Manusia Jembatan, Aksi Kertas Putih, dan Harapan Rakyat Cina akan Kebebasan

Manusia Jembatan, Aksi Kertas Putih, dan Harapan Rakyat Cina akan Kebebasan

Pengunjuk rasa yang menggantungkan dua spanduk di jembatan layang Beijing pada 13 Oktober 2022 terlihat di jembatan di tepi kiri spanduk. Foto: Screenshot Video dari Routers
Pengunjuk rasa yang menggantungkan dua spanduk di jembatan layang Beijing pada 13 Oktober 2022 terlihat di jembatan di tepi kiri spanduk. Foto: Screenshot Video dari Routers

Beberapa hari menjelang Kongres Nasional Partai Komunis Cina (PKC) ke-20, yang terselenggara pada 16—20 Oktober 2022 lalu, terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia. Tepatnya tiga hari menjelang pembukaan kongres, yaitu pada 13 Oktober 2022, seorang warga negara Republik Rakyat Cina (RRC) melakukan aksi protes dengan cara membentangkan dua buah spanduk di atas jembatan Sitong, Beijing. Pada salah satu dari spanduk tersebut, tertera kalimat, “Kami tak menginginkan tes PCR, kami ingin makan; kami tak menginginkan penguncian (lockdown), kami ingin kebebasan; kami tak menginginkan kebohongan, kami ingin kehormatan; kami tak menghendaki Revolusi Kebudayaan, kami ingin reformasi; kami tak menginginkan kepemimpinan, kami ingin pemilihan; kami tak mau jadi budak, kami mau jadi rakyat.” Sementara itu, pernyataan pada spanduk yang lain berbunyi, “Ayo mogok belajar, mogok kerja, gulingkan diktator pengkhianat negara, Xi Jinping.” Pernyataan serupa dengan tulisan pada spanduk kedua ini juga dinyatakan oleh sebuah suara yang didengungkan melalui sebuah pengeras suara. Peristiwa yang jarang terjadi dan penuh keberanian itu kontan saja menarik perhatian bagi warga Beijing dan awak media internasional. Aparat keamanan pun segera menghentikan aksi tersebut dan menangkap pelakunya.

Meski hanya berlangsung singkat, terjadinya sebuah aksi protes di pusat kekuasaan sebuah rezim yang dikenal memiliki sistem pengawasan yang ketat ini tentu menyisakan berbagai pertanyaan di kalangan para pemerhati Cina. Siapa pelaku aksi tersebut? Apa yang melatarbelakangi aksi yang ia lakukan? Apakah dampak dari aksi tersebut terhadap masyarakat Cina? Dan yang terpenting, bagaimana aksi tersebut memberi pemahaman baru mengenai Cina, khususnya kondisi sosial dan politik dari negara di bawah kepemimpinan rezim komunis tersebut.

Tak lama setelah setelah berlangsungnya peristiwa di atas, berbagai situs di dunia maya mengidentifikasikan bahwa sang demonstran adalah seorang bernama Peng Lifa. Dia juga dikenal sebagai Peng Zhaizou. Sebagaimana dilaporkan oleh sebuah majalah internasional berhalauan kiri, International Viewpoint, Peng adalah seorang peneliti fisika elektro. Masih menurut media di atas, Peng telah mengunggah sebuah tuntutan secara online beberapa hari sebelum ia melaksanakan protes di atas. Ia juga dikabarkan pernah mengunggah sebuah fileberisi strategi mobilisasi yang lengkap dan sebuah visi reformasi politik yang lebih konkrit.

Yang menarik adalah latar belakang dari protes yang dilakukan oleh Peng sangat berkaitan erat dengan keinginan Xi Jinping untuk berkuasa melampaui pembatasan periode yang telah menjadi kesepakatan dari para pendahulunya. Peng menentang keinginan Xi untuk melanggengkan kekuasaannya, yang ia anggap melewati batas dan cenderung bersifat diktator. Maka ketika di seantero Cina tidak terdengar satu suara pun menentang upaya Xi untuk tetap berkuasa setelah menjadi orang nomor satu di Cina selama satu dasawarsa, Peng dengan berani menyampaikan ajakan untuk melawan apa yang ia anggap sebagai kekuasaan tanpa batas. Ia menyerukan mobilisasi dan gerakan massa untuk menentang Xi Jinping.

Masih menurut International Viewpoint, Peng menganggap keditaktoran Xi sebagai masalah utama bagi Cina. Oleh karenanya, Peng mengajak masyarakat sipil, dari kalangan mahasiswa maupun pekerja, untuk bangkit dan melawan kekuasaan Xi, serta mendorong pemberlakukan sebuah sistem alternatif yang berdasarkan pemilihan umum. Peng juga berbagi strategi yang ia anggap tepat dalam melakukan perlawanan, antara lain dengan melakukan pemogokan—seperti yang ia tuliskan di salah satu spanduk yang dibentangkannya di jembatan Sitong—dan berbagai aksi damai lainnya, termasuk penyebaran pesan melalui media sosial serta jaringan komunikasi internal pemerintah, pengepungan kantor media yang berafiliasi dengan pemerintah dan partai, bahkan pendudukan Lapangan Tiananmen. Yang juga menarik adalah, seperti dilaporkan oleh International Viewpoint, Peng tidak menyampaikan ajakan untuk mengakhiri kekuasaan PKC, melainkan sekadar untuk membuat kepemimpinan PKC lebih demokratis.

Meski aksi Peng berlangsung hanya dalam hitungan menit, efek yang ditimbulkannya sangat besar. Melalui pemberitaan media internasional, aksi Peng tersebut disaksikan oleh masyarakat di berbagai belahan dunia. Bahkan di dalam negeri Cina sendiri, aksi Peng di atas menyebar melalui media sosial, meski dalam waktu singkat platform-platform media sosial di negeri itu mengambil langkah untuk menghentikan penyebarannya. WeChat misalnya, dikabarkan menutup sementara akun-akun yang membagikan foto-foto protes Peng tersebut. Sementara itu, beberapa hari setelah aksi di atas, netizen di Cina menggunakan tagar “saya sudah melihatnya” untuk membagi konten terkait aksi Peng di platform Weibo tanpa secara terang-terangan menyebut aksi tersebut. Menurut The Guardian, unggahan dengan tagar di atas dilihat oleh 180.000 orang sebelum akhirnya dihapus dan dianggap melanggar peraturan platform tersebut.

Di dalam negeri Cina, dampak dari aksi Peng memang sepertinya masih terbatas pada penyeberan melalui media sosial—itu pun harus dilakukan dengan hati-hati dan menggunakan berbagai strategi untuk menghindari sensor yang diterapkan oleh platform media sosial yang berada di bawah pengawasan pemerintah. Namun sebagaimana dilaporkan oleh Radio Free Asia, aksi pembangkangan dalam skala kecil telah muncul kurang dari seminggu sejak Peng menjalankan aksinya. Foto-foto yang memperlihatkan coretan-coretan atau pamflet yang ditempelkan pada dinding toilet umum di Cina menyebar di Twitter dalam pekan yang sama ketika Peng melaksanakan aksinya. Coretan dinding dan pamflet itu mendengungkan kembali tuntutan Peng, khususnya yang terkait dengan penghentian kebijakan zero Covid, dan bahkan tuntutan terhadap berakhirnya kediktatoran Xi.

Tetapi di luar Cina, aksi yang dilakukan Peng memperoleh sambutan dan simpati yang meriah, termasuk dari kalangan warga RRC di perantauan, yang tersebar di berbagai kota besar dunia. Para warga RRC, yang sebagian besar mahasiswa itu, melakukan protes. Sebuah artikel di CNN misalnya, menceritkan bagaimana seorang mahasiswi asal Cina di Universitas London membagi-bagikan tulisan yang dicetak dengan kertas A4, yang isinya seolah saduran dari pesan yang disampaikan oleh Peng di Jembatan Sitong. Ketika diwawancarai oleh media di atas, para warga RRC di perantauan itu menyatakan bahwa mereka terkejut tetapi juga tergerak oleh aksi Peng, dan merasa memiliki tanggung jawab untuk mendukung sang pelaku aksi tunggal itu.

Akhirnya, dampak yang lebih spektakuler justru terjadi di Cina, lebih dari 1 bulan sejak Peng melakukan aksi solonya. Dipicu oleh sebuah kebakaran yang menelan beberapa korban jiwa di Urumqi, ibu kota provinsi Xinjiang, massa di berbagai kota besar di Cina, termasuk Beijing dan Shanghai, melakukan aksi protes, khususnya terhadap kebijakan zero Covid yang disertai penguncian. Seolah menggemakan kembali pernyataan-pernyataan Peng, massa di berbagai kota besar Cina itu bukan hanya dengan berani menuntut berakhirnya kebijakan zero covid yang disertai penguncian, tetapi juga menuntut berakhirnya kepemimpinan Xi. Meski merespons demonstrasi tersebut dengan melakukan pengawasan ketat, Beijing juga merasa perlu untuk mempertimbangkan tuntutan berakhirnya kebijakan penguncian. Mereka melonggarkan kebijakan zero Covid, meski dengan mengemukakan berbagai alasan yang tidak berhubungan dengan adanya tuntutan dari massa tersebut.

Peristiwa yang terjadi di Cina dalam kurun waktu hampir dua bulan terakhir ini tentu sangat menarik dan penting untuk kita cermati. Pertama, rangkaian peristiwa di atas memperlihatkan bahwa meski dalam dua dasawarsa terakhir ini publik internasional, termasuk sebagian masyarakat di Indonesia, cenderung mengarahkan perhatian pada—atau bahkan kadangkala melakukan glorifikasi terhadap—fenomena kebangkitan Cina, kondisi internal RRC ternyata masih dipenuhi berbagai permasalahan yang masih belum terselesaikan. Model pemerintahan otoriter PKC yang bersifat top-down dan mengandalkan pengawasan dan tekanan terhadap warga yang berbeda pendapat dengan penguasa ternyata bukan model yang tepat untuk mengatasi berbagai persoalan yang timbul dalam masyarakat. Pernyataan Peng di Jembatan Sitong, yang digemakan ulang oleh ribuan mahasiswa dan warga RRC di dalam dan luar negeri, justru menunjukan bahwa rakyat Cina masih memiliki daftar kebutuhan yang mereka inginkan namun belum terpenuhi, termasuk kebutuhan akan kebebasan dan sistem pemerintahan yang tidak bersifat diktator. Kedua, deretan protes warga RRC yang tiba-tiba pecah dalam kurun 6 minggu itu menunjukan bahwa stabilitas yang dalam beberapa dasawarsa terakhir ini terjaga di Cina tidak serta-merta membuktikan bahwa rakyat RRC tidak memiliki ketidakpuasan terhadap rezim PKC yang berkuasa. Stabilitas itu hanya membuktikan keras dan kuatnya pengawasan dan pembungkaman terhadap suara yang berbeda dari pemerintah. Namun sebagaimana juga terlihat dari rangkaian protes pada Oktober dan November 2022 lalu, pengawasan dan pembungkaman ternyata tidak selamanya efektif. Sebaliknya, pengawasan dan pembungkaman itu malah menjadi salah satu sumber masalah yang melahirkan ketidakpuasan. Lagi pula, seberapa pun kuat dan ketatnya pengawasan dan pembatasan bersuara, rakyat Cina, khususnya generasi muda yang sangat familiar dengan teknologi dan media sosial, dapat menemukan celah untuk menyampaikan suara meraka. Berkaca dari rangkaian protes di atas, tak berlebihan bila kita memprediksi bahwa The Great Firewall, atau “dinding api besar” yang dibangun rezim komunis Cina untuk mengontrol dunia maya, akan menghadapi tantangan berupa strategi dan inovasi yang akan terus digagas oleh anak-anak muda yang menginginkan perubahan.

Akhirnya, rangkaian protes yang terjadi di dalam dan luar Cina dalam bulan Oktober dan Desember, seyogianya menjadi perhatian pula bagi sebagian masyarakat di Indonesia, termasuk publik intelektual yang menganggap model pemerintahan Cina sebagai model yang layak ditiru. Alih-alih memimpikan pemerintahan otoritarian seperti yang diterapkan PKC, kita masyarakat Indonesia justru harus mensyukuri datangnya era kebebasan dan iklim demokrasi di negeri ini sejak dua setengah dasawarsa lalu hingga hari ini, dan mempertahankan atmosfer demokrasi ini sambil menerapkan kebebasan secara bertanggung jawab.

Johanes Herlijanto adalah dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, Jakarta dan Ketua Forum Sinologi Indonesia, Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *