Partisipasi dan Representasi Tionghoa dalam Budaya Populer di Indonesia: Sebuah Penelusuran Singkat

Partisipasi dan Representasi Tionghoa dalam Budaya Populer di Indonesia: Sebuah Penelusuran Singkat

Poster film Cek Toko Sebelah (2016)(IMDb)
Poster film Cek Toko Sebelah (2016)(IMDb)

Dalam setidaknya satu dasawarsa terakhir, dunia seni, khususnya perfilman, di Indonesia diwarnai dengan hadirnya praktisi film, baik sutradara maupun pemain, yang berlatar belakang etnik Tiongha. Selain itu, cerita berlatar belakang kehidupan orang Tionghoa pun turut mewarnai dunia perfilman kita. “Cek Toko Sebelah” dan “Ngenest” hanyalah dua contoh dari berbagai film yang menampilkan kehidupan orang Tionghoa. Di tengah meningkatnya partisipasi dan representasi Tionghoa dalam film dan bentuk-bentuk lain dari budaya populer di negeri ini, pertanyaan mengenai sejak kapan dan bagaimana perkembangan partisipasi dan representasi mereka itu menjadi menarik untuk diajukan. Artikel singkat ini mencoba untuk memberikan jawaban tahap awal bagi pertanyaan di atas.

Kehadiran orang-orang Tionghoa Indonesia dan representasi budayanya dalam dunia seni dan budaya populer di tanah air dapat ditelusuri kembali hingga ke periode kolonial Belanda. Studi yang dilakukan oleh beberapa sarjana Barat, misalnya Matthew Isaac Cohen dan Van Till, menunjukan partisipasi orang Tionghoa baik dalam perkembangan Komedi Stambul pada akhir abad ke-19 dan perkembangan seni lenong yang mulai populer pada awal abad ke-20.1  Namun orang-orang Tionghoa bukan hanya berpartisipasi dalam pengembangan budaya di atas. Kisah mengenai kehidupan mereka juga seringkali diangkat dalam berbagai bentuk budaya populer. Salah satu contoh yang terkenal di kalangan peminat kesusasteraan adalah novel Bunga Roos dari Tjikembang karangan Kwee Tek Hoay yang terbit pada 1927.  Novel tersebut mengangkat kehidupan seorang pria Tionghoa pemilik perkebunan bernama Oh Ai Tjeng yang jatuh cinta pada seorang wanita Sunda bernama Marsiti. Tapi mereka tidak bisa menikah karena Ai Tjeng sudah ditunangkan dengan wanita sesama Tionghoa bernama Gwat Nio. Novel ini memotret dengan cukup detail fenomena hubungan asmara pria Tionghoa dan wanita pribumi yang banyak terjadi pada masa itu. Karena perbedaan agama, budaya dan status sosial dan ekonomi, banyak pasangan seperti ini yang tidak bisa menikah. Maka dalam situasi seperti ini, wanita pribumi banyak menjadi nyai, alias pasangan hidup tidak resmi yang tinggal serumah. Sementara itu, seiring dengan diperkenalkannya film dalam masyarakat Indonesia, dinamisme kehidupan orang-orang Tionghoa pun diangkat menjadi cerita dalam film film tersebut. Sebuah film besutan Wong bersaudara berjudul “Lily van Java” yang diluncurkan pada 1928 adalah salah satu contohnya. Film ini, yang juga dikenal sebagai “Melatie van Java”, bercerita tentang seorang gadis dari keluarga Tionghoa yang dipaksa menikah dengan pria pilihan orang tuanya.

Memasuki masa-masa awal kemerdekaan Indonesia, kehidupan masyarakat Tionghoa di Indoensia banyak dipengaruhi oleh perseteruan politik yang berlangsung di “negeri leluhur” mereka, tepatnya perseteruan antara kaum komunis yang sejak tahun 1949 berkuasa di Tiongkok dan kaum nasionalis yang mengungsi ke Taiwan. Kedua kubu di atas berupaya merebut simpati masyarakat Tionghoa yang belum semuanya memutuskan menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Sebagai akibat dari perseteruan kedua kubu di atas, sekolah-sekolah Tionghoa, yang berbahasa pengantar Mandarin, terbagi menjadi dua, yaitu pendukung Tiongkok dan pendukung Taiwan. Kedua kubu tersebut pun menyusupkan mata-mata ke sekolah-sekolah tersebut untuk mengawasi materi ajar dan berbagai pementasan seni. Menurut Taomo Zhou dalam bukunya yang berjudu Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnik Tionghoa 1945-1967(2019), pementasan seni sekolah-sekolah itu terkadang mengangkat kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia, tapi nilai moralnya harus sesuai dengan idelogi yang dianut sekolah. 2

Sementara itu, dalam dunia seni dan hiburan pada skala nasional, tak sedikit orang-orang Tionghoa Indonesia berpartisipasi aktif di sepanjang dua dasawarsa sejak kemerdekaan Indonesia. Mereka berada di antara para aktor, sutradara dan penulis yang menyumbangkan karya-karya terbaiknya bagi Indonesia. Sebut saja Fifi Young, aktris blasteran Prancis dan Tionghoa yang terlahir dengan nama Tan Kim Nio di Aceh pada 1915. Fifi Young yang kemudian menjadi  pemenang piala Citra pertama pada 1955 bersuamikan Njoo Cheong Seng yang berprofesi sebagai sutradara. Duo ini menghasilkan film-film berkualitas tinggi seperti “Air Mata Iboe” (1941) dan “Jembatan Merah” (1973.)3 Di panggung lawak, siapa yang tidak kenal dengan group legendaris Srimulat yang didirikan Teguh Slamet Rahardjo. Beliau terlahir sebagai Kho Tjien Tiong di Klaten pada 1926. Pada tahun 1950, dia mendirikan Srimulat, sebuah group lawak yang mencapai puncak kejayaan di tahun 1980-an dan 1990-an ketika “Aneka Ria Srimulat” ditayangkan di TVRI setiap hari Minggu. 4

Selain di dunia seni panggung dan film, orang-orang Tionghoa juga turut memberikan sumbangsih di dunia kesusastraan. Di antara orang-orang Tionghoa yang menggeluti dunia penulisan novel, terdapat nama Marga T atau Marga Tjoa. Penulis kelahiran tahun 1943 itu mulai aktif menulis sejak usia remaja. Pada 1964, karya pertama Marga T yang berjudul “Kamar 27” dimuat di harian “Warta Bhakti,” sebuah media cetak yang sebelumnya bernama “Sin Po”, koran yang menargetkan masyarakat etnis Tionghoa, berbahasa Melayu dan terbit pada 1910.  Sedangkan buku pertama yang ditulis oleh Marga T adalah kumpulan cerita anak-anak berjudul Rumahku adalah Istanaku, yang diterbitkan pada 1969. Meski telah menulis pada dasawarsa 1960-an, nama Marga T baru melambung setelah menerbitkan cerita bersambung berjudul “Karmila” pada 1971.

Era Orde Baru dimulai dengan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan tertinggi Indonesia pada 1966, tak lama setelah terjadinya kudeta 1965 yang dirancang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Kecurigaan Suharto dan elit pemerintah Orde Baru lainnya terhadap keterlibatan Tiongkok dalam kudeta PKI yang gagal menyebabkan meruncingnya hubungan antara Indonesia dan Tiongkok, yang mencapai titik terendah dengan dibekukannya hubungan diplomatik kedua negara pada 1967. Namun pembekuan hubungan diplomatik itu tidak meredakan kekhawatiran elit Orde Baru terhadap ancaman dari Tiongkok. Kekhawatiran tersebut mengakibatkan pemerintah Orde Baru menerapkan seperangkat peraturan yang diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa. Berbagai peraturan tersebut, mulai dari penutupan sekolah-sekolah Tionghoa, pers Tionghoa, organisasi Tionghoa, anjuran pergantian nama, dan larangan ekspresi budaya Tionghoa di ruang publik, berakibat pada hilangnya identitas Tionghoa pada wilayah publik di Indonesia. 

Seiring dengan terkikisnya identitas Tionghoa pada wilayah publik, representasi mereka dalam dunia seni dan budaya populer pun dapat dikatakan lenyap. Satu dari sedikit sekali representasi etnis Tionghoa di media Indonesia dapat ditemui dari film komedi “Apanya Dong” (1983) yang dibintangi Titiek Puspa dan Aom Kusman. Namun tentu saja, etnis Tionghoa di film tersebut tidak digambarkan sebagai etnis Tionghoa pada zaman tersebut, melainkan etnis Tionghoa pada masa kolonial jika ditilik dari kostum para pemerannya dan lokasi shooting yang kebanyakan di rumah atau gedung tua.

Meski demikian, di masa Orde Baru keberadaan para pesohor keturunan Tionghoa di bidang seni dan budaya populer tak sepenuhnya lenyap. Sebut saja model Marcellino, penyanyi cilik Agnes Monica, dan juga Tina Toon yang menjadi terkenal di tahun 1990-an, dasawarsa terakhir Orde Baru. Namun sama seperti para pendahulunya di masa Orde Lama dan awal Orde Baru, mereka tidak menampakkan identitas Tionghoa mereka.

Seiring dengan berakhirnya periode Orde Baru pada Mei 1998, orang-orang Tionghoa kembali memperoleh kebebasan untuk menampilkan identitas dan budaya mereka di wilayah publik di Indonesia. Bersamaan dengan itu, representasi Tionghoa dalam budaya populer pun kembali hadir. Yang menarik, salah satu di antara karya pertama yang memunculkan representasi etnik Tionghoa adalah sebuah novel yang ditulis oleh budayawan non Tionghoa, Remy Sylado. Tepatnya pada Maret 1999, novel Ca Bau Kan: Hanya Sebuah Dosa karangan penulis tersebut di atas terbit. Meski bukan berdarah Tionghoa, Remy Sylado dapat dengan secara detail menggambarkan kehidupan warga Tionghoa selama enam dasawarsa di novel tersebut, yaitu dari dasawarsa 1930-an sampai 1990-an lewat tokoh utama  Tan Peng Liang dan anaknya yang bernama Tan Giok Lan.

          Bertepatan pada perayaan Imlek tahun 2002, karya Remy Sylado di atas diangkat menjadi sebuah film berjudul “Ca Bau Kan” yang dibintangi Lola Amaria dan aktor berdarah Tionghoa Ferry Salim. Film yang disutradarai Nia Dinata itu laku keras, dan bahkan masuk seleksi untuk nominasi kategori Best Foreign Language Film di ajang Academy Awards di tahun 2003.5  Namun tentu saja “Ca Bao Kan”  bukanlah satu-satunya film di era reformasi ini yang mengangkat kehidupan etnik Tionghoa. Setelah munculnya film tersebut, masih terdapat banyak film-film lain yang mengangkat tema etnis Tionghoa. Dalam dasawarsa yang sama dengan “Ca Bau Kan”, terdapat film “The Photograph” (2007), “Karma” (2008) dan “Cin(t)a” (2009). Namun film-film bertema Tionghoa baru benar-benar menjadi hit ketika stand-up comedian Ernest Prakasa mencoba mengangkat pengalaman hidupnya sendiri sebagai seorang Tionghoa dalam film “Ngenest” (2015). Film tersebut, yang didasari novel karya Ernest sendiri berjudul sama, berhasil meraih 785.786 penonton dan menjadi film terlaris keenam di tahun tersebut.6 Dua tahun kemudian, Ernest meluncurkan film berjudul “Cek Toko Sebelah” yang juga mengangkat hal-hal yang jamak terjadi dalam kehidupan etnis Tionghoa. “Cek Toko Sebelah” mendulang untung yang jauh lebih besar daripada “Ngenest” dengan jumlah penonton mencapai dua juta orang hanya dalam waktu 19 hari sejak mulai tayang.7 Begitu larisnya film yang bertabur bintang-bintang etnis Tionghoa seperti Dion Wiyoko dan Chew Kin Wah, sehingga Ernest Prakasa menghadirkan “Cek Toko Sebelah The Series” yang mulai ditayangkan perdana di layanan video-streaming Hooq pada Desember 2018. Tidak cukup sampai di “Cek Toko Sebelah The Series” yang tayang hingga tiga musim, film “Cek Toko Sebelah” pun ada pula sambungannya yaitu “Cek Toko Sebelah 2” yang diluncurkan pada Desember 2022.8

Sketsa singkat mengenai partisipasi dan representasi Tionghoa dalam budaya populer, khususnya dalam dunia seni, hiburan, dan bahkan kesusasteraan yang penulis tampilkan dalam artikel singkat ini memperlihatkan beberapa hal penting bagi pemahaman mengenai orang-orang Tionghoa sebagai bagian utuh dari bangsa Indonesia. Pertama, sketsa di atas memperlihatkan bahwa sekurang-kurangnya dalam periode lebih dari satu abad, orang-orang Tionghoa telah memberikan kontribusi bagi dunia seni, hiburan, dan bahkan kesusasteraan di Indonesia. Kedua, bahkan ketika identitas dan budaya mereka tidak diperkenankan untuk tampil di hadapan publik, khususnya pada periode Orde Baru, orang-orang Tionghoa tetap memainkan perannya dalam mendukung dan memberikan kontribusi bagi budaya populer di Indonesia. Ketiga, seiring dengan kembalinya kebebasan bagi Tionghoa untuk mengekspresikan identitas dan budaya mereka di muka umum, baik kontribusi maupun representasi mereka semakin intens dalam masyarakat. Dan yang terakhir, kembalinya kontribusi dan representasi orang Tionghoa dalam masyarakat memperlihatkan pula sebuah penerimaan yang hangat dari masyarakat Indonesia, termasuk dari kalangan non Tionghoa. Kiranya penerimaan dari seluruh komponen bangsa itu meningkatkan semangat orang-orang Tionghoa untuk berkontribusi bagi masyarakat Indonesia, bukan hanya dalam bidang seni, hiburan, dan kesusasteraan, tetapi juga dalam bidang-bidang yang lain.

Referensi


  1. Johanes Herlijanto, “Kontribusi Tionghoa pada Masyarakat Indonesia di Sepanjang Sejarah,” dapat diunduh pada https://forumsinologi.id/kontribusi-tionghoa-pada-masyarakat-indonesia-di-sepanjang-sejarah/, diakses 30 Agustus 2023
  2. Taomo Zhou, “Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia, Tiongkok dan Etnis Tionghoa, 1945-1967”, editor Patricius Cahanar, Penerbit Buku Kompas, 2019
  3. Elizabeth Chandra, “Fantasizing Chinese/Indonesian Hero: Njoo Cheong Seng and Gagaklodra Series”, Persee Paris, 2011, p. 83-113
  4. Rizal Amril Yahya, “Anggota Srimulat: Sejarah, Nama Pendiri dan Karirnya,” Tirto.id, https://tirto.id/anggota-srimulat-sejarah-nama-pendiri-dan-kariernya-gsjC, diakses 22 Januari 2023
  5. “Garin: Prestasi ‘Ca Bau Kan’ Prestasi Tersendiri”, liputan6.com, https://www.liputan6.com/news/read/47520/garin-prestasi-ampquotca-bau-kanampquot-prestasi-tersendiri, diakses 27 Agustus 2023
  6. Ria Theresia Situmorang, “Ernest Prakasa, Si Pencetak Lima Film Box Office Indonesia”, bisnis.com, https://lifestyle.bisnis.com/read/20190621/254/936230/ernest-prakasa-si-pencetak-5-film-box-office-indonesia#:~:text= Ngenest%20%2D%202015&text=Dikutip%20dari%20filmindonesia.or.id, film%20Indonesia%20terlaris%20tahun%20tersebut., diakses 28 Agustus 2023
  7. Rizky Aditya Saputra, “‘Cek Toko Sebelah’ Raih Dua Juta Penonton, Sutradara Kaget”, liputan6.com,https://www.liputan6.com/showbiz/read/2828836/cek-toko-sebelah-raih-2-juta-penonton-sutradara-kaget, diakses 28 Agustus 2023
  8. “Ini Timeline ‘Cek Toko Sebelah 2’ Dengan Film dan Serialnya’, Cineverse.id, https://cineverse.id/ini-timeline-cek-toko-sebelah-2-dengan-film-serialnya/, diakses 28 Agustus 2023

Isyana Adriani adalah alumni Universitas Indonesia dan The University of Auckland. Saat ini bekerja sebagai dosen Hubungan Internasional di President University, Cikarang, Jawa Barat.
Glenn Wijaya adalah alumni Universitas Pelita Harapan dan Tsinghua University. Saat ini bekerja sebagai associate di Christian Teo & Partners.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *