Dikukuhkannya kembali Xi Jinping menjadi pemimpin tertinggi Partai Komunis Tiongkok (PKT) pada Kongres PKT ke-20 bulan November tahun yang lalu tentu membawa dampak bagi kebijakan Tiongkok terhadap orang-orang Tionghoa seberang lautan (Chinese overseas). Pasalnya, di bawah kepemimpinan Xi kebijakan Tiongkok terkait dengan orang-orang Tionghoa seberang lautan makin jauh berbeda daripada kebijakan yang diambil oleh para pemimpin Tiongkok yang lalu. Pada masa yang lampau terdapat pembedaan yang jelas antara orang-orang Tionghoa yang disebut 华侨 huaqiao (warga negara Tiongkok perantauan) dan mereka yang disebut sebagai 华人 huaren (etnik Tionghoa) serta 华裔 huayi (keturunan Tionghoa)—keduanya merujuk pada orang-orang Tionghoa yang tidak berkewarganegaraan Tiongkok—tetapi pada era Xi Jinping pembedaan tersebut menjadi kabur. Dalam berbagai pidato dan pernyataan, baik Xi Jinping sendiri maupun para pejabat tinggi di bawah kepemimpinannya, sering kali menggunakan istilah-istilah yang seolah menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan orang-orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, tanpa memandang apa pun kewarganegaraan mereka. Padahal, saat masih berada di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, Tiongkok telah secara tegas melepaskan pengakuannya atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Pengakuan tersebut tertuang dalam Undang-undang Kewarganegaraan yang diterbitkan pada tahun 1980.
Perubahan kebijakan terkait orang-orang Tionghoa di luar Tiongkok itu terlihat jelas tak lama setelah Xi dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk pertama kalinya. Segera setelah berada di tampuk kekuasaannya pada 2013, Xi mempopulerkan konsep “Impian Cina” (China Dream atau 中国梦 Zhongguo meng), yang menurutnya merupakan impian dengan tujuan peremajaan kembali (rejuvenation) bangsa Tiongkok. Dalam pandangan Kalpit A. Mankikar, seorang peneliti pada sebuah lembaga riset yang berbasis di New Delhi, India, dalam upaya peremajaan kembali bangsa Tiongkok inilah Xi mempopulerkan konsep “satu keluarga besar Tionghoa” (中华大家庭 Zhonghua da jiating), yang tampaknya mencakup orang-orang Tionghoa, tak peduli apa pun status kewarganegaraan mereka. Sebagaimana dituliskan oleh Sebastian Strangio, seorang jurnalis yang berbasis di Australia, Beijing di bawah Xi Jinping juga menggunakan istilah “saudara sebangsa dari seberang lautan” (海外侨胞 haiwai qiaobao) untuk merujuk pada etnik Tionghoa di berbagai belahan dunia. Sementara itu, menurut Profesor Leo Suryadinata, dalam sebuah pidato yang disampaikan pada tahun 2014, Xi menyatakan bahwa “bangsa Tiongkok yang bersatu adalah akar bersama dari putra dan putri Tiongkok di dalam dan di luar Cina.” Dalam pandangan Suryadinata, Xi menggunakan istilah putra putra Tiongkok (中华儿女 Zhonghua ernü) untuk merujuk pada, baik orang-orang Tionghoa yang berada di Tiongkok maupun yang berada di luar Tiongkok.
Pernyataan yang memperlihatkan upaya Tiongkok merangkul Tionghoa bukan hanya tampak dari pidato-pidato Xi Jinping, tetapi juga digaungkan dalam pidato dan pernyataan-pernyataan para pejabat tinggi Tiongkok dalam sepuluh tahun belakangan ini. Masih menurut Suryadinata, pada 2015 di hadapan para pengusaha Tionghoa dari berbagai belahan dunia, Perdana Menteri Li Keqiang menyampaikan harapannya agar para pebisnis Tionghoa seberang lautan berperan sebagai “kekuatan baru yang efektif” bagi transformasi ekonomi dan pembangunan di Cina. Pada kesempatan yang sama, Li juga meminta mereka untuk “pertama-tama melayani kepentingan Tiongkok, yang diikuti dengan mengupayakan ‘kemenangan bersama,’ menciptakan image baru bagi pengusaha Tionghoa, dan menjaga hubungan yang harmonis dengan penduduk setempat.” Sementara itu, dalam sebuah pidato pada September 2015, Duta Besar Tiongkok untuk Malaysia menyatakan penekanan berikut “…huaqiao dan huaren, ke mana pun kalian pergi, tak peduli sudah berapa generasikah kalian, Tiongkok akan selamanya menjadi rumah ibu yang hangat bagi kalian.”
Pernyataan-pernyataan serupa pernah pula disampaikan oleh para pejabat Tiongkok di Indonesia. Menurut catatan Suryadina, pada April 2012, Direktur dari Kantor Urusan Tionghoa Perantauan Beijing, Li Yinze, menganjurkan generasi muda Tionghoa Indonesia untuk belajar Bahasa Mandarin demi “memperkuat identifikasi mereka dengan bangsa Tiongkok.” Sedangkan pada 2015, Qiu Yuanping, ketua Kantor Urusan Tionghoa Perantauan Pusat menyampaikan pidato di depan Perhimpunan Indonesia Tionghoa, yang menyatakan “Tanah leluhur tidak akan pernah melupakan kontribusi besar dari huaqiao dan huaren di luar negeri. Tiongkok akan selalu menjadi pendukung kuat (strong backer) bagi masyarakat keturunan Tionghoa di luar negeri.”
Munculnya pernyataan-pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan etnik Tionghoa di luar Cina itu tentu dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan elit politik di negara tempat orang-orang Tionghoa tersebut tinggal. Kekhawatiran tersebut tentu sangat wajar, mengingat pernyataan pernyataan di atas—setidaknya menurut seorang peneliti lulusan Studi Asia di Universitas Georgetown—bukanlah pernyataan tanpa tindakan belaka. Qin Mei, demikian nama sang peneliti, menuturkan bahwa Xi menggunakan Departemen Kerja Front Persatuan, sebuah organ dalam PKT yang bertugas mengoordinasikan pengaruh Tiongkok di luar negeri, untuk menangani masalah Tionghoa seberang lautan. Pada tahun 2018, Xi bahkan menempatkan Kantor Urusan Tionghoa Seberang Lautan di bawah departemen di atas. Studi kasus yang Qin Mei lakukan terhadap sepak terjang Departemen Kerja Front Persatuan PKT di Australia dan Selandia Baru memperlihatkan bagaimana Tiongkok berupaya mempengaruhi individu-individu Tionghoa di negeri tersebut. Seperti dijelaskan oleh Qin, Tiongkok membungkam mereka yang tidak sejalan dengan kebijakan Tiongkok tetapi mendorong mereka yang pro-Tiongkok untuk terjun dalam politik, memperoleh kesuksesan, dan akhirnya menggunakannya untuk kepentingan Tiongkok. Masih menurut Qin, kebanyakan dari mereka yang tunduk pada keinginan Tiongkok adalah para migran baru. Meski demikian, Qin secara adil juga memaparkan bahwa tak sedikit dari masyarakat Tionghoa di negara tujuan mereka justru berperan sebagai pemerhati yang siap meniup peluit ketika Departemen Kerja Front Persatuan PKT terlihat melakukan upaya di negeri tempat mereka tinggal.
Bagaimana dengan di Indonesia? Dalam pandangan penulis, upaya Tiongkok mendekati etnik Tionghoa di luar Tiongkok berpotensi menimbulkan kekhawatiran bagi sementara kalangan di Indonesia. Namun, kekhawatiran tersebut menjadi kurang relevan bila kita mempertimbangkan karakteristik yang membedakan etnik Tionghoa di Indonesia, atau bahkan etnik Tionghoa di Asia Tenggara, dari orang-orang Tionghoa di negara-negara kawasan lain. Mayoritas Tionghoa di Indonesia termasuk dalam kategori “migran lama,” yang menurut Zhuang Guotu—seorang ahli dalam kajian migrasi orang Tionghoa—telah meninggalkan Tiongkok antara abad ke-17 dan pertengahan abad ke-20. Oleh karenanya, mereka telah mengadopsi budaya lokal dan membentuk sebuah budaya campuran yang pada gilirannya juga mempengaruhi budaya tempat di mana mereka tinggal. Kelekatan mereka pada budaya dan identitas setempat itu membuat sulit bagi rezim Xi Jinping untuk menjalankan kebijakannya merangkul orang Tionghoa Indonesia untuk kepentingan Tiongkok. Memang betul, sebagai pernah dituliskan oleh Charlotte Setijadi, sebagian pengusaha besar Tionghoa di Indonesia menyambut ajakan Tiongkok untuk berperan menjadi “jembatan yang indah” (beautiful bridge) antara Indonesia dan Tiongkok. Namun, sebagaimana pernah disampaikan oleh almarhum Eddy Lembong, seorang tokoh Tionghoa yang turut mendirikan dan mengetuai Perhimpunan Indonesia Tionghoa pada tahun-tahun awal era Reformasi, sebagian dari para pebisnis Tionghoa justru terdorong menggunakan jaringan internasional yang mereka miliki untuk kepentingan Indonesia.
Johanes Herlijanto adalah dosen pada program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan, dan ketua Forum Sinologi Indonesia, Jakarta.