Refleksi Kerusuhan Mei 1998 dalam Karya Sastra Indonesia

Refleksi Kerusuhan Mei 1998 dalam Karya Sastra Indonesia

Kerusuhan Mei 1998, yang terjadi di Jakarta dan kota lain di Indonesia, merupakan salah satu memori kelam dalam sejarah kontemporer Indonesia. Selain penjarahan toko dan tempat tinggal, kekerasan serta pemerkosaan perempuan Tionghoa menimbulkan trauma yang begitu mendalam bagi komunitas etnis Tionghoa di Indonesia. Jejak kepedihan ini masih terus terekam dalam memori sosial masyarakat Indonesia, khususnya dalam komunitas Tionghoa. Memori tersebut bahkan hadir sebagai tema yang diangkat dalam film maupun kisah fiksi yang dikreasi, baik di tanah air maupun mancanegara, bertahun tahun  setelah tragedi tersebut berlalu. Tulisan singkat ini mencoba mengulas kehadiran tema mengenai Kerusuhan Mei 1998 tersebut, khususnya dalam novel-novel yang ditulis dalam dua dasawarsa terakhir.

S. Mara Gd, novelis kawakan yang biasa menulis cerita detektif dan misteri, meluncurkan  Air Mata Saudaraku pada tahun 2004. Novel ini berkisah tentang perjuangan seorang Hasan Tandoyo untuk bangkit dari trauma masa lalu. Dia adalah pengusaha muda yang harus kehilangan ibunya. Sang ibu dibunuh oleh para perusuh yang menjarah rukonya. Tidak hanya itu, si adik bungsu juga harus mengalami guncangan jiwa akibat diperkosa beberapa orang pada peristiwa yang sama.

Marga T, penulis seangkatan S. Mara Gd, yang kondang dengan karya romantis seperti Karmila dan Badai Pasti Berlalu, juga menghasilkan karya berlatar kerusuhan 1998. Novel Sekuntum Nozomi Buku Ketiga diterbitkan pertama kali pada tahun 2006, bertepatan dengan peringatan sewindu tragedi Mei ‘98. Dalam novel ini, Marga T secara jeli mengisahkan perjalanan hidup Lydia, yang meskipun bukan keturunan Tionghoa, namun turut menyaksikan dan nyaris menjadi korban pemerkosaan ketika kerusuhan terjadi. Hal yang lebih menyedihkan adalah saat Lydia mengetahui beberapa penyintas akhirnya meninggal karena tekanan batin yang mereka alami.

Dari generasi kekinian, ada penulis Afifah Afra yang merilis Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman pada akhir tahun 2013. Novel ini bertutur lewat dua sudut pandang perempuan dengan latar belakang berbeda: pertama, Mei Hwa, perempuan berdarah Tionghoa – Minahasa,  seorang mahasiswi kedokteran yang mengalami trauma akibat kehilangan banyak hal ketika peristiwa kerusuhan ’98,. Rumah keluarganya dijarah, lalu dibakar para perusuh. Dia pun harus kehilangan kehormatannya pada peristiwa itu. Ayahnya menjadi hilang ingatan, ibunya yang tak tahan menghadapi kenyataan pahit hidup ini memilih bunuh diri; yang kedua, Sekar Ayu, seorang perempuan ningrat  Jawa, yang mengalami kekerasan seksual di masa kecil karena ulah tentara Jepang. Trauma inilah yang membuatnya menjadi remaja pemberontak dan akhirnya dia ikut bergabung menjadi simpatisan Gerwani pada era ’60-an. Setelah itu, kelahiran Orde Baru yang diikuti dengan penumpasan gerakan Komunis mengakibatkan dia harus menjalani hidup sebagai tahanan politik. Sampai pada suatu saat, nasib mempertemukan keduanya. Keterpurukan dan kesuraman hidup yang mereka alami menumbuhkan sebuah persahabatan lintas-usia, lintas-etnis, yang akrab.

Semua novel di atas bergaya realis, berusaha mendesrikpsikan realita hidup senyata mungkin, serta menjalin fakta sejarah dalam bentuk cerita fiksi. Selain itu, ada juga novel yang ber-genre realisme magis, dengan menyelipkan elemen supranatural dalam narasi kehidupan sehari-hari. Misalnya, Mei Merah 1998 Ketika Arwah Berkisah karya novelis dan pegiat literasi, Naning Pranoto. Novel yang diterbitkan pada Oktober 2018 ini, bertutur dengan memakai berberapa sudut pandang tokoh. Di antaranya, tokoh utama bernama Luk-Luk, seorang anak baik dan pintar yang tumbuh dalam keluarga yang hangat. Dunia seakan runtuh ketika dia mengetahui keluarganya adalah keluarga angkat dan jati dirinya sebagai anak korban pemerkosaan.  Dia lalu memutuskan untuk mencari identitas ibu kandungnya. Perspektif lain diceritakan oleh sesosok arwah yang bertutur tentang kehidupan masa lalunya. Sebagai gadis desa yang baru menerima ajakan sang teman untuk bekerja di Jakarta, dia menaruh harapan besar untuk mendapat kehidupan yang lebih baik. Namun naas, dia justru menjadi korban perkosaaan para penjarah toko yang sedang dijaganya. Meskipun berhasil diselamatkan, dia harus membawa benih kehidupan di dalam rahimnya. Dalam situasi kalut dan suasana batin penuh trauma, dia memutuskan untuk mengakhiri hidup setelah melahirkan bayi perempuan. Dalam wasiatnya, dia berpesan agar si jabang bayi diberi nama Luk-Luk. Menurut  sang penulis, lahirnya novel ini dilatarbelakangi oleh ekses kemelut menjelang Era Reformasi Mei 1998 yang  memperjuangkan perubahan bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum yang terkungkung selama empat windu  pemerintahan Orde Baru. Bagi Naning, “novel ini juga sebagai penghargaan saya kepada perempuan yang kuat menerima satu peristiwa yang begitu kelam, namun mereka masih ingin melanjutkan hidup,” 

Novel lain yang bergaya realisme magis, adalah Putri Cina buah pena budayawan Sindhunata. Novel ini dirilis pertama kali pada tahun 2007. Narasi dalam novel ini dituturkan melalui sudut pandang jamak, dengan alur waktu yang tidak linear. Diawali dengan cerita legenda asal-muasal kehadiran etnis Tionghoa di tanah Jawa, kemudian pembaca dibawa menuju masa akhir Majapahit. Ketika seorang putri Cina diceraikan Prabu Brawijaya dalam keadaan hamil, dia harus mengembara meninggalkan kemewahan istana, di kemudian hari dia justru melahirkan trah baru penguasa Jawa. Sudut pandang lain dalam novel ini, dibawakan oleh putri Cina yang lain, bernama Giok Tien. Kecintaanya pada budaya Jawa, membuat dia aktif dalam pementasan kethoprak, serta menumbuhkan kisah asmara antara dia dengan seorang pemuda Jawa. Novel ini tidak secara spesifik mengulas Tragedi Mei 1998. Akan tetapi, peristiwa tersebut menjadi inspirasi lahirnya novel ini. Sang penulis, Sindhunata mengungkapkan, “sebagai keturunan Cina di Indonesia, saya ingin memaparkan kisah ini dalam balutan sejarah yang sebenarnya dilatarbelakangi oleh tragedi 1998 itu.” Novel ini juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Chinese Princess pada tahun 2017.

Tak hanya penulis lokal yang menulis novel dengan tema Peristiwa Mei ’98, beberapa penulis diaspora Indonesia juga turut mengangkat peristiwa ini di kancah penerbitan buku internasional. Dewi Anggraeni adalah penulis fiksi dan nonfiksi, yang tinggal bersama sebagian keluarganya di Melbourne, Australia. Sebelum pemberedelan Tempo pada 1994, Dewi adalah koresponden Tempo di Australia. Sesudah itu ia bekerja untuk Forum Keadilan dan The Jakarta Post. Pada 1998 Dewi kembali menjadi kontributor Tempo yang memulai penerbitannya lagi. Walaupun tidak mengalami sendiri peristiwa kerusuhan Mei ’98, dengan berbekal pengalamannya sebagai jurnalis, dia mulai mengumpulkan data dan fakta, serta mewawancarai pihak-pihak yang terlibat. Hasilnya, Dewi menulis novel berjudul My Pain My Country pada tahun 2017. Dalam novel ini, tokoh fiktif bernama Nina, seorang perempuan Indonesia keturunan Tionghoa yang mengalami kekerasan karena terjebak dalam kerusuhan pada saat dia ingin membantu gerakan mahasiswa. Trauma ini membawanya pada kenyataan bahwa kekerasan serupa juga dialami oleh para perempuan generasi sebelumnya. Hal inilah yang menjadi benang merah, kekerasan pada perempuan selalu berulang, namun yang disayangkan, bahkan untuk mengakui kekerasan itu telah terjadi, masih memerlukan usaha yang sangat panjang. Seperti penuturan Dewi, “namun sampai sekarang tidak ada pengakuan misalnya mengenai adanya pemerkosaan terhadap para perempuan. Ada argumentasi bahwa tidak ada bukti forensik yang bisa digunakan, demikian juga dengan alasan bahwa tidak ada yang melaporkan dari mereka yang menjadi korban.”

Rani Pramesti masih berumur 12 tahun ketika Kerusuhan Mei ’98 terjadi. Dia dan keluarganya masih terbilang beruntung, mereka berhasil bermigrasi ke Australia dan memulai hidup baru di sana. Seniman keturunan Cina – Jawa – Australia ini merefleksikan pengalaman pahit tersebut dalam bentuk karya seni labirin sensoris. Pada tahun 2014 di ajang Melbourne International Fringe Festivals karya ini bertransformasi menjadi komik multimedia digital berjudul Chinese Whispers. Rani, yang sekarang sudah berumur kepala tiga, menuturkan tragedi boleh berlalu tetapi kenangan buruk tentang kekerasan dan ketegangan rasial masih tetap terasa. Penerbitan novel multimedia ini diharapkan mampu membantu dia untuk mengerti dan menyembuhkan diri dari luka batin akibat Peristiwa ’98. Salah satu poin penting yang diulas dalam karya ini adalah soal rasisme yang bermotivasi politik. Rani mengisahkan, “Kerusuhan ‘98 terjadi saat umurku 12. Walaupun aku belum mampu mengerti kompleksitas situasi itu, aku menginternalisasikan kebencian yang diarahkan kepada orang Indonesia keturunan Tionghoa. Itu sebabnya ada satu bab di Chinese Whispers yang berjudul ‘Mewarisi Kebencian.’ Kecenderungan untuk membenci diri sendiri baru mulai luntur saat aku kuliah di University of Sydney. Aku lulus dengan gelar S-1 di bidang antropologi dan aktivitas sosial. Sejumlah kelas yang saya ambil dengan gamblang membahas etnis Tiongkok di Asia Tenggara. Makanya, saya akhirnya tahu kalau kerusuhan Mei ’98 adalah hanyalah sebagian kecil dari sentimen anti-Cina yang sudah lama dipupuk.“ Tema Kerusuhan Mei ’98 dalam karya sastra Indonesia sudah digarap penulis lokal maupun diaspora, dari dalam maupun luar komunitas Tionghoa, dari beragam latar belakang. Hal ini menunjukkan peristiwa tersebut sudah menjadi bagian memori kolektif bangsa Indonesia. Dengan demikian, kajian dan telaah peristiwa itu sebaiknya perlu melibatkan banyak perspektif.

Penulis adalah peneliti dalam Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *