Gus Dur Dan Chindo: Don’t Sweat Small Stuff

Gus Dur Dan Chindo: Don’t Sweat Small Stuff

Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur disebut juga sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. (Foto:Kolase Terasmedan.co)
Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur disebut juga sebagai Bapak Tionghoa Indonesia. (Foto:Kolase Terasmedan.co)

Tak ada perdebatan paling alot mengenai penyebutan suatu etnis dibanding apa yang dialami oleh kelompok etnis Tionghoa. Percakapan mengenai bagaimana sebaiknya etnis ini disebut, juga dinamai, tak hanya terjadi di level sosio kultural, tapi bahkan mengalami formalisasi dalam perundangan dan keputusan Presiden. Situasi tak stabil sejak dari penamaan ini menyebabkan kondisi tak nyaman, rasa rentan dan ketidakamanan masih konkrit adanya dalam eksistensi masyarakat Tionghoa.

Setidaknya ada tiga ketentuan resmi yang selalu ditengok kembali untuk merefleksikan dinamika kehidupan masyarakat Tionghoa. Yang pertama, pasca peristiwa 65 penguasa Orde Baru dengan Brigjen TNI Sudharmono sebagai penandatangan membuat ketetapan yang disebut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967. Surat edaran ini berisi lima substansi:

  1. Pada waktu kini masih sering terdengar pemakaian istilah “Tionghoa/Tiongkok” di samping istilah “Cina” yang secara berangsur-angsur telah mulai menjadi istilah umum dan resmi.
  2. Dilihat dari sudut nilai-nilai ethologis-politis dan etimologis-historis, maka istilah “Tionghoa/Tiongkok” mengandung nilai-nilai yang memberi asosiasi-psikopolitis yang negatif bagi rakyat Indonesia, sedang istilah “Cina” tidak lain hanya mengandung arti nama dari suatu dinasti dari mana ras Cina tersebut datang, dan bagi kita umumnya kedua istilah itupun tidak lepas dari aspek-aspek psikologis dan emosionil.
  3. Berdasarkan sejarah, maka istilah “Cina-lah yang sesungguhnya memang sejak dahulu dipakai dan kiranya istilah itu pulalah yang memang dikehendaki untuk dipergunakan oleh umumnya Rakyat Indonesia.
  4. Lepas dari aspek emosi dan tujuan politik, maka sudah sewajarnya kalau kita pergunakan pula istilah “Cina” yang sudah dipilih oleh Rakyat Indonesia umumnya.
  5. Maka untuk mencapai uniformitas dari efektivitas, begitu pula untuk menghindari dualisme di dalam peristilahan di segenap aparat Pemerintah, baik sipil maupun militer, ditingkat Pusat maupun Daerah kami harap agar istilah “Cina” tetap dipergunakan terus, sedang istilah “Tionghoa/Tiongkok ditinggalkan.

Surat tersebut sudah problematis dari mulanya karena situasi politik yang mewarnai masa itu dipenuhi sentimen negatif mengenai hubungan Indonesia-Tiongkok. Narasi mengenai keterlibatan Tiongkok dalam gerakan Partai Komunis Indonesia terus digaungkan. Di tahun yang sama Indonesia melakukan pemutusan hubungan diplomatik dengan Republik Rakyat Cina.

Lazimnya rezim Orde Baru yang menghalalkan cara-cara penyebaran ketakutan, Surat Edaran tersebut yang bertujuan melakukan penyeragaman, menjadi object of fear masyarakat etnis Tionghoa dan rakyat Indonesia secara lebih luas lagi. Ia menentukan bagaimana etnis Tionghoa diperlakukan dan mempengaruhi bagaimana masyarakat Indonesia harus berinteraksi dengannya. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina menjadi aturan yang mem-follow up Surat Edaran dengan mengatur pelarangan kegiatan tradisi peribadatan dan Indonesianisasi nama-nama Tionghoa.

Peristiwa reformasi 98 yang kemenangannya ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru menjadi babak baru kehidupan masyarakat Tionghoa. Peristiwa ini, yang akan terus menjadi ingatan kelam bagi bangsa Indonesia karena terjadi kekerasan sistematis terhadap etnis Tionghoa, juga menjadi titik balik saat Indonesia dipimpin oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Gus Dur mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000 yang mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967.

Gus Dur tak sibuk menghabiskan waktu dengan mengurusi bagaimana etnis Tionghoa sebaiknya disebut, ia secara konkrit menghapus diskriminasi dengan memberikan keleluasaan bagi masyarakat Tionghoa untuk menjalankan kegiatan kemasyarakatan. Tak hanya adat istiadat dan peribadatan, sebagai seorang pemimpin, bagi Gus Dur etnis Tionghoa adalah bagian dari bangsa Indonesia yang setara dengan etnis-etnis lainnya dan pantas mendapatkan kesempatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Per Maret 2014 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2014 yang mencabut dan menyatakan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 tidak berlaku. Dengan berlakunya Keppres tersebut, penggunaan kata Tionghoa dan Tiongkok dinormalisasi kembali.

Terlepas dari berbagai upaya negara untuk menginternalisasi kelompok etnis Tionghoa, pertanyaannya kemudian adalah apakah berbagai upaya pembakuan ini memulihkan dan memperbaiki situasi diskriminasi yang dialami oleh etnis Tionghoa? Karena muatan nilai dalam ungkapan “dasar Jawa” tentu berbeda dengan “dasar Cina”.

Setelah 24 tahun reformasi, kian banyak kalangan yang sesungguhnya tak begitu mempermasalahkan mengenai penyebutan asalkan tak bermuatan negatif, asalkan tak diperlakukan secara berbeda. “China” adalah sebutan bangsa Barat untuk mengidentifikasi negara Cina. Tiongkok merupakan peng-Indonesia-an “Zhongguo” dan Tionghoa adalah penerjemahan dari “Zhonghua”, yang berarti bangsa Cina. Tak seharusnya Indonesia terus menerus menjadi medan tarik menarik antara kekuatan Barat dan kekuatan Cina, sejak dari bahasa dan nama.

Etnisitas tak bisa menjadi pronoun seperti he/she/they, him/her/they, yang menjadi solusi atas persoalan diskriminasi gender. Tak ada solusi lain dari permasalahan diskriminasi rasial selain menerima dan mengamini proses kohesi sosial karena tak ada satu pun kelompok masyarakat yang ingin mengalami diskriminasi.

Belakangan ini merebak istilah Chindo (Chinese Indonesian) yang muncul di tengah generasi muda dan memuat keluwesan dari anak-anak muda untuk dapat eksis di tengah masyarakat. Istilah “chindo” seperti titik temu karena ia memuat semangat penerimaan akan kecinaan, keindonesiaan, dan antusiasme akan modernitas dengan menggunakan bahasa Inggris sebagai kelaziman.

Tidak mudah memang menihilkan semangat identitas dalam isu kebangsaan di saat jati diri bangsa kerap memperkuat dirinya dengan instrumen politik identitas. Akan tetapi belajar dari bagaimana diskriminasi gender mengatasi persoalan penyebutan diri, juga Gus Dur yang terkenal dengan celetukannya “gitu aja kok repot” ada baiknya kita melekatkan makna-makna positif dalam setiap kelompok masyarakat. Pertanyaannya kemudian adalah siapa yang masih problematis, masyarakat Tionghoa atau kita sebagai masyarakat yang belum benar-benar mampu menghayati peri kebangsaan?

Politik identitas di masa lalu menjadi metode dalam memecah belah bangsa, di masa kini politik identitas kerap digunakan sebagai cara untuk menerima eksistensi suatu kelompok masyarakat.  Chindo dalam hal ini tak ingin sibuk dalam debat usang antara “Cina” dan “Tionghoa”. Seperti yang dituliskan oleh sinolog terkemuka Prof. Abdullah Dahana, dalam artikel “Tentang Istilah Antara “Cina, China, Tiongkok, Tionghoa dan Cungkuo” tak seharusnya kita terus menerus terjebak dalam percakapan yang cenderung menjadi debat kusir tak berkesudahan.

Penulis adalah peneliti dan koordinator pelaksana Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *