Gerakan Kertas Putih: Benih Tantangan terhadap Legitimasi Rezim Otoritarian Tiongkok

Gerakan Kertas Putih: Benih Tantangan terhadap Legitimasi Rezim Otoritarian Tiongkok

Protestan berkumpul untuk berjaga dan memegang lembaran kertas putih sebagai protes atas pembatasan penyakit coronavirus (COVID-19), selama peringatan korban kebakaran di Urumqi, saat wabah COVID-19 berlanjut, di Beijing, China, 27 November , 2022. Foto: REUTERS/Thomas Peter
Protestan berkumpul untuk berjaga dan memegang lembaran kertas putih sebagai protes atas pembatasan penyakit coronavirus (COVID-19), selama peringatan korban kebakaran di Urumqi, saat wabah COVID-19 berlanjut, di Beijing, China, 27 November , 2022. Foto: REUTERS/Thomas Peter

Pada akhir bulan yang lalu, tepatnya sejak Sabtu, 26 November 2022, telah terjadi aksi unjuk rasa di berbagai kota di seluruh penjuru Tiongkok. Serangkaian demonstrasi tersebut pada mulanya menyuarakan protes atas kebijakan penguncian wilayah (lockdown) yang diduga mempersulit akses pemadam kebakaran untuk memadamkan api di sebuah gedung apartemen di Urumqi, daerah otonomi Xinjiang Uyghur, pada Kamis, 24 November malam waktu setempat. Akibatnya, dilaporkan sepuluh orang meninggal dalam insiden tersebut.

Jatuhnya korban jiwa pada peristiwa kebakaran di atas memicu reaksi di berbagai kota lain di Tiongkok. Di Shanghai, warga lokal berkumpul di Jalan Wulumuqi, yaitu nama kota Urumqi dalam bahasa Mandarin, untuk menggelar peringatan atas jatuhnya korban jiwa dalam kejadian kebakaran di kota tersebut, sekaligus mengkritik kebijakan nol Covid pemerintah yang diterapkan, antara lain dengan melakukan penguncian wilayah. Aksi damai itu kemudian berkembang menjadi aksi protes atas kepemimpinan Xi Jinping dan legitimasi kekuasaan Partai Komunis Tiongkok (PKT). Sementara itu, pada Minggu, 27 November, para mahasiswa Universitas Tsinghua, salah satu universitas prestisius di Beijing, berdemonstrasi dengan memegang kertas putih sebagai simbol protes di dalam kampus mereka. Unjuk rasa dengan memegang kertas putih kemudian dilaporkan “menular” ke kota-kota lain, seperti Wuhan, Chengdu, bahkan Hong Kong. Salah seorang pengunjuk rasa, ketika diwawancarai oleh VOA, menjelaskan bahwa kertas putih melambangkan semua yang ingin dikatakan tetapi tidak dapat dikatakan karena penyensoran yang ketat di Tiongkok. Apakah rentetan aksi demonstrasi ini akan berlanjut menjadi gerakan yang lebih besar? Makna apa yang dapat kita pelajari dari munculnya aksi di atas? Artikel singkat ini mencoba untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini.

Massa berdemonstrasi memegang lembaran kertas putih sebagai protes atas pembatasan penyakit coronavirus (COVID-19), dan menggelar peringatan atas jatuhnya korban jiwa di Urumqi. Sumber Foto : Gao Ming/via REUTERS

Berbeda dengan respons di dalam negeri Tiongkok, media internasional yang menyoroti serangkaian aksi demonstrasi di atas menilai peristiwa itu sebagai kejadian luar biasa dalam rezim otoritarianisme. Misalnya, pengamat Tiongkok dari Amerika Serikat, Gordon G. Chang mencuit lewat akun Twitter-nya pada Minggu, 27 November, “kerusuhan di Tiongkok menjadi pemberontakan, dan kini berubah menjadi revolusi.” Bahkan ketika diwawancarai oleh CNN, ia menekankan bahwa demonstrasi kali ini lebih serius dibandingkan dengan Peristiwa Tiananmen 1989. Menurutnya, PKT harus mawas diri karena sudah mulai kehilangan dukungan rakyat. Ini terlihat dari tuntutan agar PKT turun dari puncak kekuasaan, sesuatu yang bahkan tidak pernah didengungkan ketika gerakan demonstrasi mahasiswa 1989. Namun demikian, tidak semua pengamat setuju bahwa tuntutan para pengunjuk rasa akan menggoyahkan posisi Xi Jinping dan PKT. Seniman Tiongkok yang hidup di pengasingan, Ai Weiwei menilai PKT sudah berpengalaman dalam menekan demonstrasi yang lebih besar dan terkoordinasi di Hong Kong beberapa tahun silam, apalagi kader dan pemimpin PKT lebih solid setelah baru saja merampungkan kongres nasional. Jadi, demonstrasi baru-baru ini tidak akan mengancam posisi Xi Jinping dan PKT. Sementara itu, Marina Rudyak, pengamat Tiongkok dari Universitas Heidelberg, Jerman, memprediksi PKT akan merespons tuntutan para demonstran secara selektif, yaitu dengan memisahkan para pendemo anti kebijakan Covid dan anti pemerintah.

Para mahasiswa berdemonstrasi terhadap pembatasan COVID-19 di Universitas Tsinghua di Beijing, Cina. Sumber Foto : REUTERS.

Demi mencegah gerakan protes ini mendapatkan momentum dan berkembang menjadi lebih besar, pemerintah Tiongkok dengan cepat membubarkan aksi tersebut. Sebagai negara dengan pengawasan warga yang ketat (surveillance state), tentu saja Tiongkok dengan mudah mengidentifikasi peserta demonstrasi. Sebagaimana dilaporkan CNN, aparat keamanan di Shanghai menelpon, mendatangi rumah, dan menginterogasi warga yang terpantau mengikuti demonstrasi. Di samping itu, personel kepolisian juga terlihat mengecek ponsel warga secara acak di jalan dan kereta bawah tanah untuk mencari foto dan video terkait aktivitas unjuk rasa. Selain itu, patroli keamanan di lokasi-lokasi strategis juga ditingkatkan untuk mencegah pengumpulan massa. Di sisi lain, pemerintah juga mulai melonggarkan aturan pencegahan Covid agar setidaknya para demonstran merasa tuntutan mereka didengarkan. Misalnya, pemerintah kota Chongqing mulai Rabu, 30 November, memperbolehkan kontak erat pasien Covid melakukan karantina mandiri di rumah bila memenuhi syarat. Langkah semacam itu juga diikuti oleh beberapa distrik di kota Shanghai dan Guangzhou sejak Kamis, 1 Desember. Melihat masih ketatnya sensor dan sistem pengawasan pemerintah, serta kebijakan pengendalian Covid yang mulai melunak, tampaknya gelombang protes di Tiongkok baru-baru ini belum akan menjadi “tsunami” yang dapat memorak-porandakan legitimasi kekuasaan PKT di Tiongkok. Namun demikian, gelombang demonstrasi di atas membawa pemahaman yang sangat penting, yaitu bahwa rezim otoritarian yang mengandalkan pengawasan dan sensor yang ketat terhadap warganya tidak serta merta dapat membungkam suara rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan. Cepat atau lambat, aspirasi yang tak tersalurkan justru akan membawa dampak yang negatif bagi legitimasi sebuah kekuasaan.

Ignatius Edhi Kharitas adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *