Akselerasi Modernisasi Militer Cina dan Dampaknya bagi Asia Tenggara

Akselerasi Modernisasi Militer Cina dan Dampaknya bagi Asia Tenggara

Rudal DF-17 bergabung di parade Hari Nasional di Beijing. Foto: Zhang Haichao/GT
Rudal DF-17 bergabung di parade Hari Nasional di Beijing. Foto: Zhang Haichao/GT

Presiden Xi Jinping, yang sebelumnya juga menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Cina (PKC) ke-19, beberapa waktu lalu dikukuhkan kembali sebagai Sekretaris Jenderal PKC untuk periode 2022—2027. Dengan pengukuhan ini, Xi dapat dipastikan akan melanjutkan kepemimpinannya sebagai presiden Republik Rakyat Cina (RRC) untuk periode 2023-2028. Keberlanjutan kepemimpinan Xi di negara yang sedang berkembang menjadi sebuah kekuatan besar dunia itu tentu menimbulkan pertanyaan, baik di kalangan pemerhati Cina maupun para elit politik negara-negara kawasan Asia Pasifik, yang akan selalu bersinggungan dengan Cina. Bagaimanakah sepak terjang Cina di kawasan tersebut selama 5 tahun mendatang? Tulisan singkat ini mencoba menyampaikan gagasan-gagasan yang menjawab pertanyaan di atas. Namun artikel singkat ini hanya memberikan penekanan pada aspek keamanan dan tidak membahas aspek-aspek lainnya, seperti pertukaran budaya maupun ekonomi.

Pidato Presiden Xi

Salah satu hal yang mendapatkan perhatian paling besar dari awak media dan para pemerhati Cina di sepanjang Kongres PKC ke-20 yang baru saja digelar adalah pidato Presiden Xi Jinping pada pembukaan kongres tersebut, yaitu pada tanggal 16 Oktober 2022. Pidato yang merupakan laporan Xi pada kongres PKC ke-20 itu terdiri atas 15 bagian besar. Setidaknya dua dari bagian-bagian di atas sangat penting bagi upaya untuk memprediksi sepak terjang Cina di kawasan Asia Pasifik dalam 5 tahun ke depan, yaitu pernyataan-pernyataan Xi pada aspek kemiliteran dan hubungan luar negeri.

Pada aspek kemiliteran, terlihat konsistensi antara pidato Xi pada kongres ke-19 tahun 2017 lalu dan kongres ke-20 yang baru saja berlalu. Xi, atau tepatnya Cina secara keseluruhan, berkomitmen untuk memperkuat angkatan bersenjata yang berada di bawah komando PKC, yaitu People’s Liberation Army atau Tentara Pembabasan Rakyat (TPR). Angkatan bersenjata ini berada di bawah kepemimpinan Komite Militer Sentral atau Central Military Commission (CMC), yang dipimpin oleh Presiden Xi sejak 2012 yang lalu, segera setelah dia menerima mandat sebagai Sekretaris Jenderal PKC ke 18. Komitmen untuk membangun TPR sebagai angkatan bersenjata yang modern juga disampaikan Xi pada pidatonya di hadapan Kongres Komite Sentral PKC ke 19, yang berlangsung 5 tahun lalu. Saat itu, Xi menyampaikan tekad untuk menjadikan angkatan bersenjata Cina menjadi militer kelas dunia pada 2035. Dia menyatakan:

We will make it our mission to see that by 2035, the modernization of our national defense and our forces is basically completed; and that by the mid-21st century our people’s armed forces have been fully transformed into world-class forces (Adalah misi kita untuk melihat bahwa pada 2035, proses modernisasi dari angkatan bersenjata kita dan pertahanan nasional kita secara mendasar telah terlaksana; dan bahwa pada pertengahan abad ke 21 angkatan bersenjata rakyat kita telah sepenuhnya bertransformasi menjadi angkatan bersenjata kelas dunia).

Namun pada kongres ke-20 yang baru saja berlalu, Xi menyatakan bahwa ia akan mempercepat transformasi di atas. Tampaknya, dia berupaya agar pada perayaan 100 tahun berdirinya TPR, yaitu pada Agustus 2027, militer Cina telah bertransformasi menjadi militer kelas dunia. Tekad Xi di atas sepertinya sangat mungkin terlaksana mengingat perkembangan militer Cina akhir-akhir ini terlihat sangat pesat, khususnya dalam hal modernisasi alutista mereka. Sebagai contoh, kapal induk ketiga mereka, Fujian, baru saja diresmikan pada 22 Juni 2022 yang lalu.  Jumlah kepemilikan kapal dari angkatan laut Cina pun seimbang, bila tidak melebihi kepemilikan kapal dari angkatan laut Amerika Serikat. Sebuah studi yang dipublikasikan pada September lalu oleh sebuah lembaga riset yang berbasis di Washington DC memperkirakan bahwa memasuki tahun 2030, kekuatan angkatan laut Cina akan bertambah sebanyak 40 persen. Ini belum termasuk kekuatan dari unsur-unsur lainnya, yaitu angkatan darat, angkatan udara, unsur roket, dan unsur pendukung strategis. Dengan kekuatan angkatan perang yang modern itu, Xi menyampaikan tekadnya untuk meningkatkan kemampuan dalam mempertahankan kedaulatan, keamanan, dan kepentingan pembangunan Cina.

Meskipun menekankan upaya untuk membangun militer kelas dunia yang mumpuni, pada sisi hubungan internasional, Xi Jinping berupaya meyakinkan dunia dengan pernyataan-pernyataan yang memperlihatkan komitmennya pada lingkungan yang damai, khususnya di kawasan tempat Cina berada.  Xi menyampaikan komitmen Cina untuk menentang apa yang ia sebut sebagai aksi hegemonik, perundungan (bullying), dan menggunakan kekuatan semena-mena (high-handed) untuk mengintimidasi yang lemah. Sebaliknya, Xi menyatakan bahwa Cina akan selalu berkomitmen pada politik luar negeri yang bertujuan untuk menegakan perdamaian dunia (upholding world peace) dan komunitas manusia dengan masa depan bersama (human community with shared future).

Ia menyampaikan, misalnya, bahwa kebijakan pertahanan Cina bersifat defensif belaka, dan bahwa perkembangan Cina hanya akan meningkatkan konsolidasi kekuatan-kekuatan dunia untuk perdamaian.  Xi juga menyampaikan komitmen Cina pada perdamaian, yang antara lain didasarkan atas 5 prinsip dasar koeksistensi damai yang terdiri dari: saling menghormati dalam hal kedaulatan dan integritas territorial, prinsip non-agresi, tidak saling mencampuri urusan internal masing-masing, kesetaraan dan prinsip saling menguntungkan, dan koeksistensi damai. Yang menarik, komitmen yang menekankan perdamaian dan prinsip-prinsip koeksistensi damai di atas juga disampaikan pada pidato Xi tahun 2017 yang lalu. Namun berbeda dengan pidato terdahulu, laporan pada kongres PKC ke-20 ini juga diawarnai dengan penekanan yang lebih tegas lagi terhadap hegemoni, mentalitas perang dingin, dan unilateralisme. Ia menyampaikan bahwa, “China stands firmly against all forms of hegemonism and power politics, the Cold War mentality, interference in other countries’ internal affairs, and double standards” (China berdiri kukuh melawan segala bentuk hegemoni dan kekuatan politik, mentalitas Perang Dingin, campur tangan terhadap urusan dalam negeri negara lain, dan standar ganda). Perlu digaris bawahi juga pernyataan Xi bahwa Cina akan terlibat dalam membangun aturan-aturan keamanan global.

Dampak bagi Asia Tenggara

Terpilih kembalinya Xi Jinping, dengan segenap kebulatan tekad yang ia sampaikan dalam pidato di atas, tentu memiliki dampak, baik jangka pendek maumpun panjang bagi negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pertama, kita akan melihat peningkatan militer yang kuat dari Cina. Kehadiran militer yang kuat ini perlu menjadi perhatian khusus, mengingat sengketa di Laut Cina Selatan, yang melibatkan Cina dan beberapa negara Asia Tenggara, masih menjadi sebuah ganjalan bagi hubungan antara Cina dan negara-negara Asia Tenggara. Apalagi, meski Xi memberi penekanan terkait perdamaian dan penolakan terhadap penggunaan kekuatan semena-mena pada pidatonya, baik pada kongres ke-20 maupun ke 19 yang lalu, insiden-insiden di Laut Cina selatan tetap saja terjadi. Insiden dengan Filipina misalnya, terjadi pada tahun 2021 ketika 3 kapal penjaga pantai China menyerang perahu logistik Filipina menggunakan meriam air (water canon). Peristiwa penghadangan terhadap kapal pembawa logistik Filipina terjadi kembali pada akhir Juni tahun ini. Sementara itu pada Oktober tahun lalu, Malaysia melayangkan protes atas masuknya kapal-kapal Cina ke wilayahnya. China juga dikabarkan telah melakukan militerisasi secara penuh pada setidaknya 3 dari beberapa pulau yang dibangunnya di wilayah yang masih disengketakan di Laut Cina Selatan. Padahal pada 2015, Presiden Xi pernah memberikan janji bahwa Cina tidak akan melakukan militerisasi pada pulau-pulau tersebut. Namun seiring dengan berjalannya waktu, pada Maret 2022 lalu, Kementerian Luar Negeri Cina menyatakan bahwa Cina memiliki hak membangun fasilitas pertahanan di wilayah yang Cina klaim sebagai milik Cina itu.

Kedua, hubungan Indonesia dan Cina juga akan diuji dengan meningkatnya kekuatan militer Cina dan komitmen Xi untuk mempertahankan kedaulatan dan teritori Cina di atas. Hal ini terkait erat dengan hadirnya 9 garis putus-putus yang pertama kali dimunculkan oleh Cina pada tahun 1993, dalam sebuah bengkel kerja (workshop) yang diselenggarakan di Surabaya. Beberapa dari 9 garis putus-putus yang diklaim oleh Cina menandai wilayahnya itu melewati sebagian dari Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang terletak di perairan dekat kepulauan Natuna. Meski klaim Cina terhadap sebagian dari perairan yang kini bernama Laut Natuna Utara itu tidak memiliki dasar hukum yang kuat berdasarkan UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea), kita tetap harus waspada mengingat Cina tampaknya tetap berupaya mempertahankan klaimnya. Kapal-kapal penjaga pantai dan nelayan Cina seringkali mengganggu kapal-kapal nelayan Indonesia di sana. Bahkan pada tahun 2021 lalu, media di Indonesia melaporkan hadirnya beberapa kapal perang Cina, antara lain berjenis Frigate  dan Destroyer, di kawasan ZEE Indonesia di Natuna. Kehadiran kapal perang Cina, bersama kapal survey, serta kapal penjaga pantai, juga terlihat pada akhir tahun lalu, ketika Cina melakukan protes terhadap pengeboran lepas pantai yang dilakukan Indonesia dan perusahaan-perusahaan dari negara mitra di wilayah ZEE Indonesia. Manuver-manuver di atas tentu tak selaras dengan semangat anti hegemoni dan anti penggunaan kekuatan semena-mena yang ditekankan oleh Presiden Xi.

Kapal perusak Type 052D Angkatan Laut China, Kunming 172. Sumber Foto : Ministry of National Defense of the People’s Republic of China.

Ketiga, kita harus menaruh perhatian pada penolakan Cina terhadap mentalitas perang dingin yang berkali-kali disampaikan Xi. Pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah: apakah ia mengarahkan statement itu pada negara-negara Barat? Bila jawabannya adalah benar, kita perlu mewaspadai makin meningkatnya ketegangan antara Cina dan Barat di wilayah Asia Pasifik, yang tentu akan membawa dampak bagi negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Potensi munculnya dampak-dampak di atas tentu perlu dicermati oleh Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Negara-negara tersebut, termasuk Indonesia, perlu mempersiapkan diri menghadapi Cina yang makin kuat secara militer. Kerja sama keamanan dengan sesama negara-negara Asosiasi Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan pihak-pihak di luar kawasan perlu dipertahankan, bahkan ditingkatkan. Khusus bagi Indonesia, di mana terjadi berbagai insiden di wilayah ZEE di perairan Natuna Utara, penting untuk meningkatkan kehadiran dan kemampuan otoritas, baik militer maupun otoritas sipil untuk menghadapi insiden-insiden yang sangat mungkin akan terus terjadi. Namun selain meningkatkan kehadiran dan kemampuan aparat keamanan, Indonesia perlu juga meningkatkan kerja sama dengan kekuatan negara-negara sahabat. Kerja sama keamanan tersebut, termasuk dengan negara-negara Barat seperti yang telah dilakukan oleh militer Indonesia baru baru ini, adalah cara yang tepat untuk menjaga keamanan kawasan, sembari menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berpegang pada politik luar negeri yang netral, bebas, dan aktif, sehingga memiliki kebebasan dan hak untuk menjalin kerja sama dengan negara mana pun, termasuk pada aspek keamanan.

Johanes Herlijanto adalah pengajar tetap pada Program Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Pelita Harapan, dan ketua Forum Sinologi Indonesia.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *