Operasi Gray Zone Cina di Wilayah Filipina: Pelajaran Berharga bagi Indonesia

Operasi Gray Zone Cina di Wilayah Filipina: Pelajaran Berharga bagi Indonesia

Sebuah kapal Coast Guard China (kiri) membayangi kapal penjaga pantai Filipina yang melakukan patroli maritim di dekat Scarborough Shoal di Laut China Selatan. Foto: Philippine Coast Guard/AP/picture alliance
Sebuah kapal Coast Guard China (kiri) membayangi kapal penjaga pantai Filipina yang melakukan patroli maritim di dekat Scarborough Shoal di Laut China Selatan. Foto: Philippine Coast Guard/AP/picture alliance

Pada pertengahan Februari 2023 yang lalu, pemerintah Filipina menyampaikan sebuah pernyataan bahwa pada 6 Februari 2023 sebuah kapal milik Penjaga Pantai Cina telah menembakan laser berstandar militer ke arah kapal Penjaga Pantai Filipina di wilayah yang disengketakan di Laut Cina Selatan. Wilayah di mana penembakan tersebut terjadi merupakan bagian dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina. Oleh karenannya, pihak Filipina menganggap kejadian di atas sebagai sebuah pelanggaran yang nyata terhadap hak berdaulat Filipina.  

Manuver tak bersahabat dari aparat Cina di wilayah ZEE Filipina bukan hanya terjadi kali ini saja. Dalam catatan Sebastian Strangio, seorang pemerhati Cina yang tinggal di Australia, kejadian di atas hanyalah salah satu dari ratusan serbuan Cina ke dalam ZEE Filipina, yang sesuai peraturan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) membentang sepanjang 200 mil laut dari pulau terluar negara itu. Sementara itu, dalam sebuah artikel yang ditulis bersama dengan seorang sarjana dari Naresuan University, Thailand, pakar hubungan internasional Filipina, Profesor Renato Cruz De Castro, juga mencatat bahwa aktivitas yang ia sebut sebagai operasi gray zone Cina terhadap Filipina itu telah terjadi berkali-kali sejak tahun 1995. Apa yang ingin dicapai Cina dari tindakan-tindakan di atas? Bagaimana Filipina merespons manuver-manuver Cina tersebut? Pelajaran apa yang bisa dipetik Indonesia dari pengalaman Filipina menghadapi operasi gray zone Cina tersebut? Artikel singkat ini mencoba untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di atas. Pembahasan akan dilakukan pertama-tama dengan memperkenalkan beberapa argumen yang disampaikan oleh Profesor De Castro dan Dr. Paul Wesley Chamber dalam tulisan berjudul “The Philippines’ responses to Chinese gray zone operations triggered by the 2021 passage of China’s New Coast Guard Law and the Whitsun Reef standoff,” yang diterbitkan pada tahun 2022 dalam jurnal Asian Affairs: An American Review. Selanjutnya, penulis akan menyampaikan pandangan mengenai bagaimana pengalaman Filipina sebagaimana dituliskan oleh De Castro dan Chamber di atas memiliki arti penting bagi Indonesia, khususnya dalam upaya menghadapi operasi gray zone dari Cina di perairan sekitar Natuna, yang merupakan bagian dari ZEE Indonesia.

Dalam pandangan De Castro dan Chambers, operasi gray zone Cina di Laut Cina Selatan merupakan sebuah perang politik yang ditujukan untuk mencapai sebuah tujuan politik dari sebuah peperangan namun tanpa harus melakukan pengerahan kekuatan militer secara masif. Dalam penjelasan kedua penulis di atas, operasi gray zone tersebut diterapkan Cina kepada negara-negara yang memiliki perbatasan laut dengan Cina agar agresi militer Cina tetap berada di bawah tingkat operasi laut yang sesungguhnya, dan kemudian dapat disembunyikan melalui bantahan-bantahan. Bagi De Castro dan Chambers, strategi ini merupakan pengejawantahan strategi perang filsuf Cina kuno Sun Zi, yang antara lain mengatakan demikian, “berperang dan menang dalam semua pertempuran bukanlah hal yang luar biasa; yang luar biasa adalah mengalahkan pertahanan musuh tanpa harus berperang.” Berdasarkan prinsip di ataslah Cina berupaya menekankan klaimnya di Laut Cina Selatan, antara lain dengan membangun dan melakukan militerisasi pada pulau-pulau buatan di wilayah-wilayah yang masih berada dalam sengketa dengan Vietnam dan Filipina, mengirimkan kapal-kapal nelayannya ke wilayah Laut Cina Selatan, serta menugaskan kapal-kapal unit lautnya untuk melakukan berbagai manuver seperti yang terjadi pada awal bulan Februari ini di wilayah ZEE Filipina. Mengutip seorang ahli Cina lainnya, De Castro dan Chambers berpandangan bahwa meski tidak menghindari pertempuran yang sesungguhnya, Beijing berupaya untuk menggunakan kekuatan militernya tanpa harus terlibat dalam pertempuran terbuka dan langsung. Menurut mereka, tujuan yang diinginkan Beijing adalah menggapai kepentingan Cina dengan penggunaan kekuatan yang minimum.  

Menurut kedua ahli hubungan internasional di atas, model operasi gray zone Cina terlihat jelas dari manuver-manuver Cina terhadap Filipina dalam hampir dua dasawarsa terakhir. Di tahun 1995, militer Cina membangun sebuah pangkalan di Mischief Reef, sebuah pulau karang yang berada dalam wilayah ZEE Filipina. Pada pertengahan 2012, kapal Angkatan Laut Filipina diadang oleh dua kapal otoritas sipil Cina ketika ia ingin menangkap delapan perahu nelayan Cina yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah sengketa Scarborough Shoal. Yang menarik, peristiwa tersebut justru berakhir dengan penguasan de facto Cina atas Scarborough Shoal.

Hal yang sangat penting untuk dicatat adalah bahwa operasi gray zone di atas tetap berlangsung di era pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte. Padahal, Duterte dikenal sebagai presiden Filipina yang cenderung membangun hubungan baik dengan koleganya dari Cina, Presiden Xi Jinping. Namun, di tengah hubungan yang makin mesra, De Castro dan Chambers mencatat bahwa pada Desember 2018, sebanyak 275 kapal nelayan Cina menyambangi pulau Thitu, yang berada di bawah penguasaan Filipina. Tak sampai satu tahun berikutnya, pada Agustus 2019, sejumlah kapal-kapal perang Cina memasuki wilayah Filipina tanpa persetujuan lebih awal dari Angkatan Bersenjata Filipina. Pada Februari 2020, kapal Angkatan Laut Cina dilaporkan mengarahkan sistem pengendali tembakan meriam kapalnya (ship gun-fire control systems atau GFCS) pada sebuah kapal milik Angkatan Laut Filipina. Masih pada tahun yang sama, Cina membuat sebuah distrik baru di kota Sansha, Provinsi Hainan. Pembuatan distrik yang mencakup beberapa bagian wilayah yang diakui oleh Filipina itu menimbulkan protes dari pihak Filipina.

Operasi gray zone yang semakin lama semakin intensif tersebut tentu tidak dibiarkan begitu saja oleh Filipina. Apalagi, pada Januari tahun 2021, Cina menerbitkan Undang Undang Penjaga Pantai Cina yang antara lain memberikan hak bagi Penjaga Pantai Cina untuk menggunakan kekuatan senjata.  Masih menurut catatan De Castro dan Chambers, reaksi pemerintahan Presiden Duterte terhadap tingkah laku Cina ternyata berubah sesuai dengan perkembangan situasi. Bila pada awalnya Duterte kurang menganggap serius insiden-insiden yang terjadi antara aparat Filipina dan Cina, pada kisaran tahun 2020-an, pemerintah Filipina akhirnya menyadari bahwa sikap yang mengecilkan insiden-insiden yang terjadi dengan Cina justru memberi ruang bagi Beijing untuk meningkatkan agenda ekspansi maritimnya. Oleh karenanya, Filipina mulai memberikan respons yang lebih keras dan serius terhadap berbagai insiden di atas, antara lain dengan makin memperkuat patroli penjaga kedaulatan di wilayah perairan yang masih berada dalam sengketa.

Memahami pengalaman Filipina menghadapi operasi gray zone Cina membawa implikasi yang penting bagi Indonesia. Petama-tama, pengalaman Filipina memperlihatkan bahwa Indonesia, yang juga mengalami berbagai insiden dengan Cina di wilayah ZEE di perairan Natuna, bukan satu-satunya negara yang menjadi target dari operasi gray zone Cina. Kedua, apa yang terjadi dengan Filipina memperlihatkan bahwa keputusan untuk menjalin hubungan mesra dengan Cina, seperti yang dilakukan oleh Presiden Duterte di awal pemerintahannya, tidak serta-merta membuat Cina menghentikan atau bahkan sekadar mengurangi operasi gray zone mereka terhadap negara sahabatnya. Hal lain yang juga menjadi hikmah dari pengalaman Filipina adalah bahwa bersikap santai dan tidak menganggap serius insiden-insiden yang terjadi dengan Cina bukankah sikap yang tepat. Sikap ini justru menambah semangat Cina untuk meningkatkan sikap agresifnya karena kurang memperoleh tantangan yang serius. Berkaca dari hal di atas, Indonesia perlu melanjutkan sikap serius yang sudah ditunjukan terkait upaya menjaga kedaulatan dan hak berdaulat Indonesia di perairan Natuna yang sering menjadi target aktivitas gray zone Cina. Upaya meningkatkan kapasitas penegakan hukum, baik dengan kehadiran Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut ataupun patroli Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) dengan kekuatan yang makin mumpuni di wilayah ZEE terluar perlu untuk terus dilakukan seiring dengan upaya diplomatik yang memperlihatkan ketegasan seperti yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam hampir satu dasawarsa belakangan ini. Selain itu, sebagai salah satu negara pendiri Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) Indonesia perlu untuk mengajak negara-negara ASEAN untuk bersatu padu menghadapi isu terkait kehadiran Cina di wilayah perairan Asia Tenggara yang berpotensi meningkatkan ketegangan di kawasan ini.

Johanes Herlijanto adalah dosen pada program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, dan ketua Forum Sinologi Indonesia, Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *