Imlek, Kongzili, dan Kemajemukan Komunitas Tionghoa di Indonesia

Imlek, Kongzili, dan Kemajemukan Komunitas Tionghoa di Indonesia

Anak-anak etnis Tionghoa Indonesia berdoa di sebuah Klenteng di Jakarta. Sumber: Voaindonesia
Anak-anak etnis Tionghoa Indonesia berdoa di sebuah Klenteng di Jakarta. Sumber: Voaindonesia

Setiap kali menjelang Tahun Baru Imlek, banyak orang bertanya-tanya mengapa ada tambahan tahun kongzili di belakang. Secara harfiah, kongzili (孔子历) bermakna kalender Confucius atau Konghucu karena menggunakan tahun lahir filsuf Tiongkok kuno tersebut (551 S.M.) sebagai acuan. Berdasarkan penetapan tersebut, Imlek tahun ini disebut sebagai tahun 2574. Hal itu menyiratkan salah satu perspektif yang memandang Tahun Baru Imlek sebagai hari raya keagamaan di Indonesia, yaitu agama Konghucu. Artikel pendek ini tidak akan mengulas polemik terkait Imlek sebagai hari raya agama atau budaya, melainkan akan membeberkan sejarah penggunaan kongzili yang ternyata sudah muncul di kalangan komunitas Tionghoa pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Lebih jauh lagi, pemakaian kongzili ini dapat pula dijadikan wahana untuk meneroka bagaimana dinamika etnis Tionghoa dari zaman Hindia Belanda sampai era Indonesia masa kini.

Konghucu: dari Filsuf hingga Menjadi Nabi

Pembicaraan mengenai agama Konghucu tentu saja tidak dapat dilepaskan dari dinamika komunitas Tionghoa di Indonesia. Meskipun berakar dari filsafat Tiongkok kuno, Konghucu sebagai sebuah agama seperti yang kita kenal saat ini –mengutip pernyataan peneliti senior Charles Coppel dan Leo Suryadinata– adalah agama khas yang tumbuh di Nusantara. Eksistensi agama Konghucu sejalan dengan gelombang nasionalisme Tiongkok melalui Pan-Chinese movement yang melanda Asia Tenggara pada awal abad ke-20. Meskipun demikian, para tokoh dan penganjur agama Konghucu saat itu tidak serta-merta mengadopsi konsep dan pemikiran asing tanpa mempertimbangkan kondisi masyarakat lokal.

Konghucu sejatinya mengacu pada nama filsuf Tiongkok dari era akhir Dinasti Zhou yang disebut periode Musim Semi dan Gugur (770 – 430 SM). Ia bermarga Kong (孔); seperti kebiasaan zaman itu, para pemikir mendapat gelar kehormatan 夫子fūzǐ atau 子 di belakang nama marga. Jadi, Konghucu adalah pelafalan bahasa Hokkien, bahasa daerah di Tiongkok bagian tenggara, dari master Kong (孔夫子 dalam bahasa Mandarin: Kǒng fūzǐ). Tiongkok saat itu sedang mengalami masa kemunduran karena kontrol pemerintahan Dinasti Zhou terhadap wilayahnya semakin lemah. Akibatnya, banyak negara bagian yang memerdekakan diri, bahkan peperangan di antara negara-negara tersebut sering terjadi. Pada saat yang sama, banyak filsuf bermunculan dengan berbagai latar belakang pemikiran, misalnya Taoisme, Mohisme, dan Legalisme. Mereka berkelana dari satu negara ke negara lain untuk mengajarkan buah pikiran mereka sambil mengumpulkan pengikut, dan bila beruntung, mereka dapat menjadi guru di kalangan keluarga aristokrat, atau bahkan menjadi penasihat raja.

Sejumlah warga keturunan Tionghoa memanggul sambil menggoyangkan tandu berisi kimsin (patung dewa berbadan emas) saat kirab Cap Go Meh di Tegal, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu. Sumber foto: REPUBLIKA Antara/Oky Lukmansyah

Konghucu menawarkan jalan humanisme sebagai solusi. Ia menitikberatkan pada membina hubungan baik antara sesama manusia. Setelah Konghucu wafat, pemikirannya dilanjutkan dan dikembangkan oleh para muridnya, seperti Mengzi (孟子) dan Xunzi (荀子). Aliran pemikiran ini dalam bahasa Mandarin disebut Rujia (儒家), yang secara harfiah berarti aliran para cerdik cendekia. Melalui penerjemahan para penjelajah dan misionaris Eropa, aliran tersebut dikenal sebagai konfusianisme, dengan mengabadikan nama Confucius atau Konghucu sebagai awal mula aliran atau -isme tersebut.

Berdasarkan penelitian para ahli, seperti Tay Wei Leong dan Ya-pei Kuo, gerakan sosial keagamaan yang berlandaskan ajaran Konghucu baru muncul pada akhir abad ke-19. Inisiator gerakan tersebut adalan Kang Youwei (1858–1927), seorang tokoh reformis pada masa akhir Dinasti Qing (1636–1911). Ia menggagas berdirinya Perkumpulan Agama Khonghucu (孔教会 Kǒng jiàohuì) yang memiliki banyak kemiripan dengan model hirarki dan persekutuan umat Kristen. Lebih lanjut lagi, ia juga mengusulkan agar agama ini diadopsi menjadi agama negara di Tiongkok. Di samping itu, sejarawan Yen Ching-hwang mencatat bahwa Kang Youwei dalam sejarah Tiongkok secara umum dianggap sebagai kaum reformis pertama yang menganjurkan kalender nasional berdasarkan tanggal kelahiran Konghucu ketika ia mempersembahkan sebuah memorial untuk Kaisar Guangxu (1871–1908) pada Juli 1898. Menurut penelitian Yong Chen, ide Kang Youwei tersebut kemudian direplikasi oleh sejumlah komunitas Tionghoa perantauan di luar Tiongkok, termasuk di wilayah Hindia Belanda.

Yang menarik untuk dicermati, anggapan bahwa Kang Youwei adalah satu-satunya tokoh yang pertama kali memprakarsai pemakaian kalender Konghucu (kongzili), seperti telah dikemukakan di atas, dapat dibantah. Bukti sejarah menunjukkan bahwa komunitas perantauan Tionghoa di Asia Tenggara sudah lebih dahulu mempraktikkan penggunaan kongzili di ruang publik. Yen Ching-hwang menemukan bahwa sebuah koran kaum reformis di Singapura Thien Nan Shin Pao (天南新报) sudah memakai kongzili bersama dengan kalender kekaisaran Tiongkok dalam penerbitan mereka, bahkan sejak beberapa minggu sebelum Kang Youwei menggunakannya. Hal ini diperkuat oleh temuan ahli sinologi asal Prancis, Claudine Salmon, yaitu pemakaian kongzili pada prasasti pendirian dan pemugaran klenteng, serta artikel koran di Surabaya, bahkan sejak 1884.

Ide membangkitkan kembali ajaran Konghucu menjadi gerakan sosial keagamaan yang terstruktur rapi memang berasal dari Tiongkok. Namun demikian, gaungnya justru lebih terdengar di kalangan Tionghoa perantau. Berdasarkan penelitian Billioud dan Thoraval, sejak 1912 seorang murid Kang Youwei, bernama Chen Huanzhang, berhasil mengembangkan “gereja” Konghucu hingga mencapai ratusan cabang di seluruh Tiongkok. Bahkan, usaha memasukkan Konghucu sebagai agama resmi dalam konstitusi Republik Tiongkok yang baru berdiri terus diperjuangkan sampai 1916. Akan tetapi, hal itu tidak pernah terealisasi dan kampanye anti agama pada 1920 malah menyebabkan pembubaran total “gereja” Konghucu.

Nasib yang berbeda justru dialami oleh gerakan keagamaan Konghucu di Asia Tenggara, khususnya di Hindia Belanda kala itu. Pada 1897 Hikajat Khonghoetjoe karya penulis Tionghoa Peranakan Lie Kim Hok diterbitkan di Batavia. Dalam buku tersebut, Lie memperkenalkan sosok Konghucu sebagai “junjungan suci, guru segala guru, dan orang budiman yang terutama.” Antropolog Evi Sutrisno berargumen bahwa Lie menggunakan buku tersebut sebagai medium untuk menyebarluaskan ide modern tentang subjektivitas fleksibel, kosmopolitanisme, kewargaan aktif, dan konsep pemerintahan yang baik kepada kaum Peranakan Tionghoa yang sedang mengalami diskriminasi sosial dan politik di bawah pemerintahan kolonial. Lebih lanjut lagi, Lie berusaha memberi justifikasi bahwa kesalehan dan ajaran sosok Konghucu sangat kompatibel dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan masa kini. Perubahan status Konghucu menjadi orang suci juga dapat ditemukan dalam penelitian Claudine Salmon, pada 1899 sekelompok cendekiawan dan saudagar (绅商 shen shang) di Surabaya mengubah Wenchang ci (文昌祠), yang semula ditujukan untuk pemujaan dewa kesusastraan Wenchang (文昌), menjadi Wen miao (文庙), atau Boen bio dalam bahasa Hokkien,dengan Konghucu sebagai sosok yang menempati altar utama. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk mempromosikan ajaran konfusianisme sebagai aliran keagamaan yang memiliki kedudukan setara dengan agama-agama lain. Menurut Claudine Salmon, motivasi para penganjur gerakan konfusianisme sebagai ajaran agama di Surabaya tersebut dapat dimaknai sebagai reaksi terhadap sistem kemasyarakatan kolonial yang mengagungkan golongan kulit putih. Mereka ingin menunjukkan produk budaya Tionghoa, yaitu kalender Konghucu, setara dengan kalender Masehi. Bahkan, Konghucu sebagai orang suci memiliki kedudukan yang setara dengan Yesus Kristus.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Konghucu sebagai gerakan keagamaan semakin menunjukkan ciri khasnya. Menurut Evi Sutrisno, kekhasan ini sulit dilepaskan dari pengaruh politik keagamaan di Indonesia. Misalnya, konsep Tian (天), yang di negeri asalnya mengacu pada langit, dalam agama Konghucu dimaknai sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, pakem ritual yang dipraktikkan oleh penganut Konghucu di Indonesia juga berbeda dengan aliran konfusianisme di negara lain, misalnya mengikuti kebaktian bersama setiap hari Minggu, mendengarkan khotbah dari pemuka agama, dan mendaraskan “Delapan Pengakuan Iman.” Beberapa contoh hasil penelitian di atas semakin menguatkan argumen bahwa agama Konghucu adalah agama khas bumi Nusantara. Meskipun diawali dari gerakan keagamaan di Tiongkok, agama Konghucu yang kita kenal saat ini adalah hasil kearifan lokal komunitas Tionghoa dalam merespons masalah zaman yang sedang mereka hadapi di lingkungan tempat mereka tinggal.

Pemakaian Kongzili: Polemik yang Tak Perlu Diperpanjang

Seperti telah dikemukakan di atas, penggunaan kongzili berkaitan erat dengan konfusianisme sebagai aliran agama. Setelah sempat tidak diakui sebagai agama resmi di Indonesia sejak 1979, agama Konghucu kembali menyandang status sebagai agama resmi di Indonesia pada tahun 2000. Setahun kemudian, Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur fakultatif, yang kemudian diresmikan menjadi hari libur nasional pada 2002. Seperti “tradisi” alokasi hari libur untuk semua agama resmi, Tahun Baru Imlek dikenal sebagai hari raya agama Konghucu. Oleh karenanya, sejak saat itu kongzili ditambahkan di belakang Imlek, seperti kebiasaan penganut Konghucu sejak lebih dari seabad lalu. Di samping itu, acara perayaan nasional hari raya tersebut juga diadakan setiap tahun, dengan Majelis Tinggi Agama Konghucu (Matakin) sebagai tuan rumah, dan dihadiri oleh para pejabat tinggi negara. Pengakuan negara juga dapat dilihat melalui pemberian remisi (pengurangan hukuman) bagi narapidana penganut agama Konghucu ketika Tahun Baru Imlek tiba, seperti lazimnya pemberian remisi pada saat hari raya keagamaan lainnya.

Pertanyaan mengapa Tahun Baru Imlek di Indonesia ditambahkan kongzili sering kali diajukan, baik oleh khalayak umum di dalam negeri maupun orang Tionghoa dari negara tetangga, bahkan dari Tiongkok sendiri. Hal ini sebetulnya dapat dijadikan kesempatan untuk menjelaskan dua hal terkait etnis Tionghoa di Indonesia: pertama, etnis Tionghoa di Indonesia adalah sebuah komunitas yang majemuk sehingga memiliki beragam perspektif dalam memandang Tahun Baru Imlek; kedua, sebagian masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam menafsirkan konfusianisme sehingga melahirkan agama Konghucu, yang menjadikan Tahun Baru Imlek sebagai salah satu hari besar mereka. Toh, setiap kali acara perayaan Tahun Baru Imlek nasional, meskipun diselenggarakan oleh organisasi agama Konghucu, seluruh organisasi kemasyarakatan etnis Tionghoa lintas agama dan kedaerahan turut hadir dan memeriahkan perhelatan tersebut. Ini juga menjadi pertanda bahwa komunitas etnis Tionghoa turut mengaplikasikan salah satu nilai luhur bangsa Indonesia, yaitu toleransi.

Ignatius Edhi Kharitas, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *