Perlambatan Ekonomi China dan Pengangguran Anak Muda: Tantangan Bagi Doktrin Kemakmuran Bersama Xi Jinping

Perlambatan Ekonomi China dan Pengangguran Anak Muda: Tantangan Bagi Doktrin Kemakmuran Bersama Xi Jinping

Sumber Foto: REUTERS/Stringer
Sumber Foto: REUTERS/Stringer

Dalam beberapa tahun terakhir, pengangguran anak muda menjadi permasalahan yang cukup memprihatinkan di China. Berdasarkan data Biro Statistik Nasional China, tingkat pengangguran anak muda di negeri itu telah mencapai rekor 21,3% di bulan Juni 2023 (di luar data di pedesaan).1 Jumlah ini mengalami kenaikan drastis sejak Mei 2018, ketika angka pengangguran di kalangan anak muda masih di bawah 10%.2 Zhang Dandan, asisten professor dari Universitas Peking, China, bahkan berpandangan bahwa angka pengangguran anak muda di China yang sebenarnya mungkin bahkan telah mencapai 46,5%.3

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, peningkatan pengangguran ini menjadi permasalahan yang menarik dan penting untuk diperhatikan. Apalagi, permasalahan ini tampaknya juga membuat risau pemerintah China sehingga mereka memutuskan untuk memberhentikan rilis statistik angka pengangguran di bulan-bulan selanjutnya, terutama sejak tingkat pengangguran mencapai rekor tertinggi pada bulan Juni 2023.4 Sikap ini berakibat pada munculnya sentimen negatif dari masyakarat pada pemerintah China yang mereka anggap menutupi “berita buruk” di negaranya.5

Terlepas dari keputusan pemerintah untuk menghentikan rilis angka pengangguran dan sentimen negatif masyarakat, permasalahan mengenai pengangguran perlu untuk dipahami karena merupakan salah satu tolok ukur penting bagi perekonomian sebuah negara. Apa yang membuat fenomena pengangguran menggelembung? Apa saja faktor yang mempengaruhi perubahan fundamental di dunia kerja dan masyarakat China ini? Apa indikasi fenomena ini dan kaitannya dengan kepemimpinan Xi Jinping? Artikel ini akan mencoba untuk mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan di atas.

Pesta Pengunduran Diri, Tren Rebahan, dan Pilihan untuk Menganggur

Sebelum mendiskusikan hal-hal yang melatarbelakangi berkembangnya fenomena pengangguran di China, ada baiknya kita memperhatikan lebih dahulu berkembangnya berbagai tren di kalangan anak muda di China, yang memiliki keterkaitkan dengan fenomena pengangguran itu. Salah satunya adalah tren untuk mengadakan “Pesta Pengunduran Diri.” Yang dimaksud dengan “Pesta Pengunduran Diri” adalah para pekerja muda yang merayakan pengunduran diri dari pekerjaan stabil mereka dengan mengadakan pesta dan menabuh gong, yang mencerminkan ritual pernikahan tradisional.6 Tren untuk mengadakan pesta semacam ini tersebar luas di media sosial China dan diikuti oleh sejumlah besar anak muda China yang berumur 20-an hingga 30-an. Menjamurnya tren ini merefleksikan tren yang lebih besar, yaitu pengunduran diri anak-anak muda di China dari pekerjaan mereka. Alasan para anak muda itu untuk mengundurkan diri dari dunia kerja sangat bervariasi, mulai dari upah minim, kelelahan, hingga dunia pekerjaan yang tidak sesuai ekspetasi.7 Berdasarkan survey dari platform media sosial 脉脉 (Maimai) terhadap 1.554 karyawan di berbagai sektor pada periode antara Januari hingga Oktober 2022, sebanyak 28% responden telah mengundurkan diri dari pekerjaan mereka.8 Maimai merupakan suatu platform sosial ternama untuk mencari pekerjaan di China yang didirikan pada tahun 2013, dengan pengguna aktif mencapai 29 juta pengguna.9

Seiring dengan fenomena pengunduran diri di atas, muncul fenomena yang dikenal dengan istilah “anak purnawaktu.” Istilah ini merujuk pada sebuah kecenderungan sebagian anak-anak muda di China untuk memilih tinggal di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga dengan imbalan gaji dari orang tua mereka, alih-alih mencari pekerjaan di perusahaan. Selain itu, bersamaan dengan tren “anak purnawaktu” itu, berkembang pula sebuah gaya hidup baru di kalangan anak-anak muda di China, yang menekankan pada kecenderungan untuk mengejar kehidupan yang lebih santai. Gaya hidup yang dikenal dengan istilah 躺平 (tǎng píng), atau dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai “kaum rebahan” ini, merefleksikan kecenderungan baru anak-anak muda di China untuk tidak bekerja terlalu keras, puas dengan pencapaian yang ada, dan menyediakan waktu untuk bersantai bagi diri mereka.10

Munculnya fenomena-fenomena yang berkembang di atas tampaknya berkaitan erat dengan permasalahan dan tekanan berat yang tengah dihadapi anak muda China. Permasalahan pertama bermula dari pandemi Covid-19 yang memiliki andil besar terhadap keadaan yang memburuk ini. Pemberlakuan zero-Covid policy oleh pemerintah China telah merampas periode penting di awal karir para generasi muda karena tidak bisa mendapatkan pekerjaan dan pengalaman kerja. Isolasi besar-besaran yang diberlakukan membuat berbagai aktivitas ekonomi terhambat, yang pada gilirannya mengakibatkan menurunnya upah dan lapangan kerja secara signifikan di China. Para pekerja, termasuk pegawai negeri, dan pekerja di bidang teknologi dan finansial mengalami pemotongan gaji, bahkan hingga mencapai 40%.11 Terlebih, pemutusan hubungan kerja (PHK) massal terjadi hingga lebih dari 200.000 pekerjaan di bidang teknologi.12 Situasi di atas mengakibatkan hadirnya sebuah kondisi yang tidak ideal bagi anak muda di China, yang tengah berusaha mencari pekerjaan. Setelah kebijakan penangan Covid-19 yang sangat ketat itu dilonggarkan, China tetap saja berada dalam tahap pemulihan ekonomi yang lamban, yang ditandai dengan melemahnya permintaan konsumen hingga ketidakstabilan di sektor properti.13 Lambatnya pemulihan ekonomi yang menimpa berbagai sektor tersebut berakibat pada berkurangnya kemampuan perusahaan-perusahaan untuk merekrut lebih banyak karyawan.

Selain permasalahan yang disebabkan oleh Covid-19,  ketidakcocokan antara edukasi dan kesempatan kerja yang ada juga menjadi sebuah problema yang berkontribusi bagi berkembangnya fenomena pengangguran di kalangan anak-anak muda di China. Generasi muda di China pada umumnya meyakini bahwa pendidikan tinggi dapat menuntun mereka untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi. Namun, realita berkata sebaliknya. Setelah mereka tumbuh dewasa, pekerjaan sulit didapat dan penuh persaingan. Pada akhir tahun 2023 saja, terdapat sekitar 11,6 juta lulusan yang diperkirakan akan memasuki dunia pekerjaan di China.14 Ketatnya persaingan memperoleh pekerjaan mendesak mereka untuk memasuki lapangan pekerjaan yang masih tersedia, yang sebenarnya tidak membutuhkan keahlian dan gelar yang mereka miliki. Sebagai akibatnya, anak-anak muda di China merasa ilmu yang mereka timba selama ini menjadi sia-sia. Meskipun mungkin mereka mendapatkan sebuah pekerjaan yang relatif stabil, ketidaksesuain antara keahlian dan lapangan kerja ini membuat mereka tidak puas dengan kehidupan dan pekerjaan mereka secara keseluruhan.

Kondisi di atas mendorong banyak lulusan sarjana untuk melanjutkan studi mereka ke jenjang pascasarjana, dengan harapan mereka akan memiliki peluang kerja lebih tinggi setelah lulus. Kecenderungan ini terlihat, misalnya pada tahun 2023, ketika jumlah siswa yang mengikuti ujian masuk pascasarjana meningkat sebesar 135% dibandingkan 5 tahun sebelumnya.15 Bila pada tahun 2017 terdapat sekitar 2 juta sarjana mengikuti tes masuk program pascasarjana, pada 2023 jumlah peserta tes meningkat menjadi 4,74 juta.16 Tanpa pengalaman kerja dan keterampilan praktis, kecenderungan ini berpotensi menjadi “bom waktu” yang malah akan memperburuk kondisi pengangguran anak muda. Sebagaimana disampaikan oleh Liu Ye, akademisi yang mengajar mata kuliah pembangunan internasional di Universitas London, kondisi overqualified (situasi di mana individu memiliki kualifikasi lebih tinggi daripada yang dibutuhkan untuk memenuhi pekerjaan atau posisi tertentu) dan pengangguran tinggi di kalangan lulusan menunjukkan adanya ketidaksesuain supply (pasokan)dan demand (permintaan)antara ketersediaan gelar dan pertumbuhan lapangan kerja.17 Akhirnya, peluang kerja bagi para lulusan pascasarjana ini pun akan menyusut, sementara persaingan untuk memperoleh pekerjaan menjadi semakin sengit.

Akhirnya, selain dampak dari pandemik Covid-19 serta ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dan posisi yang diperoleh dalam dunia kerja, budaya kerja “996” juga menjadi salah satu faktor bagi keengganan anak-anak muda di China untuk memasuki dunia kerja dan bertahan di dalamnya. Fenomena “996” ini merujuk pada tuntutan bagi para pekerja di China untuk bekerja dari jam 9 pagi hingga 9 malam selama 6 hari dalam seminggu. Keseimbangan yang sangat buruk antara pekerjaan dan kehidupan pribadi di China mendorong etos kerja generasi muda tersebut menurun.  

Tantangan bagi Pemerintah

Berkembangnya fenomena pengangguran dan berbagai tren terkait yang digambarkan di atas seyogyanya menjadi perhatian bagi pemerintah China. Akan tetapi, respons pemerintah sejauh ini masih berupa sebatas imbauan agar anak-anak muda menimbang ulang ekspektasi mereka dan berhenti pilih-pilih pekerjaan.18 Secara khusus, Xi Jinping menginstruksikan agar para lulusan ini untuk bekerja di daerah pedesaan, yang mana hal ini memicu perdebatan bahwa usulan Xi tersebut adalah pandangan yang berorientasi ke belakang.19 Padahal, hadirnya fenomena pengangguran di kalangan anak muda China ini tentu tak sejalan dengan narasi pemerintahan Xi, yang menekankan pada upaya pemerintah menghadirkan kemakmuran bersama dibawah Partai Komunis China.20 Oleh karenanya, demi menghindari kesenjangan antara narasi kemakmuran bersama (共同富裕 gòngtóng fùyù) yang didengungkan Presiden Xi dengan kenyataan di lapangan, pemerintahan China perlu menyiapkan seperangkat aturan yang mendorong pembukaan lapangan pekerjaan yang tepat sasaran bagi anak-anak muda di China sesuai dengan kualifikasi mereka.

Referensi:


  1. Rao Pallavi, “Charted: Youth Unemployment in the OECD and China,” Visual Capitalist, 31 Agustus 2023, tersedia secara daring pada https://www.visualcapitalist.com/youth-unemployment-in-oecd-and-china/
  2. Ibid
  3. Reuters, “Chinese Professor Says Youth Jobless Rate Might Have Hit 46.5%,” sec. Business News, 20 Juli 2023, tersedia secara daring pada https://www.reuters.com/article/china-economy-youth-unemployment-idUSKBN2Z00HN
  4. Ibid
  5. Yeung, Berry Wang, Jessie, “Why China’s Young People Are Quitting Their Jobs and Throwing ‘resignation Parties’ | CNN Business.” CNN, 5 Oktober 2023, tersedia secara daring pada https://www.cnn.com/2023/10/05/economy/china-youth-resignation-parties-intl-hnk/index.html
  6. Asian Observer, “Why China’s Youth Are Throwing ‘Resignation Parties’, Opting Out Of ‘Rat Race’”, 6 Oktober 2023, tersedia secara daring pada https://theasianobserver.com/why-chinas-youth-are-throwing-resignation-parties-opting-out-of-rat-race/
  7. Yeung, Berry Wang, Jessie, “Why China’s Young People Are Quitting Their Jobs and Throwing ‘resignation Parties’
  8. “Gen Z Dan Milenial China Ramai-Ramai ‘Pesta Resign’, Kenapa?”, CNN Indonesia, 5 Oktober 2023, tersedia secara daring pada https://www.cnnindonesia.com/internasional/20231005183850-113-1007707/gen-z-dan-milenial-china-ramai-ramai-pesta-resign-kenapa/1 (Diakses pada 29 Oktober 2023)
  9. China Digital Marketing Agency, “Maimai – Chinese alternative to LinkedIn,” 6 Juni 2023, tersedia secara daring pada https://www.linkedin.com/pulse/maimai-chinese-alternative-linkedin/
  10. Karry Allen, “China’s new ‘tang ping’ trend aims to highlight pressures of work culture,” BBC, 3 Juni 2021, tersedia secara daring pada https://www.bbc.com/news/world-asia-china-57348406
  11. Nanci Qian, “China’s Youth Unemployment Problem,” Kellogg Insight, 3 Juni 2023, tersedia secara daring pada https://insight.kellogg.northwestern.edu/article/chinas-youth-unemployment-problem
  12. Ibid.
  13. Thea Arbar, “Ekonomi China Dalam Bahaya, Ini Tanda Terbarunya,” CNBC Indonesia, 9 Desember 2023, tersedia secara daring pada https://www.cnbcindonesia.com/news/20231209131107-4-495865/ekonomi-china-dalam-bahaya-ini-tanda-terbarunya
  14. CNN, “Gen Z Dan Milenial China Ramai-Ramai ‘Pesta Resign’, Kenapa?”
  15. Christian Yao, “China’s youth unemployment problem has become a crisis we can no longer ignore,” The Conversation, 8 Oktober 2023, tersedia secara daring pada http://theconversation.com/chinas-youth-unemployment-problem-has-become-a-crisis-we-can-no-longer-ignore-213751
  16. Ibid
  17. Yuchen Li, “Why Is China Hiding Its Youth Unemployment Rate?” Dw, 24 Agustus 2023, tersedia secara daring pada https://www.dw.com/en/why-is-china-hiding-its-youth-unemployment-rate/a-66619871 (Diakses pada 28 Oktober 2023)
  18. Claire Fu, “China Suspends Report on Youth Unemployment, Which Was at a Record High,” The New York Times, 15 Agustus 2023, tersedia secara daring pada https://www.nytimes.com/2023/08/15/business/china-youth-unemployment.html
  19. Li Yuan, “China’s Young People Can’t Find Jobs. Xi Jinping Says to ‘Eat Bitterness’,” The New York Times, tersedia secara daring pada https://www.nytimes.com/2023/05/30/business/china-youth-unemployment.html
  20. Karishma Vaswani, “China: Bagaimana ‘kemakmuran bersama’ ala Xi Jinping bisa mempengaruhi dunia?” BBC, tersedia secara daring pada https://www.bbc.com/indonesia/dunia-58718353


Priska Limandar adalah alumni Progam Studi Hubungan Internasional, Universitas Bina Nusantara, kini bekerja sebagai peneliti junior pada Forum Sinologi Indonesia (FSI), Jakarta.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *