Pemilu Lokal Taiwan: Kemenangan Kuomintang, Hubungan Lintas Selat, dan Pemilihan Presiden 2024

Pemilu Lokal Taiwan: Kemenangan Kuomintang, Hubungan Lintas Selat, dan Pemilihan Presiden 2024

Pada Sabtu, 26 November 2022, Taiwan kembali menyelenggarakan pemilihan umum (pemilu) tingkat lokal. Dalam pagelaran demokrasi yang berlangsung sekali dalam empat tahun ini, masyarakat Taiwan memilih walikota serta perwakilan daerah yang akan menjabat dalam periode mendatang.

Tempat pemungutan suara (TPS) dibuka selama delapan jam sejak pukul 8 pagi hingga 4 sore waktu setempat. Pemilu diadakan dalam suasana pandemi COVID-19, di mana kasus positif harian di Taiwan masih cukup tinggi, sehingga protokol kesehatan dijalankan dengan saksama. Dalam pantauan penulis yang melakukan pengamatan terlibat terhadap jalannya pemungutan suara di TPS nomor 734, distrik Xinyi, para pemilih yang datang dengan surat suara akan dicek suhu tubuh terlebih dahulu oleh petugas TPS. Jika suhu tubuh normal, pemilih akan diizinkan masuk ke TPS untuk melakukan pemungutan suara. Taiwan masih memberlakukan karantina mandiri bagi warganya yang positif COVID-19. Hal ini mengakibatkan adanya sekitar 60.000 pemilih yang tidak dapat berpartisipasi dalam pemilu karena sedang dalam periode wajib karantina.

Pemungutan Suara di TPS nomor 734, distrik Xinyi Taiwan. Sumber Foto : Ratih Kabinawa

Setelah berakhirnya waktu pemungutan suara, para petugas TPS langsung melakukan perhitungan suara di tempat. Cara perhitungan secara manual ini menunjukan transparansi atas proses pemungutan dan perhitungan suara. Selain itu, masyarakat umum, termasuk penulis yang merupakan pendatang, dapat mengikuti jalannya perhitungan suara di berbagai TPS. Tidak ada larangan atau aturan khusus bagi warga lokal maupun asing yang ingin berpartisipasi memantau jalannya pemilu. Ini menjadi keunikan tersendiri bagi perkembangan demokrasi di Taiwan.

Hasil pemilu telah diumumkan pada Sabtu malam waktu setempat dengan kemenangan mutlak partai oposisi, Kuomintang (KMT), di hampir seluruh kota dan kabupaten yang tersebar di wilayah utara, timur, dan tengah Taiwan. Democratic Progressive Party (DPP) hanya berhasil mempertahankan basis suaranya di wilayah selatan Taiwan. Apakah arti kemenangan mutlak KMT ini bagi konstelasi politik internal di Taiwan? Apakah ini berarti bahwa DPP akan kehilangan cengkeraman mereka terhadap pemerintahan Taiwan yang telah mereka rebut dari tangan KMT sejak 2016? Apakah isu terkait hubungan dengan Cina berpengaruh terhadap kemenangan KMT kali ini? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang akan dibahas dalam tulisan singkat ini. 

Daftar Peserta Pemilu Tingkat Lokal Di taiwan, Menghasilakan Kemenangan partai oposisi, Kuomintang (KMT) dan kemenangan kandidat independen di Miaoli, serta kemenangan partai alternatif Taiwan’s People Party (TPP) di Hsinchu. Sumber Foto : Ratih Kabinawa

Hal pertama yang menarik dan penting untuk dicatat terkait hasil pemilu lokal Taiwan kali ini adalah bahwa ia tidak berbeda jauh dengan hasil pemilu lokal pada tahun 2018, di mana KMT juga mengalami kemenangan telak atas DPP. Terdapat kesamaan pola di mana wilayah selatan Taiwan yang terdiri dari Tainan, Kaohsiung (setelah pemilu ulang di tahun 2020), serta Pingtung kembali menjadi kekuatan utama DPP di tahun ini. Sementara itu, KMT berhasil merebut kembali wilayah Taoyuan setelah sebelumnya berada di bawah kepemimpinan DPP sejak pemilu 2018. Hal menarik lainnya yaitu kemenangan kandidat independen di Miaoli, serta kemenangan partai alternatif Taiwan’s People Party (TPP) di Hsinchu.

Berdasarkan pola di atas, maka kita dapat berargumen bahwa kemenangan mutlak KMT pada pemilu lokal ini tidak serta merta memudahkan KMT dalam menghadapi pemilu nasional untuk memilih anggota-angggota legislatif (dalam Bahasa Inggris disebut sebagai Legislative Yuan) serta pasangan presiden dan wakil presiden di tahun 2024. Pada pemilu presiden 2020, DPP berhasil memenangkan kursi presiden meskipun mengalami kekalahan pada pemilu lokal 2018. Sejarah ini bisa saja terulang kembali pada pemilu 2024 mengingat pemilu tingkat nasional lebih dinamis dan akan dipengaruhi oleh faktor eksternal, khususnya relasi Taiwan dengan Cina dan Amerika Serikat. Dalam kasus pemilihan presiden 2020, situasi politik di Cina daratan—yang diwarnai dengan diberlakukannya Hukum Keamanan Nasional (National Security Law) dan tindakan agresif Beijing dalam meredam protes pro-demokrasi di Hong Kong di penghujung 2019—justru membuka celah kemenangan telak Tsai Ing-wen, kandidat petahana yang berafiliasi dengan DPP, atas kandidat KMT, Han Kuo-yu. Masyarakat Taiwan khawatir apa yang terjadi di Hong Kong akan berimbas pada Taiwan apabila KMT, partai yang dikenal ramah dengan Cina dan pro-unifikasi, memenangkan pemilu presiden 2020. Berkaca dari pengalaman di atas, tak berlebihan bila kita menganggap periode 13 bulan ke depan sebagai momen yang menarik untuk diikuti. Secara khusus, sangat penting untuk memperhatikan kebijakan serta strategi yang akan dipilih oleh Beijing dalam merespon hasil pemilu lokal 2022 ini karena kebijakan dan strategi itu sedikit banyak akan berpengaruh pada pemilu presiden yang dijadwalkan berlangsung pada bulan Januari 2024.

Hasil rekapitulasi Pemungutan suara Pemilu Tingkat Lokal Di Taiwan, kemenangan mutlak partai oposisi, Kuomintang (KMT). Sumber Foto : Ratih Kabinawa

Namun selain sikap dari Beijing, persoalan terkait siapa yang akan menjadi calon presiden, baik dari DPP maupun KMT pada pemilu 2024 mendatang, juga layak mendapat sorotan. Saat ini kedua partai tidak memiliki kandidat yang kuat dan berpengaruh untuk mewakili mereka di ajang pemilihan presiden. Presiden petahana, Tsai Ing-wen telah mengundurkan diri sebagai ketua partai DPP selepas kekalahan partainya dalam pemilu Sabtu ini. KMT pun mengalami krisis kepemimpinan. Calon kuat dari KMT seperti Chiang Wang-an atau Hou Yu-ih telah terpilih menjadi walikota Taipei dan New Taipei dalam pemilu lokal kali ini. Apakah Chiang Wang-an atau Hou Yu-ih akan mengikuti jejak Han Kuo-yu yang mencalonkan diri pada pemilu presiden 2020 ketika masih menjabat sebagai walikota Kaohsiung? Jika hal ini terjadi, akan menjadi catatan tersendiri bagi KMT mengingat kekalahan telak Han Kuo-yu pada pemilu presiden 2020. Tak lama berselang, dia pun di-recall sebagai walikota Kaohsiung karena dianggap telah lalai dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, KMT perlu berhati-hati dalam menyusun strategi dan memilih kandidat presiden dari partainya. Hal menarik lainnya yang perlu diselisik adalah, berbeda dengan pemilu nasional dan presiden yang kuat diselimuti oleh isu internasional dan dinamika lintas selat, pemilu lokal lebih banyak berfokus pada isu domestik, seperti kesejahteraan ekonomi, inflasi dan upah minimum pekerja, serta akses terjangkau atas kepemilikan rumah bagi kalangan muda. Strategi DPP yang mengusung tema-tema kampanye tentang identitas dan kedaulatan Taiwan atas Cina malah tidak menarik simpati para pemilih. Masyarakat Taiwan menginginkan adanya perubahan kesejahteraan ekonomi. Mereka pun telah lelah menghadapi pandemi COVID-19, di mana pemerintah Taiwan masih tetap memberlakukan penggunaan masker dan karantina wajib, tidak seperti negara lainnya yang telah melonggarkan beberapa protokol kesehatan. KMT tentunya berhasil menawarkan alternatif kebijakan ekonomi, serta angin segar atas kepemimpinan DPP selama 6 tahun ke belakang.

Catatan lain yang juga penting adalah bahwa pemilu lokal kali ini juga diikuti oleh referendum guna mengubah salah satu artikel konstitusi mengenai penurunan batas usia pemilih dari 20 tahun ke 18 tahun. Saat ini, hanya warga negara Taiwan berusia minimal 20 tahun yang dapat mengikuti pemungutan suara. Referendum ini digagas oleh DPP dan mendapat dukungan lintas partai di Legislative Yuan, termasuk KMT. Namun sayangnya, referendum ini gagal memperoleh suara mayoritas sehingga pasal terkait batas usia minimal belum dapat diubah. Dalam diskusi penulis dengan salah satu peneliti di partai DPP, terungkap bahwa alasan mereka memperjuangkan penurunan batas usia bukan semata karena batas usia 18 tahun merupakan batas usia minimum seseorang dapat mengikuti pemilu di berbagai negara demokrasi di dunia. Berdasarkan peraturan perundangan di Taiwan, jika seseorang sudah berusia 18 tahun dan bekerja, ia sudah wajib membayar pajak. Selain itu, aturan wajib militer di Taiwan mewajibkan peserta berusia minimal 18 tahun. Oleh karenanya, menjadi ironi bila seseorang sudah mencapai usia 18 tahun, berkewajiban untuk membayar pajak dan mengikuti wajib militer, namun justru tidak memiliki hak untuk memilih dan menentukan masa depan negaranya. Bagi DPP yang dikenal sebagai partai yang popular dikalangan generasi muda, kegagalan referendum di atas patut disayangkan karena apabila referendum ini berhasil diadopsi, DPP berpotensi meningkatkan jumlah suara mereka pada pemilu 2024.

Kesimpulan dari catatan-catatan di atas adalah bahwa dominasi KMT dalam pemilu lokal yang baru saja berlangsung tidak menjamin kemenangan KMT, baik pada pemilihan Legislative Yuan ataupun presiden pada pemilihan nasional tahun 2024 mendatang. Hal ini karena pada pemilu lokal ini, tema-tema terkait ekonomi setempat, kesejahteraan, dan berbagai persoalan kehidupan sehari-hari justru menjadi faktor yang sangat berpengaruh dibanding dengan isu terkait identitas Taiwan dan hubungan lintas selat. Meski demikian, isu-isu yang disebut belakangan ini masih potensial untuk menjadi salah satu faktor penting dalam pemilihan umum nasional dan presiden tahun 2024 nanti, apalagi bila pendekatan asertif Beijing terkait Taiwan makin meningkat. Namun demikian, pemilihan umum nasional 2024 tidak hanya ditentukan oleh isu-isu di atas, melainkan juga oleh keberadaan kandidat yang tepat untuk bertarung. Akhirnya, di luar keterkaitannya dengan pemilihan nasional dua tahun mendatang, isu menarik dalam pemilihan lokal akhir pekan lalu adalah kegagalan referendum menurunkan batas usia pemilih. Kegagalan tersebut bukan hanya membawa kekecewaan bagi pemuda berusia antara 18—20 tahun, tetapi juga bagi DPP yang ditengarai berpotensi menuai lebih banyak dukungan bila referendum di atas berhasil. Saat ini pun, di Cina sedang berlangsung beberapa aksi protes sebagai buntut dari lockdown yang berkepanjangan, serta solidaritas atas insiden kebakaran apartemen yang terjadi di Urumqi, Xinjiang. Sikap yang akan diambil oleh pemerintah Cina dalam merespons aksi solidaritas dan protes ini akan secara saksama disaksikan oleh masyarakat internasional, termasuk Taiwan. Hal ini pun dapat mempengaruhi pandangan masyarakat Taiwan terhadap Cina dan demokrasi, seperti yang terjadi di penghujung 2019 dan awal 2020, yang membawa kemenangan telak bagi DPP.

Ratih Kabinawa adalah kandidat doktor pada Departemen Hubungan Internasional dan Studi Asia, University of Western Australia, Perth.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *