Migran Baru dari Cina dan Tanggapan Masyarakat Indonesia

Migran Baru dari Cina dan Tanggapan Masyarakat Indonesia

Beberapa bulan yang lalu, kehadiran tenaga kerja asing dari Republik Rakyat Cina (RRC) kembali menjadi perbincangan publik di negeri kita. Isu ini mengemuka setelah seorang tokoh nasional, Letnan Jenderal (Purn.) Sutiyoso, menyampaikan keprihatinan beliau terhadap membanjirnya tenaga kerja Cina tersebut, yang menurut perkiraan beliau mencapai jumlah ratusan ribu orang. Dalam pandangan beliau, bila tenaga kerja asing asal Cina ini terus berdatangan dan terus menetap di Indonesia, maka para migran tersebut akan menjadi mayoritas di bumi Nusantara ini. Pernyataan ini kontan saja memicu perdebatan publik. Sebagian menganggap pernyataan Bang Yos, panggilan akrab Jenderal Sutiyoso, sebagai sebuah pernyataan yang mengandung rasisme. Sementara sebagian yang lain sependapat dengan statemen Sutiyoso dan mengimbau pemerintah agar lebih waspada terhadap serbuan tenaga kerja dari Negeri Panda itu.

Terlepas dari pro kontra di atas, mencuat kembalinya isu mengenai tenaga kerja asal Cina ini memperlihatkan bahwa kedatangan para pekerja dari RRC merupakan sebuah fenomena yang selalu menarik perhatian publik Indonesia. Bagaimanakah gambaran sesungguhnya dari fenomena tersebut? Sejak kapan dan mengapa fenomena di atas ditanggapi secara negatif oleh sebagian kelompok di Indonesia? Apa saja yang menjadi kekhawatiran masyarakat Indonesia terhadap hadirnya tenaga kerja Cina itu? Dan apa implikasi dari maraknya isu di atas di ranah publik bagi pemerintah Indonesia? Tulisan singkat ini mencoba untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di atas.

Fenomena Migrasi Baru dari RRC

Kedatangan para pekerja dari RRC ke berbagai negara di dunia merupakan sebuah fenomena yang termasuk dalam apa yang oleh para ahli Cina disebut sebagai migrasi baru (dalam bahasa Mandarin Xin Yimin). Dalam artikel berjudul “Migration and Trade: The Role of Overseas Chinese in Economic Relations between China and Southeast Asia,” Zhuang Guotu dan Wang Wangbo menyebut fenomena di atas sebagai gelombang keempat dari migrasi asal daratan Cina. Namun berbeda dari gelombang pertama hingga ke tiga yang berlangsung sejak abad ke 17 hingga awal abad yang lalu, para migran gelombang ke empat, yang mulai bermigrasi sejak tahun 1980-an ini, biasanya pergi ke negara-negara maju, alih-alih ke negara-negara Asia Tenggara, seperti pendahulu mereka. Meski demikian, setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, para migran dari Cina itu juga datang ke negara-negara Asia Tenggara, antara lain ke Kamboja, Singapura, dan Indonesia.

Di Indonesia sendiri, meski baru menjadi perbincangan publik kurang dari satu dasawarsa terakhir, para Xin Yimin sesungguhnya telah hadir setidaknya sejak tiga puluh tahun yang lalu. Sebagian besar dari mereka merupakan migran sementara, namun ada pula yang belakangan memutuskan untuk tinggal menetap di Indonesia.  Jumlah pendatang sementara dari RRC meningkat pada dasawarsa 2000-an awal, seiring dengan datangnya rombongan relawan guru Bahasa Mandarin yang dikirim dari RRC sejak 2004, serta masuknya ratusan pekerja dan teknisi untuk berpartisipasi dalam pembangunan Jembatan Surabaya–Madura (Suramadu).

Jumlah migran baru asal RRC di atas tidak dapat diketahui secara pasti. Sebagaimana dinyatakan oleh Ping Lin, penulis karya berjudul “Discovering the Xinyimin in Jakarta: New Chinese Migrants from the PRC,” estimasi jumlah pendatang berpaspor RRC di Indonesia pada pertengahan dekade 2000-an adalah sekitar 50 ribu orang. Jumlah ini tentu meningkat dengan tajam dalam satu dasawarsa terakhir, mengingat drastisnya peningkatan investasi dari Cina, yang masuk ke Indonesia bersama dengan para kontraktor dan tenaga kerja meraka. Lagi pula, berdasarkan hasil sebuah survey terhadap warga negara RRC di Indonesia yang dikutip oleh Ping Lin, hanya setengah dari mereka yang menjadi responden survey tersebut memiliki KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas). Sisanya tinggal di Indonesia dengan menggunakan visa wisata yang berlaku 30 hari, atau visa bisnis yang berlaku 60 hari dan dapat diperbaharui kembali. Masih menurut Ping Lin, para xinyimin tersebut diduga memiliki pola masuk, keluar, dan masuk kembali ke Indonesia. Oleh karenanya, profesor Lin berargumen bahwa jumlah migran baru asal daratan Cina sesungguhnya berada jauh di atas angka yang terdaftar. Dengan mempertimbangkan hal-hal di atas, agaknya angka 35 ribu orang yang pernah diberitakan oleh sebuah media di tahun 2020 sebagai jumlah para pekerja asal Cina di Indonesia merupakan sebuah angka yang terlalu kecil. Bisa saja angka angka tersebut merupakan jumlah mereka yang terdaftar, sedangkan jumlah sebenarnya dari para pendatang asal RRC tersebut kemungkinan besar jauh di atas angka tersebut.

sumber foto : inews.id

Tanggapan Negatif Masyarakat

Meski kedatangan xinyimin di Indonesia sudah mulai terjadi sejak tahun 1990-an, namun kehadiran mereka pada dasawarsa tersebut, serta pada dasawarsa 2000-an belum menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Sebaliknya, etos kerja para pekerja dari Cina yang pada pertengahan tahun 2000-an berpartisipasi dalam proyek pembangungan Jembatan Suramadu justru menuai pujian dan dianggap sebagai sebuah sikap yang perlu dipelajari oleh orang-orang Indonesia. Tanggapan negatif terhadap kehadiran para pekerja dari Cina tersebut baru mulai merebak kurang dari sepuluh tahun yang lalu. Pada akhir tahun 2015, tak lama setelah Cina memenangkan proyek pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta– Bandung, perbincangan tentang kehadiran para buruh migran dari negeri itu mulai merebak di Indonesia. Perbincangan mengenai topik di atas di berbagai media tampaknya sejalan dengan apa yang menjadi pikiran masyarakat Indonesia. Sebagaimana terlihat dalam sebuah survey yang dipublikasikan oleh Diego Fossati, Siwage Dharma Negara, dan Hui Yew-Foong pada tahun 2017, sebagian besar masyarakat Indonesia, atau sekitar 70 persen dari responden survey berskala nasional itu, menginginkan pembatasan terhadap masuknya tenaga kerja asing asal Cina di atas, baik dari segi jumlah maupun kualifikasi mereka.

Meski survey di atas tidak mengungkap secara detail penyebab sebagian besar masyarakat Indonesia menginginkan pembatasan terhadap arus tenaga kerja dari Cina itu, perbincangan yang penulis lakukan dengan beberapa kalangan beberapa tahun yang lalu sedikit banyak memperlihatkan keprihatinan yang mereka miliki terhadap membanjirnya migran baru tersebut. Salah satu isu yang biasanya muncul dalam perbincangan mengenai tenaga kerja asal Cina dengan beberapa tokoh masyarakat adalah dampak yang diakibatkan oleh kehadiran para pekerja asing tersebut di Indonesia. Secara khusus, mereka prihatin dengan datangnya para pekerja dengan kualifikasi yang sebenarnya dapat dimiliki oleh para pekerja setempat. Bagi para kalangan di atas, hal ini berpotensi menutup kesempatan bagi lebih banyak pekerja setempat untuk memperoleh pekerjaan pada proyek yang didanai oleh investasi dari Cina itu.

Keprihatinan kedua, yang lebih serius dari pada keprihatinan di atas, adalah kekhwatiran terhadap ancaman keamanan negara melalui para xinyimin itu. Mereka yang memiliki keprihatinan ini biasanya curiga terhadap kemungkinan hadirnya agen intelijen Cina atau personil militer yang menyamar dalam pakaian sipil. Mereka yang memiliki kecurigaan di atas biasanya tidak hanya mempermasalahkan kedatangan para pekerja kasar, tetapi justru lebih mengkhawatirkan mereka yang berada pada posisi menengah dan atas.  Keprihatinan ketiga berkaitan dengan kecurigaan bahwa Cina sengaja mengekspor warganegara mereka untuk mengurangi kepadatan populasi yang dihadapi oleh negara itu. Agaknya kecurigaan inilah yang menyebabkan sementara kalangan meyakini bahwa setidaknya sebagian dari para xinyimin akan menetap di Indonesia.

Implikasi bagi Pemerintah

Merebaknya penolakan dan kekhawatiran terhadap para pekerja dari Cina di atas penting untuk ditanggapi secara tepat oleh pemerintah. Memang, keprihatinan dan kecurigaan yang merebak di sebagian kalangan di atas belum tentu merefleksikan apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, keberadaan persepsi negatif itu sendiri sangat penting untuk dicermati mengingat, menurut sosiolog Kenneth Boulding, “it is what we think the world is like, not what it is really like, that determines our behavior.” Oleh karenanya, seperti disampaikan oleh seorang sarjana ilmu politik senior, pemerintah harus menangani isu terkait kedatangan migran dari Cina ini dengan hati-hati agar hal itu tidak berdampak bagi pemerintah Indonesia sendiri.

Johanes Herlijanto, dosen Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, Jakarta, dan ketua Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *