Meraba Arah Demonstrasi di China

Meraba Arah Demonstrasi di China

Orang-orang memegang lembaran kertas putih sebagai protes terhadap pembatasan COVID-19 di Beijing pada hari Minggu. Foto: REUTERS
Orang-orang memegang lembaran kertas putih sebagai protes terhadap pembatasan COVID-19 di Beijing pada hari Minggu. Foto: REUTERS

Publik internasional dikejutkan oleh demonstrasi yang terjadi di China sepanjang 25-27 November 2022. Berbagai pemberitaan menyebutkan bahwa demonstrasti terjadi di Shanghai, Beijing, Nanjing, Chengdu, Wuhan, dan kota-kota lainnya. Menurut beberapa pemberitaan, jumlah pengunjuk rasa berkisar ratusan hingga ribuan orang.

Unjuk rasa itu dipicu oleh tewasnya 10 orang dalam kebakaran di sebuah apartemen di Urumqi, provinsi Xinjiang pada 24 November 2022. Menurut para demonstran, kematian itu disebabkan terlambatnya petugas ke lokasi kebakaran akibat aturan lockdown yang terlalu ketat.

Isu awal yang diusung para demonstran adalah tuntutan untuk mengakhiri lockdown, tetapi kemudian berkembang menjadi tuntutan agar Presiden China Xi Jinping mundur dari jabatan. Para demonstran juga meneriakkan slogan anti Partai Komunis China (PKC), tuntutan demokrasi, dan kebebasan berekspresi. Sebagai simbol anti penyensoran (censorship), demonstran membawa kertas putih atau kain putih kosong.

Setidaknya, ada tiga hal yang menarik untuk diamati dari demonstrasi ini. Pertama, sulit membayangkan bahwa demonstrasi semacam ini terjadi di China. Demonstrasi besar-besaran yang berujung pada pembubaran paksa dengan penggunaan kekuatan militer terakhir terjadi lebih dari 30 tahun lalu di Lapangan Tiananmen, Beijing, tepatnya pada Juni 1989. Memang, jika dibandingkan secara jumlah demonstran, peserta demonstrasi kali ini bisa dikatakan masih lebih sedikit dari pada demonstrasi pada 1989. Tetapi demonstrasi ini tidak hanya terjadi di Beijing.

Pada tahun 2019, demonstrasi massal dan dalam jangka waktu relatif lama (sekitar tiga bulan) terjadi di Hong Kong yang merupakan bagian China dengan status Special Administrative Region (SAR). Akan tetapi, harus diingat bahwa di Hong Kong diterapkan “Satu Negara, Dua Sistem” yang memungkinkan publik berdemonstrasi secara bebas.

Kedua, isu yang diusung para demonstran seolah-olah merupakan tentangan terhadap pernyataan-pernyataan yang muncul saat Kongres PKC ke 20 pada Oktober 2022. Sebagai contoh, dalam laporan di hadapan peserta kongres, Presiden China sekaligus Sekjen (Sekretaris Jenderal) PKC Xi Jinping mengatakan:

Dalam merespon wabah Covid-19 yang terjadi tiba-tiba, kita menempatkan manusia dan kehidupan mereka di atas segalanya, bekerja untuk mencegah munculnya kembali kasus-kasus (Covid-19 – penulis) yang timbul dari dalam maupun dibawa dari  luar negeri, dan dengan gigih mengejar kebijakan nol-Covid yang dinamis”.

Pernyataan Xi Jinping itu menggambarkan betapa China telah berupaya total untuk menghentikan penyebaran Covid-19; termasuk dengan penerapan lockdown secara ketat. Akan tetapi, upaya semacam itu yang justru menjadi pemantik demonstrasi kali ini.

Selain itu, Kongres PKC ke 20 telah menetapkan kembali Xi Jinping sebagai Sekjen PKC. Solidnya posisi Xi Jinping bahkan ditegaskan dalam resolusi Kongres PKC ke 20 tentang amandemen Konstitusi PKC sebagai berikut:

Kongres menyerukan organisasi-organisasi Partai di seluruh level dan segenap anggota Partai untuk mengikuti kepemimpinan kuat Komite Sentral Partai dengan Kamerad Xi Jinping sebagai inti (dari kepemimpinan – penulis), menjunjung tinggi panji sosialisme dengan karakteristik China, serta meneruskan semangat pendirian partai yang agung”.

Seperti halnya isu Covid-19, kepemimpinan Xi Jinping yang telah diperkuat keputusan PKC juga turut menjadi problem yang diusung pada demonstran. Hal ini memperlihatkan adanya pihak-pihak yang berani mencoba mendelegitimasi kekuasaan PKC, walau belum memperlihatkan magnitude yang masif.

Para Demonstran di Kota Beijing, Kertas putih sebagai tanda protes. Sumber Foto : c.files.bbci.co.uk

Hal ketiga yang menarik untuk diamati adalah seberapa jauh eskalasi demonstrasi ini dan seperti apa langkah yang akan diambil oleh pemerintah China untuk menangani hal ini. Selama lebih kurang 32 tahun terakhir, setidaknya ada dua contoh demonstrasi massal yang terjadi di kedaulatan China, yaitu di Lapangan Tiananmen pada 1989 dan demonstrasi di Hong Kong pada 2019.

Demonstrasi di Lapangan Tiananmen terjadi berhari-hari; dan ketika eskalasi demonstrasi semakin membesar, petinggi PKC memutuskan membubarkan massa dengan kekuatan militer yang berujung pada tewasnya masyarakat sipil, serta penangkapan massal terhadap pihak yang dituduh terlibat demonstrasi. Akibat dari tindakan itu, China mendapat sanksi internasional, terutama dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Barat.

Demonstrasi dengan tingkat kemasifan yang hampir sama dengan peristiwa di Lapangan Tiananmen juga terjadi di Hong Kong. Akan tetapi, berbeda dengan penindakan di Lapangan Tiananmen, penanganan demonstrasi Hong Kong tidak dilakukan dengan penggunaan militer maupun peluru tajam. Aparat keamanan Hong Kong membubarkan demonstrasi dengan menggunakan water cannon, gas air mata, dan peluru karet. Beijing sepertinya sadar bahwa penggunaan kekuatan militer seperti pada tahun 1989 akan merusak kredibilitas Hong Kong sebagai daerah bebas dalam prinsip “Satu Negara, Dua Sistem” yang diciptakan sendiri oleh China. Hal ini akan membawa dampak buruk bagi China yang menjadikan Hong Kong sebagai salah satu sentra perekonomiannya.

Langkah lain untuk meredam demonstrasi di Hong Kong adalah dengan mencabut RUU Ekstradisi yang menjadi tuntutan dasar demonstran. Tindakan ini memang dilakukan oleh Eksekutif Hong Kong; namun, berbagai kalangan percaya bahwa Beijing berada di balik keputusan itu.

Lantas, seperti apa eskalasi demonstrasi kali ini? Apa yang akan dilakukan pemerintah China untuk menghentikannya?

Tentu saja terlalu dini untuk mengatakan bahwa demonstrasi kali ini akan berkembang seperti di Lapangan Tiananmen (1989) dan Hong Kong (2019). Akan tetapi, sekalipun eskalasi demonstrasi semakin membesar, Beijing sepertinya akan memilih penanganan demonstrasi seperti halnya yang terjadi di Hong Kong. Penggunaan kekerasan, apa lagi mengakibatkan korban jiwa, akan semakin mendelegitimasi PKC di hadapan rakyat China. Selain itu, jatuhnya korban jiwa akan mendorong sanksi internasional, terutama ekonomi seperti yang terjadi pasca insiden Tiananmen. Jika itu terjadi, pemerintah China dan PKC akan semakin kehilangan legitimasi rakyat.

Beijing sepertinya akan menghindari penggunaan kekuatan militer atau kekerasan seperti di Lapangan Tiananmen dengan perlahan-lahan mengendurkan aturan lockdown untuk mencegah semakin meluasnya sentiment masyarakat, walau resikonya demonstrasi akan berlangsung relatif lama seperti yang terjadi di Hong Kong. Mungkin, itu pilihan yang akan diambil oleh pemerintah China dan PKC untuk mempertahankan legitimasi dari rakyat dan mempercepat pemulihan ekonomi.

Muhammad Farid adalah Dosen President University dan Sekretaris pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *