Hubungan China dan Rezim Taliban di Afghanistan: Antara Kepentingan Ekonomi dan Keamanan

Hubungan China dan Rezim Taliban di Afghanistan: Antara Kepentingan Ekonomi dan Keamanan

Pada awal bulan September yang lalu, Pelaksana Tugas Menteri Perdagangan dan Industri Pemerintah Interim Afghanistan, Haji Nooruddin Azizi, mengatakan bahwa terdapat harapan besar bagi kerja sama yang lebih luas antara Afganistan dengan China di berbagai bidang. Dia juga mengungkapkan bahwa Afghanistan menyambut positif dan berupaya untuk bergabung dengan Belt and Road Initiative (BRI) dan China–Pakistan Economic Corridor (CPEC). Sang menteri juga menyatakan harapannya agar perusahaan-perusahaan China dapat membantu negara itu untuk mengekstraksi mineral dengan tujuan membantu pengentasan kemiskinan.  

Pernyataan pejabat senior Afganistan di atas tidak hanya sangat menarik, tetapi juga memperlihatkan signal kedekatan antara pemerintahan Taliban dan China. Memang, sejak Taliban kembali menguasai negara Asia Tengah itu dan mendirikan rezim baru bernama Emirat Islam Afghanistan (EIA) setelah kepergian seluruh pasukan Amerika Serikat (AS) pada Agustus 2021 lalu, China menjadi salah satu dari segelintir negara yang masih mempertahankan misi diplomatiknya di sana. Meskipun China belum secara resmi mengakui EIA sebagai pemegang kekuasaan yang sah atas Afghanistan, sejak April 2022 Negeri Tirai Bambu itu telah memberikan akreditasi kepada diplomat yang ditunjuk oleh EIA, serta memperbolehkan para diplomat tersebut mengoperasikan kedutaan besar Afghanistan di Beijing.

Apa yang melatarbelakangi sikap China untuk tetap menjalin hubungan dengan Afghanistan pasca-kembalinya Taliban sebagai penguasa di negeri itu? Akankah kerja sama intensif antara China dan rezim EIA terwujud dalam waktu dekat? Peluang dan hambatan apa saja yang mempengaruhi hubungan kedua negara? Artikel ini mencoba untuk mengulas dengan singkat serangkaian pertanyaan di atas.

ilustrasi gambar hubungan China-taliban
ilustrasi gambar hubungan China-taliban, Sumber: asiatimes.com

Sejarah Interaksi China dan Taliban: Faktor Keamanan Perbatasan dan Minoritas Uyghur

Afghanistan dan China berbagi perbatasan darat sepanjang 92 km di sebuah lembah sempit bernama Wakhan Corridor, yang diapit oleh dua pegunungan: Pamir dan Hindu Kush. Di sisi China, wilayah perbatasan ini masuk dalam Daerah Otonomi Khusus Xinjiang Uyghur, yang di masa lalu menjadi bagian jejaring perdagangan Jalur Sutra. Namun di masa kini, hampir tidak ada aktivitas penting di daerah tersebut. Bahkan pos perbatasan dan bea cukai antara dua negara pun tak ada. Tidak mengherankan jika Professor Zhao Huasheng dari Institute of International Studies, Fudan University, menyebut Afghanistan memainkan peran marginal dalam diplomasi China selama periode yang cukup panjang. Kekhawatiran soal meningkatnya ancaman keamanan di Xinjiang setelah naiknya Taliban ke tampuk kekuasaan pada pertengahan 1990-an menjadi titik awal bagi munculnya perhatian China pada Afghanistan. Masih menurut Zhao, perhatian China tersebut tidak diwujudkan dengan peningkatan kedekatan hubungan kedua negara. Sebaliknya, China justru menjaga jarak dengan tidak mengakui kekuasaan Taliban dan tidak berusaha untuk menjalin hubungan dengan rezim tersebut. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kekhawatiran China bahwa Taliban akan memberikan inspirasi dan dukungan kepada gerakan separatisme di Xinjiang.

Namun demikian, hubungan informal antara China dengan rezim Taliban sebenarnya telah terjalin, meski di tengah ketiadaan hubungan diplomatik kedua negara. Seperti diungkapkan dalam penelitian Pantucci dan Petersen, sejak akhir dasawarsa 1990-an China termasuk di antara negara-negara yang menjalin interaksi dengan Taliban. Interaksi tersebut dilakukan secara informal melalui jaringan kontak China di Islamabad, Pakistan. Sejumlah ahli dari China disebut kerap kali mengunjungi wilayah Afghanistan yang dikuasai Taliban. Misi utama mereka adalah melakukan perundingan dan persuasi untuk memastikan konflik di Afghanistan tidak melebar ke China dan memastikan kelompok militan Uyghur yang sedang menyingkir ke negeri itu berada di bawah kontrol Taliban sehingga tidak menimbulkan ancaman keamanan bagi China. Menurut pengamatan mereka, jumlah milisi etnik Uyghur di sana cukup signifikan.

Pergantian rezim di Afghanistan, yang terjadi setelah Taliban dikalahkan oleh pasukan koalisi pimpinan AS pada tahun 2001, juga membawa perubahan pendekatan diplomasi China. Pada periode ini China sepenuhnya mendukung pemerintahan baru bernama Republik Islam Afganistan (RIA) di bawah pimpinan Presiden Hamid Karzai. Dukungan itu diwujudkan dalam partisipasi dalam kerja sama internasional dan multilateral untuk pembangunan, dana hibah, maupun investasi, khususnya di bidang pertambangan dan migas. Menurut analisis Professor Zhao, cetak biru hubungan diplomatik China dan Afghanistan pada masa ini didasarkan pada lima prinsip, yaitu memastikan Afghanistan sebagai negara yang merdeka dan berdaulat; mewujudkan perdamaian melalui rekonsiliasi politik; mendukung masyarakat yang progresif; memastikan Afghanistan berhubungan baik dengan negara-negara tetangga; dan menjalankan kerja sama internasional dengan PBB sebagai pemegang peran dominan.

Yang patut dicermati dalam fase ini adalah upaya China untuk selalu mengedepankan platform multilateral, bahkan dengan pihak-pihak yang biasanya berseberangan dengannya. Misalnya, pada Februari 2012 China menjadi tuan rumah dialog trilateral Afghanistan–China–Pakistan yang pertama. Selanjutnya, pada Mei 2012 Kementerian Luar Negeri China dan AS mengadakan program pelatihan bersama untuk diplomat muda Afghanistan. Kemudian, pada Juni 2012 China mengundang Afghanistan sebagai negara pengamat dalam pertemuan organisasi regional Shanghai Cooperation Organization (SCO) di Beijing, sekaligus menandatangani perjanjian bilateral kemitraan strategis. Kegiatan tersebut, menurut pengamatan Pantucci dan Petersen, adalah sinyal yang jelas bahwa China hendak meningkatkan keterlibatannya di Afghanistan. Strategi ini tampaknya sangat dipengaruhi oleh rencana AS untuk secara bertahap menarik pasukan mereka, yang telah hadir di negara itu pasca-kejatuhan Taliban. Meskipun demikian, masih menurut analisis Pantucci dan Petersen, keputusan China ini tidak sepenuhnya didukung oleh seluruh elit politik di Beijing, yang sebagian masih menginginkan China berfokus pada keamanan perbatasan saja.

Pada kenyataannya, militer AS tidak meninggalkan Afghanistan seperti yang direncanakan. Di lain pihak, ancaman keamanan oleh kelompok militan Uyghur di China justru semakin meningkat. Puncaknya, pada April 2014 Presiden China Xi Jinping mengunjungi provinsi Xinjiang untuk meredakan ketegangan di sana. Dalam pidatonya, Presiden Xi secara tegas menyatakan ada hubungan erat antara ketegangan di wilayah Afghanistan dengan Xinjiang. Untuk itu, Beijing menerapkan apa yang disebut oleh Pantucci dan Petersen sebagai “diplomasi dua kaki”. Di satu sisi, China meningkatkan intensitas kerja sama dalam berbagai bidang dengan RIA sebagai pemerintahan yang sah di Afghanistan. Di sisi lain, China juga tetap mempertahankan kontak dengan Taliban yang masih secara de facto menguasai wilayah-wilayah pedalaman yang berbatasan dengan China demi mengontrol basis kelompok militan Uyghur. Pada titik ini Beijing menyadari bahwa interaksi China dan Afghanistan, dengan atau tanpa faktor kehadiran kekuatan militer AS, akan menjadi suatu hubungan yang tidak stabil dan sukar diprediksi.

Babak Baru Hubungan China dan Taliban: Dinamika, Potensi, dan Tantangan

Kembalinya Taliban sebagai penguasa di Afghanistan tentu saja membawa perubahan bagi hubungan antara China dan Afghanistan. Pemerintahan EIA yang baru berdiri sangat berharap pada bantuan ekonomi dan pembangunan dari China. Namun demikian, sebagaimana ditulis oleh Pantucci baru-baru ini, kerja sama ekonomi antara China dan Afghanistan tampaknya masih belum dapat terwujud secara optimal. Selain masih terbatasnya perdagangan langsung antara kedua negara, perusahaan-perusahaan milik pemerintah China juga masih terkesan berhati-hati dalam menjalankan bisnis di Afghanistan mengingat dukungan infrastruktur dan sumber daya manusia lokal yang masih belum memadai. Di samping itu, masih ada faksi-faksi Taliban yang tidak percaya pada China. Beberapa di antara mereka menolak untuk mengontrol aktivitas militan Uyghur di wilayah mereka dan menaruh curiga pada keterlibatan China dalam proyek BRI di Pakistan.

Meski demikian, para analis berkeyakinan bahwa di tengah perkembangan yang kurang mulus tersebut, China akan tetap melanjutkan hubungan dengan rezim Taliban, meski tanpa memberikan pengakuan hubungan diplomatik resmi. Hubungan tersebut bertujuan untuk membuka kesempatan bagi perusahaan-perusahaan China untuk mengeksplorasi peluang bisnis baru di Afghanistan. Akan tetapi, keberlanjutan hubungan kedua negara akan sangat bergantung pada kemampuan rezim Taliban untuk menjaga stabilitas politik dan keamanan.  

Di sisi lain, seperti dilaporkan oleh VOA, naiknya Taliban dalam pucuk kepemimpinan Afghanistan tampaknya belum dapat memenuhi harapan China, dan pada level tertentu juga Pakistan, untuk dapat membendung, atau setidaknya mengontrol, aktivitas kelompok militan di wilayah itu. Salah satu contohnya adalah kemunculan Islamic State Khorasan Province (ISKP) yang menyasar kepentingan China. Selain itu, Taliban belum mampu “menjinakkan” kelompok Baloch Liberation Army (BLA), kelompok separatis etnis Balochi yang berbasis di Provinsi Balochistan, Pakistan. Bahkan, tak lama setelah Taliban menguasai Kabul, kelompok BLA malah melakukan serangan bom bunuh diri pada kendaraan yang membawa warga negara China di Gwadar, sebuah kota di mana China sedang membangun proyek pelabuhan dan jalur kereta api. Hal-hal di atas sepertinya masih menjadi pertimbangan bagi China dalam merespon permintaan Afganistan untuk bergabung dalam proyek BRI dan CPEC.

Sebagai kesimpulan, hubungan antara China dan Afghanistan, baik dengan rezim Taliban maupun RIA, didasari oleh keamanan dan ekonomi sekaligus. Masalah keamanan menjadi perhatian utama China, khususnya ketika negara itu mulai berhubungan dengan Taliban pada petengahan dekade 1990-an. China yang berkepentingan untuk mengontrol aktivitas gerakan militan Uyghur—yang secara geografis dan ideologis berdekatan dengan Taliban—merasa perlu untuk menjalin hubungan dengan penguasa negara tetangganya itu. Namun memasuki dasawarsa 2000-an, China juga mulai menggunakan jalur pembangunan dan ekonomi untuk memperkuat hubungannya dengan Afghanistan. Cara ini sedianya diharapkan mampu menjadi insentif bagi Afghanistan agar bersedia membantu mengurangi ancaman keamanan bagi China. Pada sisi lain, melalui upaya peningkatan hubungan dengan Afghanistan, China juga berharap untuk membuka peluang bisnis baru bagi perusahaan-perusahaan asal negerinya.

Namun demikian, sampai saat ini, peningkatan hubungan dalam kedua aspek di atas masih belum membuahkan hasil maksimal. Salah satu faktor penghambat terbesar adalah rezim baru Taliban masih kurang mampu menjaga stabilitas keamanan di negara tersebut. Selain itu, kurangnya kepercayaan terhadap keterlibatan China dalam pembangunan di kawasan itu, setidaknya di antara beberapa faksi Taliban, masih menjadi sebuah isu yang penting untuk diperhatikan bila kedua negara berkeinginan untuk memaksimalkan hubungan mereka.  

Ignatius Edhi Kharitas adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia.

(/FSI)

satu Respon

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *