Tahun Baru Imlek di Indonesia: Sebuah Perayaan Budaya Lintas Agama dan Etnis

Tahun Baru Imlek di Indonesia: Sebuah Perayaan Budaya Lintas Agama dan Etnis

Tari naga dibawakan di bawah ribuan lampion Foto: Agoes Rudianto
Tari naga dibawakan di bawah ribuan lampion Foto: Agoes Rudianto

Oleh: A. Dahana dan J. Herlijanto

Hari libur nasional di Indonesia pada umumnya selalu dihubungkan dengan hari besar agama yang dianggap sebagai “agama resmi” oleh pemerintah. Pengecualian hanya berlaku pada Hari Kemerdekaan, yang diperingati pada tanggal 17 Agustus, Hari Pancasila yang jatuh pada setiap 1 Juni, Hari Buruh pada tanggal 1 Mei, dan Tahun Baru, yang dirayakan pada hari pertama setiap tahun menurut hitungan penanggalan Masehi. Penetapan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional sejak dua dasawarsa yang lalu tampaknya juga masih berkaitan dengan kecenderungan di atas. Namun, apakah Imlek hanya merupakan sebuah hari besar salah satu agama resmi di negara ini atau memiliki makna yang lebih luas, hal ini masih menjadi perbincangan hangat dalam beberapa kalangan masyarakat. Permasalahan inilah yang akan kami coba bahas kembali dalam tulisan singkat ini.

Dua Pandangan Seputar Tahun Baru Imlek

          Sampai saat ini, setidaknya beredar dua pandangan yang agak berbeda seputar hari raya Tahun Baru Imlek, atau yang dalam bahasa sehari-hari sering disebut Imlek saja. Pendapat pertama, mengaitkan Imlek dengan agama Kong Hu Cu. Kecenderungan ini bukan hanya baru beredar sejak agama Kong Hu Cu secara resmi kembali diakui oleh negara, namun sudah berkembang jauh sebelumnya. Salah satu contoh dari pandangan ini adalah ketika seorang Tionghoa yang menganut agama selain Kong Hu Cu menyatakan bahwa ia tidak merayakan Imlek karena ia bukan penganut agama Kong Hu Cu. Contoh lain, yang terlihat jelas saat ini, adalah penetapan tahun Imlek berdasarkan tahun lahir nabi Kong Hu Cu, yaitu tahun 551 S.M. Berdasarkan penetapan tersebutlah Imlek tahun ini disebut sebagai tahun 2574. Lagi sebuah contoh, seorang kawan kami yang berasal dari Taiwan agak merasa aneh ketika melihat kelender Indonesia yang mencantumkan Imlek dengan angka tahun karena di negerinya Imlek ya Imlek saja tanpa ada tambahan tahun.

Suasana pawai pesta rakyat Cap Go Meh Street Festival di Jalan Suryakencana, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/03/2018). Foto/MAULANA MAHARDHIKA

          Pandangan lainnya lebih menekankan Tahun Baru Imlek sebagai hari raya orang Tionghoa secara umum. Mereka yang setuju dengan pandangan ini biasanya merujuk pada kenyataan bahwa banyak orang Tionghoa yang bukan penganut agama Kong Hu Cu pun masih merayakan Imlek. Orang-orang Tionghoa ini bukan saja terdiri dari mereka yang telah menganut agama-agama yang berasal dari luar Tiongkok, seperti Budha, Kristen atau Islam, namun juga termasuk mereka yang menganut agama tradisional Tiongkok, misalnya agama Tao. Berdasarkan kenyataan inilah beredar pandangan bahwa Imlek merupakan pesta budaya seluruh orang Tionghoa, dan bukan hanya milik penganut agama tertentu. Kedua pandangan di atas tentu masing-masing memiliki kebenarannya sendiri. Namun demikian, keduanya juga dapat dianggap memiliki problema, terutama bila dikontekstualisasikan dengan kondisi masyarakat Indonesia secara umum.

Imlek dan Agama Kong Hu Cu

          Anggapan bahwa Imlek berhubungan erat dengan ajaran Agama Kong Hu Cu tentu bukanlah anggapan yang keliru. Perayaan Imlek memang sangat sesuai dengan ajaran Kong Hu Cu, baik sebagai sebuah agama maupun sebagai ajaran filsafat yang dijadikan pegangan oleh orang Tionghoa secara luas. Kesesuaian ini terlihat pada rangkaian aktivitas yang dilakukan masyarakat Tionghoa di Indonesia dalam menyambut datangnya hari raya ini.

          Kegiatan menyambut Imlek di kalangan orang Tionghoa di Indonesia biasanya diisi dengan acara saling mengunjungi di antara sanak saudara. Melalui acara ini, tradisi penghormatan dari yang muda kepada yang lebih tua terus terpelihara dengan baik. Acara kunjungan biasanya dilakukan oleh orang yang lebih muda ke tempat mereka yang lebih tua atau paling tua dalam keluarga. Orang-orang yang lebih muda ini mengucapkan selamat Imlek pada mereka yang lebih tua. Sebaliknya, orang-orang yang lebih tua biasanya memberikan semacam “hadiah” pada mereka yang lebih muda. Di kalangan masyarakat Tionghoa di Indonesia, hadiah tersebut biasanya berupa uang dalam amplop merah (angpau) dan lazimnya hanya diberikan pada mereka yang dianggap belum dewasa.

Suasana pawai pesta rakyat Cap Go Meh Street Festival di Jalan Suryakencana, Kota Bogor, Jawa Barat, Jumat (2/03/2018). Foto/MAULANA MAHARDHIKA

          Kegiatan kunjung-mengunjungi, saling memberi hormat, dan pemberian hadiah di atas sangat mencerminkan ajaran Kong Hu Cu yang mengutamakan hubungan antara manusia dengan manusia lain, khususnya dalam keluarga. Lima Hubungan Besar, yang merupakan salah satu ajaran utama nabi Kong Hu Cu menekankan pentingnya menjaga hubungan yang baik antara raja dan menterinya, suami dan istri, ayah dan anak-anaknya, kakak laki-laki dan adiknya, serta antara teman. Sebuah hubungan dapat dianggap baik bila setiap orang bertindak sesuai dengan perannya. Misalnya, seorang anak melakukan kewajibannya untuk memberikan penghormatan pada ayahnya, dan sebaliknya seorang ayah melakukan tugasnya untuk mengayomi anak-anaknya. Hubungan semacam ini beserta perluasannyalah yang terlihat dalam acara kunjung- mengunjungi di kalangan masyarakat Tionghoa pada saat Imlek. Oleh sebab itu, sangatlah tepat bila Imlek dipahami sebagai sebuah hari raya yang berkaitan erat dengan ajaran dan agama Kong Hu Cu.

Imlek Sebagai Hari Raya Orang Tionghoa

          Meskipun pendapat bahwa Imlek berhubungan erat dengan ajaran dan agama Kong Hu Cu adalah sebuah pendapat yang tepat, mengaitkan hari raya ini dengan Konfusianisme semata tentu akan memunculkan problem. Pertama, tradisi perayaan Imlek, selain diisi dengan acara-acara yang mencerminkan ajaran Kong Hu Cu, juga dipenuhi dengan berbagai ritual yang merupakan tradisi Tionghoa secara turun-temurun. Kegiatan penyembahan terhadap dewa-dewa tertentu bukanlah merupakan bagian dari ajaran Kong Hu Cu, namun lebih merupakan bagian dari agama Tionghoa lainnya, khususnya agama Tao. Dengan demikian, kecenderungan menghubungkan Imlek dengan agama Kong Hu Cu saja, sadar atau tidak sadar berakibat pada terpinggirkannya agama-agama tradisional Tionghoa yang lain. Hal ini tentu tidak diinginkan, baik oleh masyarakat Indonesia, orang-orang Tionghoa secara umum, maupun para penganut agama Kong Hu Cu.

          Kedua, selain dirayakan oleh para penganut agama Kong Hu Cu dan agama tradisional Tiongkok lainnya, Imlek juga dirayakan oleh orang-orang Tionghoa yang menganut agama-agama yang berasal dari “luar” Tiongkok, misalnya Budha, Islam, dan Kristen. Kebanyakan orang Tionghoa yang menganut agama-agama tersebut biasanya turut serta dalam berbagai kegiatan menyambut tahun baru ini, meski dengan cara-cara yang tidak bertentangan dengan agama yang mereka peluk. Hal ini tentunya dapat dipahami mengingat Imlek sebenarnya merupakan sebuah pesta penyambutan datangnya tahun yang baru berdasarkan kalender Tionghoa. Pesta ini telah menjadi tradisi yang diturunkan di kalangan orang Tionghoa dari generasi ke generasi tanpa memandang apa pun agama yang dipeluknya.

          Melihat dua alasan di atas, tampaknya akan lebih adil bila Imlek dipandang sebagai hari raya yang dirayakan oleh orang Tionghoa tanpa memandang agama yang mereka anut. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa Imlek merupakan sebuah pesta yang melintasi batas-batas agama. Namun, meski terkesan sahih, pandangan yang mengaitkan Imlek dengan komunitas Tionghoa semata dapat pula membawa sebuah problem baru. Ia seakan mereproduksi pandangan umum, yang lebih banyak salahnya, mengenai sifat eksklusif masyarakat Tionghoa di Indonesia.

Imlek sebagai Pesta Lintas Budaya

          Problematika di atas sebenarnya dapat teratasi apabila kita memberikan perhatian yang lebih dalam pada keunikan yang terdapat pada perayaan Imlek di Indonesia. Berbeda dengan kebiasaan di beberapa negara lain, Imlek di Indonesia lebih meriah justru karena keikutsertaan masyarakat non-Tionghoa dalam menyambut hari raya ini. Pawai mengarak para dewa, yang dikenal sebagai gotong toapekong, biasanya dipadati oleh para penonton yang berasal dari berbagai latar belakang etnik, kelas, dan agama. Bahkan, di antara mereka yang turut serta menggotong toapekong-toapekong tersebut, ada juga orang-orang bukan Tionghoa yang ingin berpartisipasi atas keinginannya sendiri. Bahkan, tak jarang para pemain barongsai atau liong pun terdiri dari orang-orang yang lebih populer disebut “pribumi”. Ini menunjukan tentang keanekaragaman dari khalayak yang turut serta dalam pesta menyambut hari raya ini.

          Keragaman di atas menyiratkan bahwa selain dapat dianggap sebagai pesta lintas agama, Imlek dapat pula dimaknai sebagai sebuah pesta budaya lintas etnis. Pemaknaan semacam ini meski masih perlu dikaji lebih jauh lagi, memiliki signifikansi tersendiri bagi bangsa Indonesia. Pertama, pemaknaan ini memperlihatkan kembali hubungan yang sangat erat di dalam masyarakat Indonesia pada tingkat nonelit, khususnya antara mereka yang disebut sebagai “pribumi”, dengan masyarakat Tionghoa dan budaya mereka. Perayaan Imlek yang pada awalnya merupakan budaya dari negeri Tiongkok kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Indonesia. Ia bukan lagi hanya milik orang Tionghoa semata, melainkan milik bangsa Indonesia.

Pawai Tatung di Singkawang/Foto: News.detik.com

          Selain itu, pemaknaan ini dapat menghindarkan manusia-manusia Indonesia dari tindakan yang oleh Ariel Haryanto, profesor asal Indonesia yang mengajar di Australia, disebut sebagai “bentuk baik” dari tindakan rasis. Menurut Ariel, ungkapan selamat Imlek oleh seseorang kepada seorang lainnya biasanya didahului dengan sebuah proses kategorisasi dalam diri si pemberi ucapan pada yang ia beri ucapan. Proses itu, dengan demikian rawan terhadap praktik “rasisme tak sengaja”. Dalam pandangan kami, kita akan terbebas dari praktik “rasisme tak sengaja” itu bila Imlek kita maknai bukan lagi sebagai perayaan milik etnis Tionghoa semata, namun sebagai sebuah perayaan budaya milik bangsa Indonesia. Dengan demikian, setiap orang di negeri ini dapat mengucapkan selamat Imlek kepada orang Indonesia lainnya tanpa khawatir kalau-kalau ia telah melakukan proses “pen-Cinaan” terhadap orang tersebut. Sebagai catatan akhir, ini hanya sebuah gagasan dari kami berdua. Selamat merayakan Imlek. Xinchun gongxi, tianfu tianshou, gongxi facai, gongjia xinxi, wanshi ruyi. Semoga Tahun Baru Imlek membawa kebahagiaan, kesejahteraan, kemakmuran, ketenangan, dan keamanan untuk seluruh bangsa Indonesia.

A. Dahana dan J. Herlijanto adalah pendiri Forum Sinologi Indonesia
Catatan: Versi awal dari artikel ini pernah diterbitkan di Koran Sindo dan Majalah Gatra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *