Memorabilia Tragedi Pemerkosaan Mei 1998  Dalam Sepiring Rujak  Pare-Kecombrang

Memorabilia Tragedi Pemerkosaan Mei 1998  Dalam Sepiring Rujak  Pare-Kecombrang

 

Ada beberapa cara mengenang sebuah peristiwa sejarah guna merawat ingatan. Salah satunya adalah dengan mengabadikan melalui tanggal peringatan, mendirikan tugu peringatan, atau menciptakan ritus budaya untuk mengenang peristiwa monumental. Menolak lupa dan merawat ingatan akan sebuah tragedi sejarah sejatinya merupakan bagian dari proses memulihkan luka, sekaligus upaya mencapai rekonsiliasi  dalam sebuah masyarakat.

Pada bulan Mei tahun ini kita merayakan dua puluh empat tahun usia Reformasi. Oleh karenanya, bulan ini merupakan momentum yang tepat bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan perjalanan Reformasi dan sejarah yang melatarbelakanginya. Di samping perayaan heroisme aktor-aktor reformasi dalam usaha menumbangkan rezim Orde Baru  tragedi kemanusian terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di penghujung pemerintahan Suharto tak kalah penting untuk diperbincangkan. Mengapa? Karena peristiwa kekerasan yang dialami etnis Tionghoa Indonesia menjelang reformasi 1998 belum terekonsiliasi secara sempurna. Masih terdapat luka dan trauma yang belum pulih di kalangan komponen bangsa tersebut. Bahkan, terdapat peristiwa peristiwa yang keberadaanya masih belum memperoleh pengakuan dan malah sering dibantah. Peristiwa yang mengenaskan itu adalah pemerkosaan perempuan Tionghoa di Medan, Jakarta, Solo, dan Surabaya adalah salah satu dari peristiwa itu.

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Peristiwa Mei 1998 menemukan bahwa selama peristiwa kekerasan terhadap etnis Tionghoa antara 13-15 Mei terdapat pemerkosaan terhadap perempuan dan anak-anak Tionghoa. Hasil temuan TGPF ini dapat dibaca di website Komnas Perempuan, salah satu lembaga yang lahir di awal Reformasi. Ita Nadia, aktivis perempuan dan saksi sejarah  yang mendampingi korban perkosaan mengatakan terjalnya jalan yang dilalui penyintas, keluarga penyintas, dan aktivis untuk memperjuangkan keadilan bagi para korban. Hambatan utama untuk mendapatkan keadilan itu adalah pengingkaran dan penolakan fakta bahwa pemerkosaan perempuan Tionghoa benar-benar terjadi.

Hingga saat ini peristiwa pemerkosaan ini masih menjadi perdebatan dalam diskursus peristiwa kekerasan Mei 1998. Berbagai kelompok di negeri ini menolak fakta bahwa telah terjadi pemerkosaan terhadap perempuan Tionghoa, meskipun presiden B.J Habibie telah mengakui adanya tindakan pemerkosaan tersebut. Jika ditelisik, ada banyak penyebab sulitnya kelompok-kelompok tersebut menerima fakta di atas. Salah satunya adalah besarnya sorotan dunia internasional terhadap peristiwa pemerkosaan ini, sehingga menimbulkan bagi negara yang baru mengalami reformasi. Kesulitan mendapatkan pengakuan atas peristiwa di atas juga diakibatkan sistem hukum warisan kolonial dalam mendefinisikan pemerkosaan yang masih bias dan tidak berpihak pada korban. Dalam salah satu sesi acara bincang-bincang virtual, Ita Nadia mengatakan bahwa pemerkosaan itu nyata dan bukan fiksi. Meski mendapat ancaman teror dan dituduh penyebar kebohongan, Ita Nadia tetap setia memperjuangkan keadilan dan rekonsiliasi atas korban.

Sebagai warisan sejarah reformasi yang masih belum terselesaikan, tragedi pemerkosaan masih menjadi sebuah ganjalan yang harus dituntaskan bagi bangsa Indonesia. Untuk menyelesaikan persoalan ini dibutuhkan keberanian untuk mengingat dan menolak ingkar. Melawan lupa dan mengenang peristiwa tersebut adalah sebuah langkah berani untuk menyembuhkan luka sejarah ini. Keinginan untuk menolak lupa dan rekonsiliasi sejarah ini lah yang mendorong kelompok Perkumpulan Boen Hian Tiong di Semarang mengenang para korban melalui “Ritual Rujak Pare Sambal Kecombrang”. Berdasarkan temuan-temuan TGPF, kota Semarang tidak termasuk dalam daftar lokasi terjadinya kekerasan Mei 1998. Komunitas Tionghoa di Semarang tidak mengalami persekusi dan kekerasan sebagaimana terjadi di Solo, Surabaya, Jakarta, dan Medan. Namun, peristiwa Mei 1998 bukan hanya luka sektoral melainkan luka sejarah bagi bangsa Indonesia oleh karena itu mengenang dan menolak lupa atas tragedi tersebut juga dilakukan oleh etnis Tionghoa Semarang.

Alegori Pare-Kecombrang.

Dalam sesi wawancara dengan penulis, Harjanto Halim salah satu tokoh Tionghoa dan inisiator kegiatan di atas, mengatakan bahwa gagasan mengenang tragedi Mei 1998 sudah muncul sejak tahun 2008 ketika ada pementasan drama “Putri Cina” karya Sindhunata di Semarang. Gagasan tersebut mulai direalisasikan sejak 13 Mei 2018 dengan format ritual makan rujak pare dan sambal kecombrang. Harjanto juga menjelaskan makna simbolik dari buah pare dan bunga kecombrang. Buah pare adalah representasi dari kepahitan, sedangkan bunga kecombrang diulek di atas cobek adalah simbol perempuan Tionghoa yang diperkosa. Memakan buah pare sambal kecombrang adalah sebuah alegori. Pesan dan makna dengan sengaja dibentuk melalui tradisi yang sengaja diciptakan oleh komunitas Boen Hian Tiong, yaitu mengenang dan menolak lupa atas korban-korban pemerkosaan yang masih menunggu keadilan hingga hari ini. Gerakan menolak lupa dan mengakui kepahitan sejarah Mei 1998 yang telah dilakukan oleh Boen Hian Tiong ini adalah gerakan akar rumput yang memperjuangkan pengakuan atas peristiwa Mei 1998 untuk sebuah rekonsiliasi. Menurut Harjanto, sebagaimana menelan buah pare yang pahit namun punya khasiat menyembuhkan, begitu juga dengan upaya mengenang, dan merawat ingatan tentang peristiwa pemerkosaan Mei 1998 adalah kepahitan yang harus diterima dan diakui agar terjadi rekonsiliasi dalam kehidupan berbangsa Indonesia.

Melawan kekerasan Seksual

Dalam kegiatan ritual makan rujak pare-kecombrang tahun ini, perkumpulan Boen Hian Tiong mengangkat tema “melawan kekerasan seksual”. Pemilihan tema ini segendang seirama dengan realisasi pengesahan UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual) pada 13 April lalu. Tahun ini, ritual makan pare sambal kecombrang ini juga mendapatkan dukungan dari lembaga Komnas Perempuan, dan Ita Nadia. Peringatan tragedi Pemerkosaan Mei 1998 dibawa keluar dari narasi etnisitas, pemerkosaan adalah tragedi sejarah bersama bangsa Indonesia. Harjanto mengatakan bahwa ritual mengenang peristiwa pemerkosaan pada Mei 1998 harus dibawa pada konteks kehidupan hari ini. “Kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa Indonesia yang terjadi di masa lampau, juga masih terjadi dalam konteks hidup perempuan Indonesia hari ini, dan juga di masa mendatang dalam bentuk kejahatan yang lain, oleh karena itu kegiatan ritual makan pare-kecombrang harus selalu dikontekstualisasikan sembari mengenang para korban di masa lampau” ucap Harjanto. Ia menambahkan, kegiatan ini menjadi semacam tekanan positif bagi pemerintah Indonesia untuk mengakui dan meminta maaf kepada seluruh perempuan korban Mei 1998.

 Meskipun perjuangan atas keadilan bagi korban pemerkosaan Mei 1998 belum menemukan titik terang, namun upaya melawan kekerasan seksual, dan berpihak pada korban kekerasan seksual dalam konteks dewasa ini tetap perlu dilakukan. Mengutip tulisan Prof. Ariel Heryanto,  “pengalaman masa lalu itu dan kerja hari ini merupakan modal kita yang tersisa dan sekaligus paling mewah untuk menyusun masa depan yang hanya akan lebih baik jika ada yang bekerja memperbaikinya”. Mengenang peristiwa tragedi Mei 1998 dan menolak ingkar akan kasus pemerkosaan perempuan Tionghoa selama periode perjuangan Reformasi merupakan laku bajik untuk memperkuat makna kebangsaan Indonesia hari ini. Seperti judul tulisan diatas, memorabilia dalam sepiring rujak pare-kecombrang, masyarakat di akar rumput mengajak bangsa Indonesia dan pemerintah mengenang dan menerima kepahitan sejarah tragedi pemerkosaan perempuan Tionghoa selama Mei 1998. Untuk sebuah rekonsiliasi. Atas nama korban pemerkosaan Mei 1998.

Penulis adalah peneliti dalam Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *