Tionghoa Muslim dan Akulturasi Budaya Tionghoa di Indonesia

Tionghoa Muslim dan Akulturasi Budaya Tionghoa di Indonesia

Salat Id di Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya, Senin (2/5/2022). Foto: Retha Yuniar suarasurabaya.net
Salat Id di Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya, Senin (2/5/2022). Foto: Retha Yuniar suarasurabaya.net

Era Reformasi di Indonesia, yang antara lain ditandai dengan meningkatnya iklim demokrasi di negeri ini, telah membawa banyak perubahan pada berbagai kelompok masyarakat. Orang-orang Tionghoa Indonesia adalah salah satu dari komponen bangsa yang mengalami berbagai perubahan kehidupan itu. Sejak seperempat abad terakhir, ekspresi identitas dan kebudayaan Tionghoa—yang semasa periode Orde Baru mengalami pembatasan—kini dapat dirayakan dengan bebas di ranah publik. Lebih dari itu, identitas dan kebudayaan Tionghoa kini telah menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.

Namun di tengah penerimaan yang hangat itu, masih terdapat stereotipe lama mengenai etnik Tionghoa di sebagian kalangan masyarakat Indonesia. Stereotipe yang mestinya telah dianggap usang itu pernah dicatat oleh Carl Taylor dalam sebuah publikasi yang terbit lebih dari setengah abad lalu.1 Salah satunya adalah stereotipe yang memandang Tionghoa sebagai kelompok yang berbeda dari kebanyakan orang Indonesia yang lain karena mereka memiliki tradisi keagamaan yang tidak sejalan dengan agama-agama dari sebagian besar masyarakat Indonesia.2 Stereotipe ini muncul bersamaan dengan pandangan “sekali Cina tetap Cina,” dan anggapan bahwa Tionghoa akan tetap setia pada negeri leluhur mereka.  

Keberadaan sebagian dari stereotipe di atas muncul kembali, setidaknya dalam hasil Survey National Indonesia yang dilaksanakan oleh ISEAS Yusof Ishak Institute pada 2017 yang lalu. Sebagaimana dicatat dalam laporan yang ditulis oleh Diego Fossati, Hui Yew-Foong, dan Siwage Dharma Negara, sekitar 40 persen dari responden survey masih percaya pada stereotipe bahwa Tionghoa memiliki agama dan budaya tersendiri, yang tidak memiliki kecocokan dengan budaya dan masyarakat Indonesia.3 Pada saat yang sama, 47 persen dari responden survey di atas juga percaya bahwa orang Tionghoa masih memiliki loyalitas terhadap Cina. Jumlah ini bahkan meningkat menjadi 53 persen pada survey serupa yang dilaksanakan pada tahun 2022.4

Bertahannya stereotipe-stereotipe di atas tentu tidak sejalan dengan berbagai penelitian mengenai kehidupan masyarakat Tionghoa di luar Cina yang telah dilaksanakan selama berdasawarsa. Berbagai penelitian tersebut pernah disimpulkan oleh Profesor Wang Gungwu, seorang sejarahwan yang sangat ahli dalam kajian mengenai Tionghoa perantauan. Dalam pandangan beliau, berbagai penelitian yang telah dilakukan terhadap para migran dari daratan Tiongkok menunjukan bahwa para migran tersebut—yang seringkali disebut sebagai Tionghoa Perantauan atau Perantauan Tionghoa—adalah orang-orang yang memiliki kemampuan untuk selalu berubah dan beradaptasi.5 Kemampuan untuk beradaptasi dan berubah itu tentunya juga melekat pada orang-orang Tionghoa Indonesia. Sejak mereka mendiami berbagai pulau di Nusantara, Tionghoa Indonesia telah mengalami proses perjumpaan dengan budaya lokal dan budaya-budaya lain yang mereka temui di tanah tempat mereka tinggal. Oleh karenanya, Tionghoa Indonesia telah berkembang menjadi kelompok-kelompok yang unik, yang identitas dan budayanya lebih tepat dipahami melalui konsep hibriditas, sebuah konsep yang merujuk pada sebuah kebudayaan yang mengandung aspek-aspek dari berbagai kebudayaan lain. Bahkan, terdapat budaya yang berbeda-beda antara satu kelompok etnik Tionghoa yang tinggal dan berkembang di sebuah daerah dengan mereka yang tinggal di daerah lain. Perbedaan budaya ini bisa jadi disebabkan oleh perbedaan daerah asal mereka di Tiongkok, atau oleh perbedaan sub-etnik mereka (orang-orang Tionghoa dapat dibedakan berdasarkan sub-etnik yang memiliki bahasa dan budaya yang tak sama, seperti orang Hakka, Hokkien, Tio Ciu, dan sebagainya). Namun perbedaan budaya di atas juga merupakan produk dari perjumpaan-perjumaan dengan kelompok masyarakat dan budaya lokal yang berbeda beda pula.

Kemampuan orang Tionghoa untuk berubah dan beradaptasi juga terlihat dalam ranah yang paling pribadi dalam sebuah kehidupan manusia: ranah kepercayaan dan agama. Tionghoa, yang seringkali dianggap sebagai orang-orang yang memiliki kebudayaan terpisah dari masyarakat Muslim, nyatanya seringkali memiliki interaksi yang erat dengan para penganut Islam. Denys Lombard dan Claudine Salmon, misalnya mencatat bahwa terdapat interaksi budaya antara Tionghoa dan masyarakat Muslim di Jawa pada abad 15 dan 16.6 Salmon bahkan berargumen bahwa pernah terdapat sebuah komunitas Tionghoa Muslim di Jawa Timur, setidaknya hingga penghujung abad ke-19.7 Argumen yang sama pernah pula disampaikan oleh Ma Huan, musafir asal Tiongkok yang pada abad 15 mengiringi utusan asal Dinasti Ming, Laksamana Zheng He, mengunjungi berbagai belahan dunia, termasuk wilayah Nusantara. Dalam catatannya yang berjudul Yingyai Shenglan,8 sang musafir bercerita mengenai keberadaan orang-orang Tionghoa yang memeluk agama Islam di pesisir utara pulau Jawa. Yang menarik, catatan di atas digubah berdasarkan laporan perjalanan yang berlangsung saat Jawa masih berada dalam kekuasaan kerajaan Hindu, Majapahit.

Ketertarikan Tionghoa pada Islam, yang kini merupakan agama sebagian besar masyarakat Indonesia ini, terus berlangsung hingga di era kontemporer. Buku yang ditulis oleh Dr. Hew Wai Weng, seorang pakar Tionghoa Indonesia yang saat ini mengajar di Universitas Kebangsaan Malaysia, adalah salah satu karya yang memotret kehidupan Tionghoa Indonesia yang telah memeluk agama Islam.9 Karya berjudul Chinese Ways of Being Muslims: Negotiating Ethnicity and Religiosity in Indonesia itu bercerita mengenai peran orang-orang Tionghoa yang beragama Islam dalam menyebarkan agama Islam kepada non-Muslim, dan secara bersamaan berupaya memperbaiki citra etnik Tionghoa di hadapan masyarakat Indonesia. Para Tionghoa Muslim tersebut turut memperkaya arsitektur berkarakteristik religius di Indonesia dengan membangun berbagai masjid yang masih mengandung ciri arsitektur Tionghoa. Menurut pandangan Hew, setidaknya salah satu dari masjid yang mereka bangun, berperan dalam menciptakan ruang kosmopolitan pada tataran lokal, sebuah ruang di mana orang-orang dari berbagai etnik, baik Muslim ataupun non-Muslim, berinteraksi. Hew juga menulis mengenai bagaimana para pendakwah yang berlatar belakang etnik Tionghoa turut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan yang memperlihatkan ekspresi Islam yang beragam. Melaluinya, Tionghoa Muslim melaksanakan dua upaya sekaligus: makin memopulerkan Islam yang berkarakter kosmopolitan dan lintas etnik, dan mempromosikan Tionghoa yang bersifat inklusif. Selain itu, Hew juga memaparkan bagaimana para aktivis Tionghoa Muslim turut berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik, baik formal maupun informal, dengan mengusung identitas unik mereka sebagai Tionghoa Muslim.

Partisipasi Tionghoa Muslim dalam pelbagai kegiatan kemasyarakatan di Indonesia, sebagaimana dibahas oleh Hew Wai Weng di atas, memiliki peran yang sangat penting bagi upaya memahami etnik Tionghoa di Indonesia. Pertama, Tionghoa Muslim menjadi salah satu contoh yang nyata, yang memperlihatkan betapa Tionghoa telah banyak beradaptasi dengan budaya dan masyarakat lokal. Tionghoa bukan hanya mampu mempengaruhi dan dipengaruhi oleh berbagai tradisi tempatan, namun juga bisa memeluk agama yang dianut oleh masyarakat lokal. Melalui proses adaptasi, baik dengan masyarakat setempat maupun dengan agama yang mereka anut, masyarakat Tionghoa Muslim membangun sebuah identitas yang memiliki keunikan tersendiri, yang tentunya sangat berbeda—bila bukan terpisah sama sekali—dari budaya dari orang-orang yang tinggal dan hidup di daratan Tiongkok. Kedua, seperti dipaparkan dalam karya Hew Wai Weng di atas, Tionghoa Muslim bukan hanya telah beradaptasi, tetapi juga membangun ruang bagi sebuah interaksi antarbudaya, antara orang non-Tionghoa Muslim dan Tionghoa non-Muslim. Dan yang tak kalah penting untuk digarisbawahi, berbagai aktivitas dan peran mereka yang makin marak dalam dua dasawarsa terakhir, sekali lagi memperlihatkan bahwa proses demokratisasi yang berlangsung sejak Indonesia memasuki era Reformasi telah membawa dampak positif bagi kelompok-kelompok masyarakat yang sebelumnya mengalami pembatasan untuk berekspresi. Orang-orang Tionghoa di Indonesia, termasuk masyarakat Tionghoa Muslim, adalah salah satu dari kelompok masyarakat yang mengalami perubahan nasib itu. Oleh karenanya, penting bagi mereka untuk bergandeng tangan dengan komponen-komponen bangsa yang lain demi  mempertahankan atmosfer kebebasan yang telah terbangun dan dinikmati bangsa Indonesia dalam lebih dari dua dasawarsa terakhir ini.

Referensi :

  1. Carl Taylor, “Indonesian Views of China,” Asian Survey 3(3) Maret (1963), hal. 165-172
  2. Ibid
  3. Diego Fossati, Hew Yew-Foong, dan Siwage Dharma Negara, “The Indonesia National Survey Project: Economy, Socety, and Politics,” Trends In Southeast Asia 10 (2017).
  4. Burhanuddin Muhtadi, Hui Yew-Foong, dan Siwage Dharma Negara, “The Indonesia National Survey Project 2022: Engaging with Developments in the Political, Economic and Social Spheres,” Trends In Southeast Asia 3 (2023).
  5. Wang Gungwu, “The Study of Chinese Identitites In Southeast Asia,” Changing Identites of the Southeast Asian Chinese since World War II, eds. Jennifer Cushman dan Wang Gungwu, (Hong Kong: Hongkong University Press, 1988), hal. 1-22.
  6. Denys Lombard and Claudine Salmon, “Islam and Chineseness,” Indonesia No.3 April (1993)
  7. Claudine Salmon, “Ancestral Halls, Funeral Associations, and Attempts at Resinicization in Nineteenth –Century Netherlands India,” Sojourners and Settlers: History of Southeast Asia and the Chinese, ed. Antony Reid, (Honolulu: University of Hawaii Press, 2001).
  8. Ma Huan, Ying-yai Sheng-lan: the Overall Survey of the Ocean’s Shore, ed. tr. J.V.G. Mills, (Cambridge: Cambridge University Press, 1970).
  9. Hew Wai Weng, Chinese Ways of Being Muslim: Negotiating ethnicity and religiosity in Indonesia, (Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies, 2018).


Johanes Herlijanto adalah dosen pada program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan dan ketua Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *