Akhir Keterlibatan Italia dalam Belt and Road Initiative (BRI): Pelajaran Berharga bagi Negara Lain

Akhir Keterlibatan Italia dalam Belt and Road Initiative (BRI): Pelajaran Berharga bagi Negara Lain

Sumber Foto: Reuters
Sumber Foto: Reuters

Pada 6 Desember 2023, Italia secara resmi menarik diri dari kerangka kerja sama Belt and Road Initiative (BRI).1 Keputusan tersebut mengakhiri spekulasi tentang masa depan Italia dalam proyek pembiayaan infrastruktur raksasa yang diprakarsai oleh China. Beberapa bulan lalu, Menteri Pertahanan Italia Guido Crosetto dalam wawancara dengan media lokal terang-terangan menyebut bahwa Italia membuat keputusan yang “serampangan dan mengerikan” ketika memilih ikut serta dalam BRI.2 Namun demikian, pernyataan keras tersebut seakan ditepis oleh Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni ketika bertemu Perdana Menteri China Li Qiang di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 awal September 2023 lalu. Dalam pertemuan tersebut, keduanya berjanji untuk mengkonsolidasikan dan mempererat hubungan bilateral, tanpa menyebut secara spesifik mengenai proyek BRI.3

Sebagaimana data yang dihimpun oleh Green Finance and Development Center, Fanhai International School of Finance, Fudan University, Shanghai, China, per Desember 2023 tercatat 34 negara Eropa dan Asia Tengah sudah bergabung dengan BRI, di antaranya terdapat 17 negara anggota UE.4 Dari data tersebut, strategi China dalam meningkatkan keterlibatan (engagement) dengan negara-negara Eropa melalui BRI pada tataran tertentu dapat dibilang sudah meluas. Artikel singkat ini akan mengulas bagaimana China berupaya memainkan peran di kawasan itu melalui program BRI, bagaimana respons negara-negara Eropa (dengan mengambil contoh kasus Italia) terhadap usaha China tersebut, serta pelajaran berharga apa yang dapat dipetik negara dan kawasan lain terkait BRI.

Dalam sebuah analisisnya, Agnes Szunomar, asisten profesor pada Corvinus University of Budapest, Hungaria, menyatakan bahwa “China tidak bisa dilihat sebagai suatu kekuatan baru yang mempunyai rencana induk strategis. Sebaliknya, China sangat pragmatis dan eksperimental dalam pendekatannya”5 Menurut Szunomar, dalam berinteraksi dengan negara-negara Eropa, China biasanya berusaha mencari topik yang dimaknai positif oleh kedua pihak sehingga dapat tercapai kesepahaman. Misalnya, China menggunakan motivasi berinvestasi pada teknologi canggih dan energi hijau untuk memasuki pasar Eropa Barat dan Utara. Di sisi lain, investasi manufaktur dan, yang terbaru, infrastruktur menarik minat China kepada kawasan Eropa Tengah dan Timur. Sebagian besar negara di kawasan tersebut belum menjadi bagian dari Uni Eropa dan berada padatataran perekonomian dan pembangunan infrastruktur tingkat menengah.

Jika analisis di atas diaplikasikan pada kasus Italia, negara ini tergolong anomali. Italia adalah anggota EU, bahkan termasuk salah satu negara ekonomi maju dunia (anggota G7), tentu saja dengan pembangunan infrastruktur yang sudah matang. Lantas mengapa Italia masih berminat bergabung dengan proyek BRI yang berfokus pada pembangunan dan pengembangan infrastruktur?

Salah satu sorotan utama kunjungan Presiden Xi Jinping ke Italia pada 2019 adalah penandatangan nota kesepahaman (MoU) oleh Perdana Menteri Giuseppe Conte sebagai tanda kesediaan Italia bergabung dalam BRI. MoU tersebut berlaku 5 tahun dan otomatis diperpanjang, kecuali bila salah satu pihak memutuskan menarik diri sejak tiga bulan belum perjanjian kedaluwarsa.6 Seperti semua MoU yang ditandatangani China dengan negara-negara lain, perjanjian ini tidak disusun sebagai pakta ekonomi atau perdagangan, melainkan menyatakan kesediaan umum negara penanda tangan untuk bekerja sama di bawah kerangka BRI.7 Sejumlah perjanjian penyerta juga ditandatangani antara perusahaan China dan Italia pada saat itu, yang menyoroti harapan pemerintah Italia akan manfaat ekonomi yang akan didapatkan dalam kerangka kerja BRI.8

Peneliti pada Council on Foreign Relations (CFR), David Sacks, menganggap faktor ekonomi menjadi faktor pendorong utama dalam keputusan Italia tersebut di atas. Ia menilai tidak sulit melihat alasan mengapa BRI dapat memikat Italia. Setelah mengalami tiga kali resesi dalam satu dekade, Italia berupaya menarik investasi dan memperluas akses ekspor ke China, salah satu pasar global terbesar. Ditambah lagi, kala itu banyak warga Italia yang merasa ditinggalkan oleh UE, sementara pemerintahan populis yang berkuasa saat itu juga bersikap skeptis terhadap UE dan sangat ingin beralih ke China untuk memenuhi kebutuhan investasinya.9

Di lain pihak, China juga memiliki alasan tersendiri dalam mendekati Italia. Negara ini memiliki makna simbolis bagi China sebagai titik akhir Jalur Sutra Kuno. Masuknya Italia dalam proyek BRI sangat membantu China dalam mempromosikan kebijakan andalan tersebut, yang dipersepsikan sebagai versi modern Jalur Sutra. Selain itu, kedua negara memiliki hubungan perdagangan maupun people-to-people yang cukup erat. Sebagai catatan, Italia adalah rumah bagi diaspora Tionghoa terbesar di Eropa. Serta yang tak kalah penting, China menganggap bergabungnya Italia dalam BRI sebagai “kartu as” yang dapat dipakai untuk meningkatkan pengaruh di Eropa, menciptakan perbedaan pendapat di antara negara UE, serta UE dan Amerika Serikat (AS).10 Faktor geopolitik yang disebut terakhir ini pulalah yang menjadi perhatian akademisi dari Renmin University, Beijing, China, Francesco Sisci. Menurut Sisci, bergabungnya Italia dalam kerangka kerja sama BRI bukan semata-mata karena negara itu ingin menjalin kesepakatan dengan China. Masalah utamanya adalah faktor politik. Italia menyadari posisinya sebagai jembatan penghubung China menuju UE dan AS. Sayangnya, Italia mengambil keputusan untuk mempererat kerja sama dengan China tanpa berkonsultasi dengan kedua kekuatan besar tersebut. Hubungan yang retak dengan UE dan AS tidak akan memberikan manfaat yang baik bagi Italia maupun China.11

Setelah hampir lima tahun berjalan, kenyataan semakin menunjukkan bahwa BRI tidak dapat memenuhi ekspektasi Italia. Alih-alih mendapatkan keuntungan setelah bergabung dengan BRI, negara itu malah mengalami defisif neraca perdagangan dengan China. Sejak bergabung dengan BRI, ekspor Italia ke China hanya meningkat dari 14,5 miliar euro menjadi 18,5 miliar euro, sementara ekspor China ke Italia justru tumbuh jauh lebih pesat, dari 33,5 miliar euro menjadi 50,9 miliar euro. Sebaliknya, China lebih banyak melakukan perdagangan dengan negara-negara anggota UE lain, yaitu Prancis dan Jerman, meskipun dua negara dengan perekonomian terbesar di zona euro tersebut tidak bergabung dalam BRI. Defisit neraca perdagangan bukan satu-satunya kekecewaan Italia. Prospek investasi dari China yang digadang-gadang dapat meningkatkan angka pertumbuhan ekonomi pada kenyataannya masih jauh dari harapan. Investasi langsung (foreign direct investment/FDI) China di Italia turun dari 650 juta dolar AS pada tahun 2019 menjadi hanya 33 juta dolar AS pada tahun 2021, jauh di bawah nilai FDI China di negara-negara EU non-anggota BRI.

Pada dimensi geopolitik, situasi juga berubah. Awalnya, sebagaimana diungkapkan oleh Peter Frankopan, guru besar sejarah global pada Universitas Oxford, Inggris, langkah Italia untuk bergabung dalam BRI secara umum bersifat simbolis.12 Italia yang kala itu dipimpin koalisi pemerintahan populis ingin menunjukkan keberanian untuk mengambil sikap berseberangan dengan sekutunya, yaitu UE dan AS. Kondisi ini terjadi pada periode yang sensitif bagi Eropa dan UE, di mana tiba-tiba muncul banyak keraguan tidak hanya mengenai China, namun juga mengenai bagaimana Eropa atau UE harus beradaptasi dan bereaksi terhadap perubahan dunia. Dewasa ini, negara-negara UE semakin mencapai konsensus bahwa China dipandang sebagai rival, alih-alih sebagai partner atau kompetitor. Italia mau tidak mau harus semakin menyelaraskan perspektifnya terhadap China agar sejalan dengan mitra tradisionalnya. Secara umum, penarikan Italia dari BRI mengirimkan pesan simbolis kepada China maupun mitra tradisionalnya (seperti UE, G7, dan NATO) di saat ketegangan geopolitik global sedang tinggi. Keputusan tersebut menegaskan keselarasan Italia dengan sikap transatlantik terhadap China.

Pelajaran apa yang dapat diambil dari keputusan Italia yang menarik diri dari kerja sama BRI? Dalam aspek ekonomi, pengalaman Italia menunjukkan bahwa bergabung dengan BRI tidak serta-merta memberikan status khusus suatu negara dalam relasi dengan China ataupun menjamin lebih banyak perdagangan dan investasi dengan China dibandingkan tanpa adanya kerangka kerja sama BRI. Dalam aspek geopolitik, setiap negara berhak untuk menjalin kerja sama dengan pihak mana pun. Akan tetapi, pengalaman Italia dalam berhubungan dengan China memperlihatkan pentingnya setiap negara mengedepankan dinamika dengan mitra tradisional yang akan membawa dampak yang lebih berkelanjutan, alih-alih menekankan pertimbangan pada kepentingan sesaat.

Referensi:


  1. Amy Kazmin, “Italy formally pulls out of China’s Belt and Road Initiative,” Financial Times, 6 Desember 2023, https://www.ft.com/content/946636dc-2fa1-4b2b-a83b-84478f804a83 (diakses pada 23 Desember 2023)
  2. Alys Davies, “Italy joining China’s Belt and Road Initiative was atrocious move, defence minister says,” BBC, 30 Juli 2023, https://www.bbc.com/news/world-europe-66354362 (diakses pada 23 Desember 2023)
  3. Associated Press, “Italy’s Meloni meets with China’s Li as Italy’s continued participation in ‘Belt and Road’ in doubt,” 9 September 2023, https://apnews.com/article/italy-china-bri-trade-g20-d94e104f25f915150b132faf4cda30bd (diakses pada 23 Desember 2023)
  4. Christoph Nedopil, “Countries of the Belt and Road Initiative,” 2023, Green Finance & Development Center, FISF Fudan University, https://greenfdc.org/countries-of-the-belt-and-road-initiative-bri/ (diakses pada 23 Desember 2023)
  5. Agnes Szunomar, “China in Europe: All for One and One for All?” The Diplomat, 29 Mei 2020, https://thediplomat.com/2020/05/china-in-europe-all-for-one-and-one-for-all/ (diakses pada 23 Desember 2023)
  6. Ilaria Mazzocco dan Andrea Leonard Palazzi, “Italy Withdraws from China’s Belt and Road Initiative,” Center for Strategic & International Studies, 14 Desember 2023, https://www.csis.org/analysis/italy-withdraws-chinas-belt-and-road-initiative (diakses pada 23 Desember 2023)
  7. Ibid.
  8. Ibid.
  9. David Sacks, “Why Is Italy Withdrawing From China’s Belt and Road Initiative?” Council on Foreign Relations, 3 Agustus 2023, https://www.cfr.org/blog/why-italy-withdrawing-chinas-belt-and-road-initiative (diakses pada 23 Desember 2023)
  10. Ibid.
  11. Angela Giuffrida, “Italy rattles US and EU with likely support for China’s Belt and Road,” The Guardian, 20 Maret 2019, https://www.theguardian.com/world/2019/mar/20/italy-rattles-us-and-eu-with-likely-support-for-chinas-belt-and-road (diakses pada 23 Desember 2023)
  12. BBC, “Italy joins China’s New Silk Road project,” 23 Maret 2019, https://www.bbc.com/news/world-europe-47679760 (diakses pada 23 Desember 2023)

Ignatius Edhi Kharitas adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *