Mampukah Partai Komunis Cina Memadamkan Api dalam Sekam Ini?

Mampukah Partai Komunis Cina Memadamkan Api dalam Sekam Ini?

Para pemimpin Partai Komunis Tiongkok, termasuk Zhao Leji, Wang Yang, Perdana Menteri Li Keqiang, Presiden Xi Jinping, dan lainnya menghadiri upacara pembukaan Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok di Great Hall of the People Beijing. Foto: Xinhua (AP)
Para pemimpin Partai Komunis Tiongkok, termasuk Zhao Leji, Wang Yang, Perdana Menteri Li Keqiang, Presiden Xi Jinping, dan lainnya menghadiri upacara pembukaan Kongres Nasional Partai Komunis Tiongkok di Great Hall of the People Beijing. Foto: Xinhua (AP)

Fenomena besar yang menjadi perhatian dunia dewasa ini adalah “kebangkitan Cina.” Adalah suatu kenyataan bahwa kemajuan yang dicapai Republik Rakyat Cina (RRC) telah membuat dunia terkesima bercampur takjub. Bayangkan, hanya dalam waktu 30 tahun, Deng Xiaoping dan para penerusnya telah berhasil mengubah negara mereka dari sebuah negara dunia ketiga menjadi salah satu negara adikuasa. Malahan ada perkiraan, apabila perkembangan politik, ekonomi, dan militer negeri itu tetap konstan seperti sekarang ini, menjelang pertengahan abad ini, RRC akan meminggirkan Amerika dan menjadi satu-satunya negara adikuasa.

Apa resep yang dipakai para pemimpin RRC dalam mencapai kesuksesan ini? Jawaban utama atas pertanyaan tersebut telah menjadi klasik: ada partai tunggal yang berkuasa; ada pemerintah kuat dan tegas yang fokus pada pembangunan ekonomi. Sudah sejak awal abad lalu bangsa Cina memimpikan terciptanya kemakmuran dengan berbagai gerakan masyarakat untuk mencapai situasi seperti sekarang ini. Sejak Gerakan 4 Mei 1919 (五四运动 wusi yundong) mencanangkan perjuangan  untuk menciptakan negara yang “kaya dan kuat”(富强 fuqiang),mereka memimpikan adanya pemerintah “otoriter yang bijaksana.” Telah banyak gerakan pemerintah dan masyarakat untuk mendorong realisasi pemerintahan dan negara yang kuat itu. Namun, semua usaha itu selalu kandas. Sekarang, ternyata Partai Komunis Cina (PKC) yang paling tidak sudah hampir merealisasikan impian ini. Bandingkan keberhasilan RRC ini dengan situasi di negara-negara lain yang katanya menganut demokrasi namun pada kenyataannya telah berubah menjadi “democrazy,” atau berbuat “semau gue” dengan mengatasnamakan demokrasi. Orang Barat menyebut demokrasi kebablasan ini dengan ungkapan the end justifies the mean atau tujuan menghalalkan cara.

Segi menarik buat para penganut agama, komunisme adalah ideologi yang tidak mengakui adanya Tuhan YME, bahkan mengharamkan dan melarang adanya kegiatan keagamaan di negara komunis mana pun. Namun, tampaknya Tuhan malahan telah bermurah hati memberi kemudahan, yang merupakan warisan sejak zaman kuno, kepada para pemegang kekuasaan di negara itu. Pertama, semua wilayah Cina merupakan sebuah daratan yang terbentang luas. Dengan demikian, secara teoritis akan lebih mudah bagi para penguasa negeri itu untuk memerintah dan mengontrol rakyat dan sumber alam yang ada di dalamnya. Kedua, dalam susunan kependudukan, bangsa Cina boleh dikatakan merupakan bangsa yang cenderung homogen. Memang, sebagaimana dipaparkan oleh seorang penulis asal Belanda, Suku Han yang menjadi etnis mayoritas di Cina sebenarnya baru terbentuk sebagai sebuah kelompok etnis yang homogen pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, seiring dengan meningkatnya sentimen anti Dinasti Qing dan menguatnya nasionalisme di Cina. Namun sejak berdirinya RRC, bahkan sejak zaman pemerintahan nasionalis di negeri itu, Han sudah dianggap sebagai sebuah kategori etnis yang secara demografi mencakup 93% dari penduduk Cina. Dengan demikian, kaum minoritas yang terdiri atas sekitar 50 etnis lainnya, hanya berjumlah 7%. Oleh karenanya, PKC dengan mudah dapat mengatasi setiap kemungkinan gejala terjadinya kerusuhan berbau etnis. Contoh paling relevan adalah penidasan tak kenal belas kasihan terhadap kaum Muslim Uighur yang dituduh menjalankan kegiatan separatisme.

Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan sambil memegang poster dan gambar para korban selama protes terhadap tindakan brutal Cina terhadap kelompok etnis Uighur, di depan konsulat Cina di Istanbul, Turki, 30 November 2022. Sumber Foto: VOA

Walaupun demikian, keberhasilan di atas tak berarti bahwa pemerintah RRC dan PKC tidak menghadapi berbagai tantangan dan ancaman terhadap kelangsungan dan kekekalan kekuasaan mereka. Sebaliknya, mereka justru menghadapi berbagai persoalan yang mengancam kelanggengan kekuasaan mereka dari waktu ke waktu. Berbagai tantangan pada masa lalu bisa dikatakan telah dapat diatasi oleh para pemimpin generasi yang terdahulu. Tetapi, bagaimana dengan era kekinian? Tantangan apa yang dihadapi Presiden/Ketua PKC Xi Jinping dan kepemimpinan baru yang dipilihnya pada Sidang Raya PKC ke-20 pada bulan Oktober 2022 yang lalu? Tulisan ini mencoba membahas dan menjawab pertanyaan ini dengan memaparkan hasil penelusuran penulis dari berbagai bacaan yang kami gunakan sebagai referensi.

Ada seorang penulis Barat yang mengatakan bahwa para pemimpin Cina sekarang selalu dihinggapi oleh apa yang disebutnya sebagai Gorbachev syndrome yang membuat mereka tidur tidak nyenyak. Istilah itu  berarti mereka selalu khawatir akan kemungkinan munculnya seorang pemimpin di kalangan mereka yang mengubah arah dan tujuan partai/negara. Min Xinpei, seorang guru besar Ilmu Pemerintahan di sebuah perguruan tinggi di Amerika menyebut fenomena di atas sebagai Gorbachev phobia yang selalu menghantui PKC dan para pemimpinnya hingga saat ini. Namun, bila pemunculan “Gorbachev” diartikan sebagai timbulnya seorang pemimpin yang mengubah arah tujuan partai dan negara, di kalangan pimpinan Cina hal itu sebenarnya telah terjadi. Atas dasar asumsi ini, boleh dikatakan bahwa Deng Xiaoping adalah seorang “Gorbachev,” karena dialah tokoh yang membelokkan konsep dasar partai yang sangat berbau Maois, yang menetapkan “politik sebagai panglima,” menuju ke konsep “ekonomi sebagai panglima.”

Munculnya seorang “Gorbachev” itu adalah akibat dari faksionalisme yang selalu mengganggu kerukunan di kalangan pimpinan PKC. Sudah sejak era Mao PKC selalu diganggu oleh faksionalisme ini. Karena itulah, RRC pada masa Mao (1949-1976) selalu diganggu oleh berbagai kampanye politik yang digerakkan Mao. Tujuan Mao adalah untuk menyingkirkan oknum di kalangan pimpinan PKC yang berseberangan dengannya. Kampanye itu mencapai puncaknya dengan Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat(资产阶级文化大革命 zichanjieji wenhua da geming) yang berlangsung selama 10 tahun (1966—1976). Hal itu ditambah dengan fakta bahwa Mao sangat terobsesi dengan Teori Kontradiksi (矛盾论maodun lun)sehingga semua masalah yang dihadapi selalu dipandangnya dari kacamata ini.

Tampaknya, sampai kini faksionalisme belum lenyap, khususnya dalam hal persaingan untuk menduduki kepemimpinan PKC. Kejadian terakhir adalah terusirnya Hu Jintao dari Kongres PKC yang lalu secara paksa tapi halus. Banyak pengamat menduga bahwa peristiwa di atas terjadi karena sang mantan presiden sekaligus pimpinan PKC sebelum era Xi Jinping itu diperkirakan bakal menentang Xi untuk memperoleh periode ketiga kepemimpinan dan mengisi standing committee politbiro partai hanya dengan orang-orang kepercayaannya. Pasca-Mao dan Deng, rivalitas utama terjadi antara para putra pemimpin—para sinolog Barat menyebutnya princeling. Para “pangeran” itu harus bersaing, terutama menghadapi tokoh-tokoh dari kalangan Liga Pemuda, klik Shanghai, dan klik Maois. Dan yang terpenting, Xi Jinping yang berkuasa sekarang juga adalah seorang princeling.

Deng Xiaoping sangat sadar akan bahaya faksionalisme ini. Oleh karena itu, ia menggunakan upaya cerdik untuk melenyapkannya dengan menetapkan aturan seorang ketua dan presiden hanya berkuasa selama dua periode. Lagi pula, terdapat semacam kesepakatan tak resmi bahwa kepemimpinan Politbiro PKC, disebut oleh para penulis Barat sebagai standing committee, dalam setiap periode selalu diisi oleh para pemimpin senior dari berbagai faksi. Namun, dengan keberhasilan Xi Jinping menggondol periode ke-3 kepemimpinan, dia telah melanggar wasiat Deng tersebut. Dari berita-berita yang tersiar, Xi telah menunjuk orang-orang yang dekat dan setia kepadanya untuk memimpin PKC dan mengisi standing committee Politbiro. Itulah salah satu gejala bahwa faksionalisme belum lenyap. Malahan, ada kemungkinan Xi di masa depan akan mencoba mendominasi kepemimpinan lebih dari tiga periode. Jika ini terjadi, tidak terhalang kemungkinan adanya sebutan “Ketua Xi, ketua Mao baru”(习主席, 新毛主席 Xi zhuxi, xin Mao zhuxi). Dengan kata lain, faksionalisme akan selalu eksis di kalangan para pemimpin PKC.

Faksionalisme yang muncul kini bisa saja berlatarkan ambisi pribadi dan politik. Tantangan dari faksi berlatar politik bisa muncul dari kiri dan kanan. Dari kiri, misalnya datang dari penganut Maois yang berpikir bahwa perkembangan yang terjadi sekarang tidak sesuai dengan cita-cita Mao untuk menciptakan masyarakat sosialis. Sedangkan tantangan dari kanan, dapat berupa gugatan atas peran pemerintah yang kelewat kuat dalam pembangunan ekonomi. Harus diingat bahwa Cina sekarang adalah negeri kapitalis dengan pemerintah sebagai pemegang peran utama (state capitalism).

Walaupun demikian, tantangan paling kuat di masa depan sepertinya justru akan datang dari arus bawah. Seorang penulis mengatakan, dengan membelokkan setir dari “politik sebagai panglima” ke “ekonomi sebagai panglima,” PKC sebenarnya melakukan “bunuh diri.” Mengapa demikian? Jawabannya adalah karena rakyat yang sudah makmur dan dengan pendidikan tinggi akan menuntut hak-hak pribadi yang lebih besar—kalau tidak bisa dikatakan demokrasi. Ini bisa saja terjadi walapun Deng mengatakan reformasi ekonomi bukan untuk memberikan hak demokrasi kepada rakyat tetapi justru sebaliknya, adalah untuk melestarikan  kekuasaan PKC.

Pendapat ini sejalan dengan asumsi bahwa pembangunan ekonomi pada suatu titik tertentu akan bertemu dan bersanding dengan demokrasi. Contoh paling relevan untuk asumsi itu terjadi di Korea Selatan dan Taiwan. Di Korea Selatan ada Park Chung-hee dan di Taiwan ada Chiang Ching-kuo. Keduanya adalah diktator yang menindas semua bentuk oposisi, baik dari arus bawah maupun arus atas, dan hanya berfokus pada program pembangunan ekonomi. Akan tetapi, dengan terciptanya kemakmuran sebagai hasil pembangunan ekonomi, timbullah apa yang dinamakan sebagai kelas menengah. Setelah muncul di tengah masyarakat yang sudah makmur, kelas menengah inilah yang menjadi ujung tombak dalam menuntut hak-hak demokrasi. Karena kerasnya tekanan dari bawah, kedua diktator itu kemudian menerima kekalahan. Demokrasi dengan demikian bersemi dan tumbuh dengan subur dan pesat di kedua negara itu.

Peristiwa besar di Cina yang menggambarkan ketersandingan pembangunan ekonomi dengan demokrasi adalah peristiwa Tiananmen 1989. Ribuan orang—terutama anak-anak muda—berdemonstrasi menuntut “modernisasi ke-5” atau demokrasi sebagai tambahan dari konsep Empat Modernisasi (四个现代化 sige xiandaihua)yang diperkenalkan Zhou Enlai. Buntutnya adalah pembantaian di lapangan yang termasyhur ke seluruh dunia itu lantaran para pimpinan PKC tidak sudi melakukan konsiliasi.

Demonstrasi  besar- besaran yang muncul di berbagai kota besar di Cina pada November 2022 lalu bisa dikatakan sebagai kelanjutan fenomena bersandingnya pembangunan ekonomi dengan demokratisasi walaupun penyebabnya adalah lockdown yang kelewat kencang dalam mengatasi wabah Covid. Aksi protes terakhir yang diberi julukan Aksi Perlawanan Kertas Putih (白纸抗议 baizhi kangyi)itu hanya berlangsung beberapa hari tapi bisa dikatakan jauh lebih berani dan serius ketimbang demonstrasi Tiananmen 1989. Slogan kertas putih dipakai mereka sebagai protes atas pembungkaman atau sebagai simbol bahwa mereka hanya boleh menurut dan mengikuti segala hal yang diputuskan penguasa represif.

Para demonstran Tiananmen hanya menuntut demokrasi sebagai modernisasi ke-5 tanpa menyentuh posisi PKC sebagai pemegang kekuasaan walaupun secara tersamar itu bisa diartikan sebagai tuntutan untuk adanya kekuatan politik lain di samping PKC. Akan tetapi, para demonstran terakhir jauh lebih punya nyali besar ketimbang pendemo Tiananmen 1989. Mereka dengan berani meneriakkan slogan menuntut Xi Jinping “turun takhta” dan PKC mundur dari puncak kekuasaan.

Sebagai catatan terakhir, perkembangan terkini di daratan Cina ini bisa dikatakan sejalan dengan peristiwa terakhir yang terjadi di Iran. Yang menjadi penyebab adalah tewasnya seorang perempuan muda dalam tahanan polisi penjaga kesopanan karena disiksa. Wanita itu dituduh melanggar hukum karena tidak mengenakan pakaian dan tutup kepala sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah. Rakyat yang sudah merasa jenuh dengan pemerintahan Ayatollah yang mereka tuduh korup merespons peristiwa di atas dengan melakukan protes. Buat sementara, protes itu bisa diredam. Tapi, itu juga merupakan api dalam sekam atau bom waktu yang pada masa mendatang akan tumbuh menjadi kobaran atau ledakan besar yang menyebabkan kerusuhan. Sementara itu, di Rusia banyak serdadu yang melakukan desersi dan lari ke negara-negara tetangga karena tak mau membunuh bangsanya sendiri. Selain itu, banyak pula orang muda lari ke luar negeri karena tak bersedia menjalani wajib militer untuk berperang di Ukraina. Di belahan bumi yang lain, tepatnya di Afghanistan terjadi demonstrasi kaum perempuan terhadap pemerintah Taliban yang melarang mereka melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Ini juga merupakan api dalam sekam yang pada suatu saat akan menjadi gelombang api yang menggelora dan membakar penguasa. Gejala-gejala yang terjadi di Iran, Rusia, Afghanistan, dan Cina, merupakan pernyataan bahwa rakyat sudah memberi penilaian. Itulah sebuah penilaian bahwa kini bukan zamannya lagi bagi sebuah pemerintahan untuk mendasarkan diri pada otoritarianisme dan kediktatoran. Atau dengan kata lain, otoritarianisme dan kediktatoran sudah ketinggalan zaman.

Abdullah Dahana, PhD adalah Guru Besar Purnabakti pada Program Studi Cina, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (FIB UI);

Johanes Herlijanto, PhD adalah pengajar pada Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan, Jakarta. Kedua penulis adalah pendiri Forum Sinologi Indonesia (FSI), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *