Gelembung Utang Sang Kreditur: Pemerintah Daerah dan Utang Domestik di China

Gelembung Utang Sang Kreditur: Pemerintah Daerah dan Utang Domestik di China

Photo: wirestock via Freepik
Photo: wirestock via Freepik

Beberapa tahun terakhir, China telah menjadi pemain utama dalam pendanaan pembangunan di negara-negara berkembang.1 Sejak 2017, China resmi menjadi negara pemberi pinjaman bilateral terbesar di dunia, melalui program andalan Xi Jinping, yaitu Belt and Road Initiative (BRI).2 Berdasarkan laporan dari Aidata, sebuah pusat penelitian global yang berfokus pada riset pembangunan internasional, di tahun 2023, China telah mengeluarkan pendanaan mencapai 1 triliun dolar Amerika Serikat (AS) melalui program BRI, dengan 80% pinjaman digunakan untuk membantu berbagai proyek infrastruktur di negara Global South. Jumlah ini menjadikan China sebagai negara kreditur terbesar di dunia. Namun, di tengah sikap China yang “jor-joran” sebagai negara “pemberi” utang, sisi perekonomian China sendiri justru akhir-akhir ini mengalami perlambatan. Setidaknya dalam beberapa tahun belakangan, ekonomi China dihantui oleh kuatnya tekanan inflasi, krisis dalam sektor perumahan, dan makin meningkatnya risiko utang pemerintah daerah (municipal debt). Peningkatan pesat utang pemerintah daerah di China itu dapat dilihat dari perbandingan jumlah utang antara tahun 2008, yang masih berada di angka 5,7 triliun yuan, dan tahun 2010, di mana angka utang sudah berkembang menjadi 10,9 triliun yuan. Bahkan pada tahun 2013, utang pemerintah daerah di China telah merangkak lagi menjadi 17,9 triliun yuan.3 Kini, utang pemerintah daerah di China bahkan telah melebihi jumlah utang dari pemerintah pusat.4 Bagaimana China, yang dikenal royal memberikan kredit pada negara-negara lain melalui proyek BRI justru menghadapi kasus menggelembungnya utang pemerintah di dalam negerinya? Apa yang menyebabkan menumpuknya utang pemerintah, khususnya pemerintah daerah, di China itu? Mengapa China enggan membuka data terkait jumlah utang domestiknya itu? Artikel singkat ini adalah sebuah upaya awal untuk mencari jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan di atas.

Kondisi over borrowing, yaitu situasi di mana terdapat pinjaman melebihi kemampuan negara menghasilkan pendapatan, semakin meningkat di China semenjak krisis finansial 2008. Selain menyebabkan kondisi over borrowing di atas, krisis finansial 2008 juga menyebabkan ekonomi China mengalami penurunan drastis, mulai dari tingkat Produk Domestik Bruto (PDB) China menurun hingga 6,6% (2009), dan ekspor impor mencapai penurunan bulanan terbesar hingga 25,7 % dan 24,1 %.5 Menanggapi datangnya krisis tersebut, pemerintah China membuat kebijakan pemberian stimulus untuk melindungi perekonomian domestik pascakrisis.6 Paket stimulus ini mengadopsi tiga komponen pelonggaran kebijakan moneter. Pertama, syarat substansi terkait pinjaman yang dilonggarkan, mulai dari penurunan suku bunga, pengurangan syarat simpanan minimum (reserve requirements), dan target kredit yang agresif untuk bank. Komponen kedua adalah perencanaan investasi yang dikerahkan untuk pembangunan infrastruktur sebagai prioritas utama, dengan perkiraan stimulus mencapai 4 triliun yuan (650 miliar dolar AS).7 Sedangkan komponen ketiga adalah subsidi pengembangan industri-industri penting dan penurunan suku bunga hipotek.8

Sesuai dengan rencana pemerintah China, sumber dana untuk paket stimulus ini berasal dari tiga sumber, yaitu pemerintah pusat, pemerintah lokal (daerah), dan bank. Namun, pemerintah daerah sendiri memiliki kapasitas fiskal yang membuat mereka bergantung pada bank untuk pinjaman. Kapasitas fiskal pemerintah daerah ada kaitannya dengan celah kekurangan di sistem kelembangaan China. Akumulasi utang pemerintah daerah besar-besaran merupakan konsekuensi dari pengubahan hubungan kekuasaan negara (power reshuffling) yang terjadi di pemerintah pusat-daerah, khususnya dalam sistem tax-sharing (fen shui zhi 分税制) di tahun 1994.9 Tax-sharing system merupakan suatu kondisi redistribusi pendapatan pajak antara pemerintah pusat dan daerah, di mana kendali beberapa pendapatan pajak diresentralisasi ke pemerintah pusat, mengakibatkan pendapatan daerah menyusut secara signifikan.10 Terlebih lagi, reformasi fiskal ini membuat tanggung jawab pembangunan perkotaan terdesentralisasi, sedangkan penerimaan pajak daerah menurun akibat resentralisasi sistem pendapatan pajak.11 Hal ini menjadikan pemerintah daerah bertanggung jawab atas sebagian besar pembangunan infrastruktur dan pemberian layanan sosial, yang jumlahnya mencapai 85 % dari pengeluaran daerah.12 Namun, kerangka hukum China tidak memperbolehkan pemerintah daerah untuk melakukan pinjaman, pembiayaan defisit, dan menerbitkan obligasi daerah. Akibatnya, pendapatan daerah menyusut secara signifikan. Padahal beban pengeluaran daerah bukan hanya tidak berkurang, namun malah bertambah dalam beberapa kasus.13

Untuk mengatasi kesenjangan antara pendapatan dan belanja daerah, pemerintah daerah terpaksa membentuk Local Government Financing Vehicles (LGFVs), yang dalam bahasa Mandarin disebut Rongzi Pingtai (融资平台). LGFV pada hakikatnya merupakan suatu perusahaan milik daerah yang bertanggung jawab sebagai perantara agar pemerintah daerah dapat meminjam dan menggalang dana. LGFV menyediakan platform untuk memperoleh sumber pendanaan, mulai dari pinjaman bank, obligasi untuk investasi perkotaan (chengtouzhai城投债), dan pendanaan dari perusahaan investasi (yinxinzheng).14

Dengan kondisi LGFV semakin menjamur dan berperan penting dalam pembiayaan proyek daerah, pemerintah daerah semakin bergantung pada mekanisme di luar anggaran ini, di mana para skeptis meragukan transparansi dan akuntabilitas LGFV.15 Dengan pembangunan infrastruktur China sangat bergantung pada investasi pemerintah daerah, muncullah risiko baru terkait akumulasi utang di luar neraca keuangan yang semakin besar, atau yang biasa disebut hidden debt. Kantor Audit Nasional China (CNAO) (2017–2018) melaporkan bahwa terdapat banyak kasus di mana pemerintah daerah menyimpang dari peraturan sehingga menghasilkan utang tersembunyi.16 Cara akumulasi utang tersembunyi pemerintah daerah cukup bervariasi, mulai dari pinjaman ilegal melalui LGFV dan lembaga keuangan, proyek kemitraan publik-swasta palsu, jumlah utang langsung pemerintah daerah yang melebihi batas ketentuan undang-undang, dan peminjaman terselubung dengan menerbitkan surat komitmen dan menandatangani kontrak sewa/pembelian kembali.17 Sebanyak 26 pemerintah daerah terlibat dalam utang tersembunyi yang mencapai 35.688 miliar yuan (Rp84 triliun).18 International Monetary Fund (IMF) pada tahun 2019 juga memproyeksikan seluruh utang pemerintah daerah di luar anggaran di China telah mencapai 38.129 triliun yuan—hampir 43% PDB.19 Sebagaimana terlihat pada data dari S&P Global Ratings (2018), sebuah lembaga pemeringkat kredit dari Amerika Serikat, utang tersembunyi pemerintah daerah di China diperkirakan dapat mencapai  40 triliun yuan.20

Jika dikupas lebih dalam pada level pemerintahan daerah, terdapat dua aspek yang mempengaruhi penumpukan utang ini. Pertama adalah adanya persaingan antarotoritas daerah yang mendorong setiap pemerintah daerah melakukan pinjaman berlebih.21 Hal ini menjadi indikasi bahwa pemerintah daerah saling bersaing untuk mencapai kinerja ekonomi lebih baik. Aspek kedua adalah adanya komodifikasi tanah dan peningkatan biaya sewa tanah akibat lonjakan pasar properti yang telah menjadi sumber pendapatan utama pemerintah daerah.22 Namun, penjualan tanah ini berpotensi merugikan masa depan daerah, meningat adanya resiko kendala pasokan lahan.23

Dengan kondisi utang daerah yang semakin mengkhawatirkan, pemerintah pusat di China akhirnya melakukan berbagai upaya untuk menyelesaikan permasalahan ini. Tahun 2015, pemerintah pusat mengeluarkan aturan baru (New Budget Law) yang memperbolehkan pemerintah daerah untuk menerbitkan surat hutang (Local Government Bonds / LGB) dengan limit tertentu. Khususnya di tahun 2019, pemerintah pusat memperbolehkan penggunaan Special Purpose Bonds (SPBs) yang mampu meringankan kendala pendanaan investasi infrastruktur, yang sebelumnya didanai LGFV dan tercatat di luar neraca. Pemerintah pusat kini menetapkan kuota tahunan sebesar 3,8 triliun yuan (sekitar Rp8.300 kuadriliun) untuk SPB pemerintah daerah.24 Hal ini bermanfaat agar beban utang pemerintah daerah tidak bertambah, dan menjadi semakin transparan.

Baru-baru ini, pemerintah pusat China juga menerbitkan tambahan surat utang (obligasi) senilai 1 triliun yuan atau sekitar Rp2.100 triliun.25 Utang ini digunakan untuk meningkatkan kualitas infrastruktur perkotaan serta pembangunan wilayah yang terdampak banjir besar di Beijing, Hebei, dan wilayah Timur Laut, provinsi Utara lainnya, serta beberapa wilayah di China Selatan.26 Tentunya, gunungan utang China semakin menumpuk, seakan pemerintah China menggali lubang utang yang lebih dalam lagi.

Dapat disimpulkan, utang pemerintah daerah bagaikan pedang bermata dua. Pada satu sisi, stimulus oleh pemerintah pusat di tahun 2008 telah memposisikan LGFV dalam kondisi yang strategis dalam memanfaatkan likuiditas besar-besaran ini untuk mendanai proyek infrastruktur daerah. Oleh karena itu, utang ini memainkan peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan infrastruktur daerah. Namun, pertumbuhan besar-besaran ini memicu kekhawatiran akan menggelembungnya utang secara berlebih yang mampu menggangu stabilitas finansial di China. Permasalahan ini menjadi indikasi kelemahan fiskal pusat di pemerintahan China, di mana hal ini dapat meningkatkan risiko disintegrasi politik dalam negeri. Citra global pemerintah China sebagai “pemberi utang” seakan tidak relevan dengan realita domestik yang dihadapi pemerintah daerah di China. Tampaknya, pengaruh utang terhadap citra inilah yang membuat pemerintah China memutuskan untuk tidak merilis data resmi terkait besaran utang daerah yang dimilikinya. 


Referensi:

  1. Kaaresvirta, J., & Laakkonen, H. (2021). China as an international creditor (No. 5/2021). BOFIT Policy Brief.
  2. “China Owed More than US$1 Trillion in Belt and Road Debt: Report.” n.d. CNA. Diakses 9 November 2023. https://www.channelnewsasia.com/asia/china-belt-and-road-initiative-1-trillion-owed-debt-3902846.
  3. Xu, J., & Zhang, X. (2014). China’s sovereign debt: A balance-sheet perspective. China Economic Review31, 55-73.
  4. Ibid.
  5. https//elischolar.library.yale.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=15473&context=ypfs-documents
  6. Pan, F., Zhang, F., Zhu, S., & Wójcik, D. (2017). Developing by borrowing? Inter-jurisdictional competition, land finance and local debt accumulation in China. Urban Studies, 54(4), 897-916.
  7. García-Herrero, A., & Xia, L. (2014). China’s Debt Problem: How Worrisome and How to Deal with it?. Observatorio de Divulgación Financiera Documento de Trabajo, (15).
  8. Ibid.
  9. Pan, F., Zhang, F., Zhu, S., & Wójcik, D. “Developing by borrowing? Inter-jurisdictional competition, land finance and local debt accumulation in China”
  10. Liu, A. Y., Oi, J. C., & Zhang, Y. (2022). China’s local government debt: the grand bargain. The China Journal, 87(1), 40-71.
  11. Pan, F., Zhang, F., Zhu, S., & Wójcik, D. “Developing by borrowing? Inter-jurisdictional competition, land finance and local debt accumulation in China”
  12. Ibid.
  13. Ibid.
  14. Liu, A. Y., Oi, J. C., & Zhang, Y. (2022). China’s local government debt: the grand bargain.
  15. Pan, F., Zhang, F., Zhu, S., & Wójcik, D. “Developing by borrowing? Inter-jurisdictional competition, land finance and local debt accumulation in China”
  16. Lan Bo, Haixin Yao & Fred C.J. Mear (2021) New development: Is China’s local government debt problem getting better or worse?, Public Money & Management, 41:8, 663-667, DOI: 10.1080/09540962.2021.1881273.
  17. Ibid.
  18. Ibid.
  19. International Monetary Fund. (2019). https://www.imf.org/ en/News/Articles/2019/08/09/pr19314-china-imf-executi ve-board-concludes-2019-article-iv-consultation.
  20. S&P Global Ratings. (2018). S&P: Chinese local governments’ hidden debt could be as high as US$6 trillion. https:// www.spglobal.com/marketintelligence/en/news-insights/ trending/masuycwfcn-u4yq878qu-a2.
  21. Pan, F., Zhang, F., Zhu, S., & Wójcik, D. “Developing by borrowing? Inter-jurisdictional competition, land finance and local debt accumulation in China”
  22. Ibid.
  23. Ibid.
  24. https://www.reuters.com/markets/rates-bonds/chinas-new-bonds-help-economic-recovery-official-says-budget-deficit-rises-2023-10-25/
  25. https://www.china-briefing.com/news/china-treasury-bonds-issued-to-local-governments-in-q4-2023/
  26. Ibid.

Priska Limandar adalah alumni Progam Studi Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara, kini bekerja sebagai peneliti junior pada Forum Sinologi Indonesia (FSI), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *