Ambivalensi Tiongkok dalam Konflik Rusia—Ukraina

Ambivalensi Tiongkok dalam Konflik Rusia—Ukraina

Presiden China Xi Jinping (kiri) berjabat tangan erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) dalam sebuah pertemuan di Moskow. Foto: (Xinhua/Li Xueren)
Presiden China Xi Jinping (kiri) berjabat tangan erat dengan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) dalam sebuah pertemuan di Moskow. Foto: (Xinhua/Li Xueren)

Memasuki tepat satu tahun invasi Rusia ke Ukraina, konflik yang santer diberitakan media sepanjang tahun 2022 itu kembali menjadi sorotan publik. Pasalnya, walaupun konflik tersebut terjadi di Eropa, dampak yang diakibatkannya secara signifikan merambah berbagai belahan dunia. Tambahan pula, invasi Rusia ke Ukraina itu telah memperburuk krisis ekonomi yang telah terjadi pada tahun sebelumnya akibat pandemi COVID-19. Dunia yang sedang berharap untuk dapat pulih dari krisis itu harus menghadapi problema terganggunya pasokan pangan dan minyak dunia akibat konflik antara Rusia dan Ukraiana itu. Oleh karenanya, setiap upaya untuk menyelesaikan konflik ini memiliki urgensi yang sangat besar. Tanpa penyelesaian konflik di atas, perdamaian dunia dan stabilitas ekonomi internasional sulit terwujud.

Sejak masa-masa awal dilancarkannya invasi Rusia ke Ukraina, negara-negara Barat yang antara lain terdiri dari Amerika Serikat, Kanada, serta negara-negara Eropa yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) telah mengutuk agresi Rusia yang dipandang melanggar tatanan internasional. Negara-negara itu bersepakat untuk menjatuhkan sanksi ekonomi demi menekan Rusia untuk segera menghentikan invasinya yang sudah menelan puluhan ribu korban, yang terdiri dari prajurit di kedua belah pihak dan warga sipil di Ukraina.

Namun di tengah upaya negara-negara Barat mendukung Ukraina mempertahankan diri, sebagian negara-negara di Asia dan kawasan lainnya memilih untuk mengambil sikap hati-hati dalam merespons invasi Rusia ke Ukraina itu. Berbeda dengan negara-negara Barat dan ratusan negara kawasan lainnya yang mengambil sikap kontra terhadap invasi Rusia, beberapa dari negara-negara Asia mengambil sikap netral. Sikap netral ini terlihat, misalnya, dalam pemungutan suara untuk mendukung resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk memberi tekanan pada Rusia, baik pada Maret tahun 2022 maupun Februari 2023 lalu.1

Tiongkok adalah salah satu dari negara-negara yang memperlihatkan sikap “netral” dan oleh karenanya mendapat banyak sorotan dari media. Sikap seolah netral itu tampaknya dipengaruhi oleh dua hal yang penting untuk kita pahami. Pertama, terdapat konteks bahwa Tiongkok dan Rusia merupakan “teman baik” yang beraliansi untuk menghadapi negara-negara Barat. Tiongkok juga bergantung kepada Rusia dalam menjamin ketahanan energinya dan Tiongkok juga merupakan mitra dagang terbesar bagi Rusia2. Selain itu, perlu diketahui pula bahwa beberapa waktu sebelum Rusia menginvasi Ukraina, Tiongkok dan Rusia baru saja mengumumkan kemitraan “tanpa batas” (no limits partnership) dalam hubungan bilateral mereka3. Kedua, kehati-hatian Tiongkok tampaknya dipengaruhi pula oleh upaya Tiongkok dalam menggapai posisi strategis tertentu dalam dunia internasional. Namun apapun penyebabnya, respons Tiongkok terhadap invasi Rusia ke Ukraina merupakan hal yang cukup menarik untuk kita telaah.

Di saat negara-negara lain dengan vokal mengutuk invasi Rusia ke Ukraina, Tiongkok menolak untuk melakukan hal yang sama. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 Bali November lalu, Tiongkok memilih untuk tidak menggunakan kata “perang” untuk mendeskripsikan situasi yang sedang terjadi di Ukraina4. Tiongkok juga menolak untuk menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Rusia dan mengkritisi bahwa sanksi yang diberikan oleh negara-negara Barat malah “memperburuk krisis pangan dan kesulitan finansial di negara berkembang dan menimbulkan lebih banyak kesulitan kepada masyarakat.”5 Diterjemahkan dari pidato Wang Yi, diplomat senior dan mantan Menteri Luar Negeri Tiongkok, yang berjudul “Maintain a Global Vision, Forge Ahead with Greater Resolve and Write a New Chapter in Major-Country Diplomacy with Chinese Characteristics,” Desember 2022 lalu, Tiongkok dengan resmi menyatakan bahwa, “Sehubungan dengan krisis Ukraina, kami secara konsisten menjunjung tinggi prinsip-prinsip dasar objektivitas dan ketidakberpihakan, tanpa memihak salah satu pihak, atau memantik api, apalagi mencari keuntungan sendiri dari situasi tersebut.”6

Tak hanya itu, pada masa awal pecahnya konflik Rusia—Ukraina, Tiongkok abstain (tidak memberikan suara) dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB yang mengecam invasi Rusia itu. Kamis, 16 Februari lalu, tepat satu tahun Rusia menginvasi Ukraina, PBB mengadopsi sebuah resolusi yang menuntut Rusia untuk menarik mundur pasukannya dan segera menghentikan perang. Tercatat 141 negara anggota, termasuk Indonesia, yang menyetujui resolusi tersebut. Akan tetapi, Tiongkok kembali abstain.7

Yang menarik, meski abstain dalam dua resolusi di atas, serta tidak bersedia mengutuk Rusia atas invasinya ke Ukrania, Tiongkok turut memberikan bantuan kemanusiaan kepada Ukraina sejak satu bulan pertama pecahnya konflik Rusia—Ukraina. Dalam sebuah dokumen resmi yang baru saja dirilis oleh Kementerian Luar Negeri Tiongkok pada Jumat, 17 Februari lalu, Tiongkok menyerukan untuk memulai kembali dialog untuk mewujudkan perdamaian, menyudahi sanksi sepihak, dan menentang sikap Rusia yang mengancam akan menggunakan senjata nuklir dalam invasinya.8 Tiongkok juga menambahkan bahwa ia akan terus memainkan “peran yang konstruktif”, tanpa memberikan elaborasi lebih lanjut.9 Terakhir, Tiongkok juga menawarkan diri untuk menjadi mediator bagi Rusia dan Ukraina. Saat penulis menulis artikel ini, Senin, 13 Maret, dikabarkan bahwa Presiden Tiongkok, Xi Jinping, akan menelepon dan berdialog dengan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, dalam waktu dekat dan ini akan menjadi komunikasi pertama Xi dengan Zelensky sejak invasi Rusia ke Ukraina.10

Respons Tiongkok yang tampaknya ambivalen ini tentu mengundang banyak kritik dari masyarakat dunia. Terdapat kekhawatiran bahwa hubungan bilateral yang erat antara Tiongkok dan Rusia akan membuat Tiongkok mendukung Rusia dalam invasinya, baik secara militer maupun finansial. Kekhawatiran ini terlihat, misalnya, dalam peringatan keras presiden AS Joe Biden kepada Presiden Tiongkok, Xi Jinping.11 Dalam sebuah pertemuan daring antara keduanya, Biden dengan keras memberi peringatan kepada Xi bahwa akan ada “konsekuensi bila Tiongkok memberikan dukungan material atau militer kepada Rusia.” Menanggapi kekhawatiran di atas, Wang Yi menegaskan, “Tiongkok tidak menyediakan dan memberikan senjata ke Rusia karena itu adalah bagian dari kebijakan luar negeri kami untuk tidak mempersenjatai pihak yang berkonflik.”12 Wang Yi juga menyampaikan, “Kami menginginkan solusi politik untuk memberikan kerangka kerja yang damai dan berkelanjutan ke Eropa.”13

Bagaimana kita memahami sikap Tiongkok yang tampaknya ambivalen itu? Dalam pandangan penulis, sikap Tiongkok di atas perlu dipahami dalam konteks rivalitas yang tajam antara Tiongkok dan Amerika Serikat. Tiongkok tampaknya berpandangan bahwa bergabung dengan aliansi negara-negara Barat dalam mengutuk invasi Rusia dan juga memberikan sanksi ekonomi dapat membuatnya dianggap tunduk kepada kehendak Amerika. Selain itu, Tiongkok tampaknya masih berharap untuk mempertahankan hubungannya dengan Rusia. Sebagaimana disampaikan oleh Kevin Rudd, mantan Perdana Menteri Australia, dalam sebuah wawancara dengan CNN, hubungan yang baik dengan Rusia sangat penting bagi Tiongkok karena Tiongkok ingin memastikan bahwa tidak terjadi konflik perbatasan di perbatasan Rusia—Tiongkok agar Tiongkok dapat melancarkan aktivitas militernya di front lain.14 Inilah yang menyebabkan Tiongkok memilih untuk bersikap abstain alih-alih memberikan dukungan langsung pada Ukraina, atupun turut serta mengutuk Rusia, yang adalah “sahabat”—nya. Di lain sisi, Tiongkok juga terdesak untuk tidak bisa bersikap acuh tak acuh dalam masalah ini bila Tiongkok ingin memosisikan diri sebagai sebuah negara yang memiliki peran sentral dalam komunitas internasional. Agar diakui sebagai sebuah kekuatan besar, Tiongkok perlu memperlihatkan tanggung jawab yang besar pula untuk berperan aktif dalam mewujudkan perdamaian dunia. Itulah sebabnya, meski bersikap abstain dalam dua resolusi PBB dan memilih untuk tidak mengutuk Rusia, Tiongkok memperlihatkan upaya mencari solusi diplomatik terhadap invasi Rusia pada Ukraina, antara lain dengan menawarkan diri sebagai penengah.

Namun demikian, sikap Tiongkok yang seolah-olah netral justru berpotensi memperpanjang konflik di dua negara Eropa di atas. Keengganan Tiongkok untuk mengutuk Rusia dan sikap abstainnya dalam dua resolusi PBB yang diambil di tahun 2022 dan 2023 sedikit banyak berpotensi memberi angin bagi Rusia. Sebagai sebuah negara yang diandalkan oleh Rusia, Tiongkok seyogianya bisa menggunakan pengaruhnya untuk memberikan tekanan lebih bagi Rusia untuk menarik mundur pasukannya, sebelum solusi diplomatik dalam jalur damai yang juga diusulkan oleh Tiongkok dapat dilaksanakan. Bila langkah di atas diambil, Tiongkok akan memperoleh dua keuntungan sekaligus. Pertama, bila berhasil, langkah di atas akan mendemonstrasikan pengaruh Tiongkok terhadap negara besar lainnya, dalam hal ini adalah Rusia. Kedua, langkah di atas berpotensi memperlihatkan kepada dunia bahwa Tiongkok merupakan pemangku kepentingan yang bertanggung jawab (responsible stakeholder) dalam masyarakat internasional.


Source:

  1. https://dunia.tempo.co/read/1566775/resolusi-pbb-kecam-invasi-rusia-ini-daftar-negara-yang-menolak-dan-abstain
    https://www.kompas.com/global/read/2023/02/24/110100770/31-negara-abstain-dalam-pemungutan-suara-resolusi-pbb-soal-perang-ukraina?page=all
  2. https://thediplomat.com/2023/01/china-russia-relations-4-takeaways-from-2022/
  3. https://www.reuters.com/world/how-does-xi-putin-no-limits-partnership-work-2022-09-15/
  4. https://globalnews.ca/news/9511539/g20-ukraine-war-russia-china-object/
  5. https://frontline.thehindu.com/world-affairs/decoding-china-stance-on-russia-ukraine-conflict/article65510759.ece
  6. https://www.fmprc.gov.cn/mfa_eng/zxxx_662805/202212/t20221225_10994828.html
  7. https://news.detik.com/berita/d-6586358/sidang-pbb-ri-setuju-desak-rusia-pergi-dari-ukraina-china-abstain
  8. https://edition.cnn.com/2023/02/23/china/china-position-political-settlement-ukraine-intl-hnk/index.html
  9. https://edition.cnn.com/2023/02/23/china/china-position-political-settlement-ukraine-intl-hnk/index.html
  10. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20230313201142-113-924583/xi-jinping-diklaim-telepon-zelensky-usai-bertemu-putin-pekan-depan
  11. https://www.aljazeera.com/news/2022/3/18/xi-tells-biden-ukraine-conflict-is-in-no-ones-interest
  12. https://www.reuters.com/world/one-year-into-ukraine-war-china-says-sending-weapons-will-not-bring-peace-2023-02-23/
  13. https://www.aljazeera.com/news/2023/2/20/us-in-no-position-to-make-demands-china-slams-blinken-comments
  14. https://www.youtube.com/watch?v=-teVgV4PKpg


Callesya Lovely, alumnus program studi Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan, Jakarta, adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI). 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *