Tentang Istilah Antara “Cina, China, Tiongkok, Tionghoa dan Cungkuo”

Tentang Istilah Antara “Cina, China, Tiongkok, Tionghoa dan Cungkuo”

Ada semacam kerepotan yang kita hadapi baik pada pergaulan sehari-hari, menulis, percakapan formal dan informal, maupun pada waktu menyampaikan paparan atau pidato resmi atau tak resmi. Itulah kata atau istilah yang mengacu pada sebutan untuk Tiongkok sebagai negeri dan etnis Tionghoa sebagai salah satu kelompok etnis di negeri kita. Soal itu tampaknya sederhana, tapi ternyata tak sesederhana itu.

Dalam hampir semua diskusi mengenai Tiongkok, istilah “Tiongkok”, “Cina”, dan “Tionghoa” selalu menjadi topik ulasan dan perdebatannya tak pernah usai dan seringkali berubah jadi debat kusir. Dulu istilah-istilah yang disebut pada judul tulisan ini digunakan secara bergantian tanpa makna atau maksud terselubung. Namun kini keadaannya lain. Istilah “Cina” oleh sebagian orang dianggap sebagai penghinaan baik terhadap Tiongkok sebagai negeri maupun terhadap etnis Tionghoa sebagai kelompok etnis.  Maklumlah kata “Cina” sering dihubungkan dengan kata-kata lain yang bernuansa negatif sperti “Cina loleng,” “Cina mindring” dan banyak istilah lain yang bernada menghina.

Akibatnya, kita harus berhati-hati dengan siapa kita bercakap. Siapa tahu lawan kita ngobrol tersinggung pada istilah “Cina”. Sebagai catatan, pemerintah Orde Baru dengan Edaran Presidium Kabinet Ampera tentang Masalah Cina Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967 menyampaikan imbauan agar istilah “Cina” digunakan secara umum karena itulah yang katanya benar. Surat edaran itu juga menganjurkan agar istilah “Tiongkok” dan “Tionghoa” sejak surat tersebut terbit ditinggalkan saja.

Tak jelas apa dasar surat edaran yang ditandatangani Jenderal Sudharmono, yang waktu itu menjabat Sekretaris Kabinet, tersebut. Kemungkinan besar, lantaran pemerintah Orde Baru yang yakin dan kemudian menuduh bahwa Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terlibat atau paling tidak berperan sebagai kekuatan pendorong atas terjadinya kudeta gagal G30S/PKI pada September 1965.

Tak lama setelah pemerintah Orde Baru runtuh dan reformasi dimulai, pemerintah RRT punya jalan keluar yang cukup unik. Mereka menuntut pemerintah dan publik Indonesia mulai menggunakan istilah “China” buat mengacu pada Negeri Tiongkok. Sejak itu, istilah resmi yang digunakan pemerintah Indonesia adalah “China”.  Para pembicara di seminar ataupun di media sosial tak ketinggalan menggunakan istilah “China” itu. Sebagian besar media cetak dan media dunia maya pun mulai menggunakannya. Akan tetapi, dalam percakapan dengan rekan-rekan wartawan, penulis, dosen, dan lain-lain, kita mendapat banyak masukan menarik, dan seringkali sedikit lucu, yang bisa dicatat pada tulisan ini.

Orang yang bertahan dengan istilah “Cina” punya alasan yang masuk akal. Mereka segan menggunakan “China” lantaran kata itu tidak ada dalam kosakata bahasa Indonesia. Mereka mengusulkan bagaimana kalau Komisi Istilah dari Lembaga Bahasa menetapkan istilah yang lebih mengIndonesia, misalnya “Caina”. Atau, kalau kata itu bisa tertukar dengan kata bahasa Sunda yang berarti “airnya”, pilihlah istilah lain, misalnya “Cayne” atau “Cayna”.

Lalu, ada yang mengatakan kalau ada golongan etnis Tionghoa yang keberatan disebut “Cina”, sudah ada istilah lain yang telah melembaga, yakni Tionghoa. Yang menarik lagi, ada komentar cukup unik. Katanya, “kalau ada orang Indonesia merasa tersinggung lantaran negeri mereka disebut “Indon” di Malaysia, itu masuk akal,“ ujar mereka. Tapi mereka tak habis pikir mengapa ada orang Indonesia merasa tersinggung karena Tiongkok sebagai negeri dan negara disebut Cina. Lalu, kasus yang kelihatannya sepele itu dihubungkan dengan keraguan mereka atas kesetiaan dan orientasi etnis Tionghoa terhadap Indonesia. Tapi, dalam pada itu kita juga harus mengerti mengapa sebagian kalangan etnis Tionghoa, khususnya generasi tua, keberatan dengan istilah “Cina.”  Karena di masa lalu istilah itu sering dihubungkan dengan katal-kata lain yang bersifat menghina. Contohnya :maaf—“Cina loleng,” “Cina mindring” dan panggilan negatif lainnya.

Saya punya pengalaman menarik tentang kekisruhan penggunaan istilah “Cina” dan “China” ini. Pada masa Orde Baru, saya menjadi anggota delegasi Universitas Indonesia yang diundang oleh Universitas Peking (Beida) buat mengadakan kerja sama. Ketika harus menyusun sebuah MOU yang ditandatangani kedua pihak, timbulah masalah. Sebab, sebagai universitas milik pemerintah, kami harus menggunakan istilah “Cina”. Sedangkan tuan rumah berkeras kami menggunakan kata “Tiongkok”. Karena tidak tercapai kompromi, MOU itu akhirnya disusun dengan menggunakan bahasa Inggris.

Untuk keluar dari kekisruhan istilah ini, Remy Sylado, penulis kondang, mengusulkan sebuah terobosan yang tak kurang menariknya. Di sebuah diskusi dalam rangka Borobudur Festival, bulan Oktober 2013, ia mengemukakan ide bagaimana kalau kita menggunakan istilah “Cungkuo” saja. Ini memang sejalan dengan penamaan orang Tionghoa memberi nama negeri mereka “Zhongguo” atau “Negeri di Tengah Dunia”, yang sering diterjemahkan secara bebas dengan “Pusat Kebudayaan Dunia”. Maka kita, kata Bung Remy lagi, bisa terbebas dari kontroversi istilah “Cina” dan “China”, dan semua orang akan senang.

Mendengar apa yang disampaikan Bung Remy, saya jadi teringat kepada seorang kawan yang mengajar bahasa Tionghoa di Surabaya. Ia menulis surat kepada saya, mengusulkan agar kita menyusun petisi kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengubah nama “People’s Republic of China” menjadi “People’s Republic of Zhongguo”. Itu, kata rekan tersebut, dilakukan agar kontroversi istilah “Cina” dan “China” selesai.

Ide Bung Remy dan kawan saya orang Surabaya itu memang jenius. Asalkan penggantian istilah tersebut tidak melebar ke kata-kata yang sudah melembaga di masyarakat kita. Misalnya kita tak usah menyebut “petai cungkuo” buat “petai cina”, “pecungkuoan” buat “pecinan”, atau lebih ekstrem lagi : “Pondok Cina” menjadi “Pondok Cungkuo” buat nama sebuah stasiun kereta api setelah stasiun UI ke arah Bogor. Dan “Bidara Cina” di Cawang jadi “Bidara Cungkuo”. Atau “Program Studi Cina” di Fakultas Ilmu Budaya UI dan di beberapa universitas lain, menjadi “Program Studi Cungkuo”.

Atas dasar tulisan ini, kami para penyusun buku ini mencoba mencari terobosan dengan menggunakan Istilah yang lebih umum yakni Tiongkok untuk negeri dan Tionghoa untuk mengacu ke etnis. Sebagai konsekuensi selanjutnya, kami juga menggunakan istilah “Sinologi” sebagai pengganti sebutan “Studi Cina.”  Istilah Sinologi memang berbau kuno karena Sinologi yang berasal dari istilah Sinology–mengacu ke studi tentang Tiongkok klasik yang berkembang di Barat sejak awal abad-20. Istilah yang umum dipakai di Barat sejak menjamurnya studi mengenai Tiongkok modern adalah Chinese Studies, tanpa ada muatan bernuansa negatif.

Catatan:

Artikel ini didasarkan pada sebuah kolom yang disusun penulis, dimuat dalam Majalah Berita Mingguan TEMPO, 27 Januari 2014, hal. 82, dengan beberapa perubahan dan tambahan. Untuk sejarah perkembangan Sinologi secara umum dan di Indonesia, silakan membaca artikel saya dalam buku Tionghoa dan Keindonesiaan.

Penulis adalah Dewan Pembina Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *