Kontekstualisasi Etnis Tionghoa di Indonesia

Kontekstualisasi Etnis Tionghoa di Indonesia

Kawasan petak sembilan di Glodok, Jakarta yang memiliki banyak penjual menjajakan peralatan untuk merayakan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh, Rabu (5/2/2020).(kompas.com / Nabilla Ramadhian)
Kawasan petak sembilan di Glodok, Jakarta yang memiliki banyak penjual menjajakan peralatan untuk merayakan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh, Rabu (5/2/2020).(kompas.com / Nabilla Ramadhian)

Sejak masuknya orang-orang Tiongkok ke Indonesia, menurut sejarawan Tionghoa bernama Didi Kwartanada, yakni pada abad ke-5 M, orang-orang Tiongkok tersebut sudah mulai membaur dengan orang-orang lokal yang ada di Nusantara (sebab kala itu nama Indonesia masih belum muncul) dengan cara berdagang. Bahkan, orang-orang Tiongkok tersebut juga berasal dari negeri-negeri sekitar maupun serumpun dengan Tiongkok, seperti Mongol dan Vietnam, yang berkeliling untuk berdagang di daerah Asia hingga Asia Tenggara dan memilih tidak kembali ke negara asalnya sehingga mereka menetap di wilayah Nusantara.1

Tak hanya menetap untuk bertahan hidup, kedatangan orang-orang Tiongkok sejak abad ke-5 tersebut terus-menerus semakin membawa pengaruh bagi orang-orang Tiongkok yang lain untuk datang ke Nusantara. Hingga pada abad ke-15 dan ke-16, orang-orang Tiongkok yang datang ke Nusantara jumlahnya semakin banyak dan mereka segera membaur dengan kebudayaan-kebudayaan lokal yang ada di Nusantara kala itu. Bahkan, tak jarang di antara mereka terjadilah perkawinan antara pria Tiongkok dengan perempuan lokal Nusantara atau justru sebaliknya banyak perempuan dari Tiongkok yang menikah dengan pria lokal Nusantara, misalnya menjadi selir dari raja-raja Jawa. Salah satu catatan menarik bahwa orang Tiongkok yang sudah menikah atau tinggal di Nusantara merasa bahwa Nusantara adalah bagian dari diri mereka sendiri. Hal ini misalnya terjadi pada abad ke-18, tepatnya pada tahun 1740. Kala itu terjadilah peristiwa “Geger Pecinan” (atau dalam ejaan lain ada yang menulis “Geger Pacinan”), yang mana pada tahun tersebut terjadi aliansi orang-orang Tionghoa (sudah bukan lagi disebut sebagai Tiongkok karena sudah “melebur” di Nusantara, terutama pulau Jawa) dengan orang-orang Jawa di Kraton Mangkunegaran untuk melawan kompeni Belanda, yaitu Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). Perang yang dipimpin oleh seorang Tionghoa bernama Sepanjang, yang bergelar Sunan Kuning tersebut, berlangsung selama 3 tahun, yakni 1740—1743. Perang ini berawal dari pembantaian sekitar 10.000 orang Tionghoa oleh VOC di Batavia, yang kemudian menyebar hingga ke Karawang, Cirebon, pesisir pantai utara Jawa, hingga ke pedalaman Mataram.2

Ulasan Singkat Kebijakan Diaspora Terbaru Presiden Xi Jinping

Baru-baru ini, kebijakan terkait diaspora muncul di negara Republik Rakyat China (RRC). Pada bulan November 2022 yang lalu, Presiden Xi Jinping mengeluarkan beberapa kebijakan bagi orang-orang Tiongkok maupun bagi orang-orang Tionghoa yang berada di luar RRC, termasuk para perantau atau orang-orang Tionghoa di mana pun mereka berada, untuk kembali memikirkan untuk kembali lagi ke negara asalnya, yakni RRC, untuk membangun RRC agar lebih kuat daripada yang sekarang. Presiden Xi melihat bahwa jika ditotal, orang-orang Tiongkok maupun Tionghoa perantauan dapat berjumlah sekitar 60 juta jiwa dan itu bisa menjadi “satu negara tersendiri”. Bahkan, Beijing juga merayu agar pembangunan tersebut dapat dilaksanakan di bidang ekonomi, sains, dan teknologi, termasuk di bidang politik diplomasi dan kuasa lunak (soft power).3

Tentu saja, kebijakan Presiden Xi ini juga bakal berlaku bagi bagi orang-orang Tionghoa-Indonesia itu sendiri. Apa yang dilihat oleh Presiden Xi adalah bahwa orang-orang Tionghoa-Indonesia juga memiliki potensi untuk dapat dirayu dalam upaya membangun RRC tersebut. Hal ini dapat terjadi mengingat banyak pula orang-orang Tionghoa-Indonesia yang secara perekonomian memiliki kesuksesannya tersendiri.di antara Tionghoa perantauan yang ada di negara lain. Tak hanya itu, berbagai sektor lain selain perekonomian, orang-orang Tionghoa-Indonesia juga memiliki keunggulannya tersendiri. Berangkat dari situ, lantas bagaimana langkah-langkah ideal yang dapat dilakukan oleh orang-orang Tionghoa-Indonesia? Apakah hal-hal yang ditawarkan oleh Beijing tersebut dapat dengan mudah digunakan untuk merayu orang-orang Tionghoa-Indonesia tersebut?

Kontekstualisasi Etnis Tionghoa di Indonesia: Upaya Etnis Tionghoa Indonesia Menjadi Nasionalis Indonesia

Sejak mulanya orang-orang Tiongkok masuk ke Indonesia, mereka bukanlah bangsa yang kosong atau tidak memiliki pengetahuan tertentu. Hal ini dapat dibayangkan bagaimana dari negeri Tiongkok sana orang-orang Tiongkok dapat pergi berlayar dari negeri asalnya hingga bisa sampai ke negeri lain, terutama di negara-negara Asia, Asia Tenggara, maupun daerah lainnya di dunia. Tentunya, mereka sejak abad ke-5 memiliki teknologi tertentu yang sudah bisa membawa diri mereka untuk menjadi perantau di daerah lain. Hingga abad ke-15 dan seterusnya, ketika orang-orang Tiongkok datang ke Nusantara, mereka tidak segan-segan untuk memilih tinggal di Nusantara daripada kembali ke negara asalnya. Dari situlah, akhirnya orang-orang Tiongkok menetap dan tinggal di Nusantara dan menjadi Tionghoa-Nusantara.

Hingga ketika negara Indonesia merdeka, orang-orang Tionghoa yang ada di Nusantara ini juga turut mendukung dan menjaga kemerdekaan Republik Indonesia ini walaupun berbagai kebijakan telah dilalui, termasuk kebijakan diskriminatif yang dibuat dan diberlakukan oleh pemerintah kolonial. Bahkan, jika dibanding dengan etnis lain yang “bukan berasal dari Indonesia”, etnis Tionghoa memiliki pengaruh yang lebih besar dalam membangun negara Indonesia ini. Hal ini terus berlangsung ketika pemerintah Indonesia, baik sejak era Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, memiliki kebijakannya masing-masing dalam mengatur orang-orang Tionghoa maupun non-Tionghoa itu sendiri.

Sejarah mencatat, memang tejadi hal-hal yang tidak menyenangkan maupun cenderung diskriminatif, secara khusus pada era Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto terhadap orang-orang Tionghoa-Indonesia. Kala itu, orang-orang Tionghoa-Indonesia tidak boleh merayakan Imlek dan menari tarian Barongsai, berbahasa Mandarin di antara keluarga maupun kolega yang sama-sama Tionghoa, bahkan tidak boleh ada yang menggunakan nama Mandarin sehingga banyak yang mengganti nama dari nama Mandarin menjadi “nama Indonesia” atau “nama Jawa”. Kendati demikian, orang-orang Tionghoa-Indonesia memilih tetap untuk mengikuti dan bertahan hidup dalam kondisi seperti itu juga.

Untuk menanggapi tawaran dan rayuan Presiden Xi Jinping di atas, bersamaan dengan kondisi orang-orang Tionghoa-Indonesia di Indonesia yang mengalami pasang-surutnya, hal itu tentu tidak bisa diterima begitu saja semudah membalikkan tangan. Setidaknya, etnis Tionghoa yang sudah berpisah lama dengan tanah asalnya (mainland) tentu memiliki gaya dan jalan hidup yang berbeda dengan orang Tiongkok yang masih tinggal di RRC sana. Hal inilah yang juga terjadi pada orang-orang Tionghoa-Indonesia. Walau memang ada banyak kesamaan dalam hal-hal tertentu, misalnya pada ciri fisik antara orang Tionghoa-Indonesia dan tradisi Tiongkok tertentu yang diwariskan juga di tanah rantau Indonesia. Namun di sisi yang lain, ada banyak perbedaan juga sebab tradisi yang diwariskan dari Tiongkok tidak semuanya dapat dilaksanakan dan diterapkan begitu saja di tanah rantau, salah satunya seperti di Indonesia ini.

Bagaimana orang-orang Tionghoa-Indonesia dapat bertahan hidup sampai sejauh ini di Indonesia walaupun di Indonesia mereka juga mengalami pasang-surut kebijakan-kebijakan terhadap mereka sendiri? Menurut hemat penulis, orang-orang Tionghoa-Indonesia dapat bertahan hingga saat ini adalah dengan cara hidup “kontekstualisasi”. Kata “kontekstualisasi” berasal dari bahasa Latin: con (berarti: bersama-sama) dan textere (berarti: “kejadian/teks/peristiwa”) yang secara harafiah dapat berarti mengambil bagian atau ikut serta dalam sebuah konteks. Secara sederhana pula dapat diartikan bahwa “kontekstualisasi” adalah untuk bersama-sama bergerak, membuat, dan menenun satu hal ke hal lainnya. Inilah yang akhirnya mengantar orang-orang Tionghoa-Indonesia yang awalnya mungkin masih dalam tahap akulturasi, integrasi, asimilasi, hingga “kontekstualisasi.”4

“Kontekstualisasi” orang-orang Tionghoa-Indonesia bisa jadi sampai menghasilkan kebudayaan baru yang memang hasil pertemuan dua atau lebih kebudayaan lokal dengan kebudayaan Tionghoa itu sendiri. Kebudayaan tersebut tidak hanya hadir dalam rupa satu bidang saja namun juga hadir dalam banyak bidang, misalnya di bidang kuliner banyak orang tidak menyadari bahwa kata bakwan dan bakso yang diawali dengan kata “bak-“ memiliki arti kata daging babi dalam bahasa Hokkian (salah satu dialek dalam bahasa Tionghoa). Belum lagi ketika kita makan mi, yang mana kita sekarang tinggal memilih makan mi apa dan mau rasa apa, ternyata juga berasal dari Tiongkok. Lalu ketika makan mi, kita memakai sumpit, bukan sendok dan garpu.

Mau atau tidak mau, pada akhirnya “kontekstualisasi” orang-orang Tionghoa-Indonesia mendorong agar orang-orang Tionghoa Indonesia untuk lebih nasionalis terhadap Indonesia. Secara umum, kita dapat mengingat kembali definisi dari nasionalisme adalah cinta terhadap bangsa dan negara kita sendiri, bahkan kita dianjurkan untuk juga memiliki jiwa patriotisme terhadap bangsa dan negara kita sendiri, bukan negara lain, termasuk negara RRC. Walaupun memang rata-rata orang-orang Tionghoa-Indonesia, sekali lagi, mengalami banyak sekali kebijakan diskriminatif yang terjadi di Indonesia sendiri, adalah baik bagi orang-orang Tionghoa-Indonesia untuk move on dan juga fokus membangun Indonesia ini. Hal ini disebabkan belum tentu tawaran dan rayuan dari Beijing tersebut dapat menyejahterakan orang-orang Tionghoa-Indonesia sendiri. Adalah jauh lebih baik dan menarik apabila Beijing memberikan tawaran dan kerja sama yang baik antara Indonesia dan Tiongkok agar sama-sama maju.

Di satu sisi, silakan saja antara orang-orang Tionghoa-Indonesia maupun non-Tionghoa dapat bekerja sama dengan Tiongkok di bidang bisnis, kesehatan, sains, teknologi, dan lain-lain. Akan tetapi, ketika berbicara tentang nasionalisme, patriotisme, dan loyalitas, tentu hal itu berbeda. Hal ini dapat kita lihat dan pelajari kembali di Indonesia, secara khusus penulis yang hidup di kota Surabaya, provinsi Jawa Timur, ini melihat banyak tokoh Tionghoa-Indonesia yang membangun Indonesia di bidangnya masing-masing. Misalnya di bidang kerohanian, Bapa Uskup Keuskupan Surabaya adalah Mgr. Vinsensius Sutikno Wisaksono, Pr. yang juga seorang Tionghoa dan salah satu pendiri Persatuan Islam Indonesia Tionghoa adalah Bapak Bambang Sujanto yang seorang Tionghoa-Indonesia beragama Islam. Kemudian di bidang kesenian ada seorang dalang wayang kulit Tionghoa bernama Tee Boen Liong dan dalang milenial Tionghoa bernama Jose Amadeus. Belum lagi di dunia pendidikan, salah satu yayasan pendidikan kristiani didirikan di kota Surabaya oleh gereja Tionghoa bernama  Tiong Hoa Kie Tok Kauw Hwee Khoe Hwee (THKTKH KH), yang akhirnya melahirkan Yayasan Perhimpunan dan Pengajaran Kristen Petra. Tentunya, masih banyak bidang lain yang menunjukkan bahwa orang-orang Tionghoa-Indonesia sendiri memiliki keinginan dan jiwa nasionalis untuk membangun bangsa dan negara Indonesia ini.

Siapapun kita, baik orang Tionghoa-Indonesia maupun orang non-Tionghoa-Indonesia, memiliki panggilan bersama untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Kendati memang di tengah arus seperti sekarang, yakni dengan kekuatan globalisasi dan tarik-menarik kekuatan dunia, siapa pun kita, termasuk orang Tionghoa-Indonesia, juga diharapkan dapat terus berkontribusi dalam membangun bangsa dan negara Indonesia. Jangan pernah lelah mencintai bangsa dan negara ini, sebab Indonesia akan maju jika orang-orang Indonesia, apapun sukunya, agamanya, golongannya benar-benar memiliki kecintaan terhadap bangsa dan negaranya. Merdeka!

Referensi


  1. https://www.merdeka.com/peristiwa/sejarah-kedatangan-etnis-tionghoa-di-indonesia.html
  2. https://mpn.kominfo.go.id/perpus/index.php?p=show_detail&id=14206
  3. https://www.swp-berlin.org/en/publication/chinas-diaspora-policy-under-xi-jinping
  4. https://www.etymonline.com/word/contextual?ref=etymonline_crossreference

Michael Andrew, adalah dosen Pancasila dan Kewarganegaraan di berbagai kampus swasta di Surabaya, sekaligus aktivis keberagaman di Roemah Bhinneka yang bergerak pada isu keberagaman dan kebhinnekaan.

Artikel ini merupakan versi tertulis dari makalah yang dipresentasikan penulis dalam seminar bertajuk “Seminar Kebijakan Kewarganegaraan Tiongkok dan Etnis Tionghoa di Indonesia” yang diadakan oleh FSI pada 25 Februari 2023.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *