuntas

Namun, munculnya nama-nama di atas belum dapat dianggap sebagai tanda tuntasnya perjuangan etnis Tionghoa Indonesia untuk mendapatkan pengakuan yang lebih inklusif. Sebaliknya, masih terdapat persoalan fundamental yang perlu diselesaikan pada tataran masyarakat, yaitu masih kuatnya stereotipe dan stigma yang telah berakar sejak era Orde Baru. Lapisan persoalan yang belum tuntas ini berpotensi menjadi “bahan bakar” pemicu konflik di kemudian hari. Menurut penelitian Maryanah (2019) dalam “Citizenship in Everyday Life: Exclusion of the Chinese Indonesians by Non-Chinese Indonesians in Bandar Lampung – Indonesia,” persoalan di atas muncul karena proses inklusi, seperti penghapusan regulasi-regulasi diskriminatif, masih terjadi di tataran formal belaka. Sedangkan pada tataran akar rumput, proses inklusi masih belum terlaksana sesuai harapan. Pengucilan atau ekslusi terhadap Tionghoa pada hari ini memang tidak segamblang di masa Orde Baru karena dilakukan dan terjadi di tataran perspektif atau pencitraan, seperti diutarakan oleh Charlotte Setijadi (2017) dalam artikel yang berjudul Chinese Indonesians in the Eyes of the Pribumi Public.Namun masih langgengnya sterotipe dan stigma terhadap etnis Tionghoa itu berpotensi mengakibatkan kegagapan atau kebingungan bagi etnis Tionghoa mengenai bagaimana mereka harus bersikap ketika muncul di ruang publik.  

Junianti Hutabarat adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *