Dinamika Baru Hubungan Jerman–China: Lawatan Kanselir Scholz di Tengah Wacana “Decoupling”

Dinamika Baru Hubungan Jerman–China: Lawatan Kanselir Scholz di Tengah Wacana “Decoupling”

Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam kunjungan resminya ke Tiongkok di Great Hall of the People di Beijing, ibu kota China, 4 November 2022. Foto: (Xinhua/Yao Dawei)
Presiden Tiongkok Xi Jinping bertemu dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam kunjungan resminya ke Tiongkok di Great Hall of the People di Beijing, ibu kota China, 4 November 2022. Foto: (Xinhua/Yao Dawei)

Bulan November 2022 lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz mengunjungi China bersama dengan rombongan eksekutif puncak perusahaan Jerman. Kunjungan ini mengirimkan pesan yang jelas: bisnis dengan ekonomi terbesar kedua di dunia itu harus terus dilanjutkan. Scholz bertemu dengan pemimpin China Xi Jinping di Balai Besar Rakyat setelah mendarat di ibu kota Beijing pada Jumat, 4 November, pagi hari, dan beraudiensi dengan Perdana Menteri Li Keqiang pada sore hari. Dalam kunjungan kilat satu hari tersebut, Kanselir Scholz turut membawa delegasi dari 12 raksasa industri Jerman, termasuk CEO Volkswagen, Deutsche Bank, perusahaan teknologi Siemens dan industri bahan kimia BASF. Delegasi industri Jerman ini diharapkan bertemu dengan delegasi perusahaan China secara tertutup.
Lawatan ini memiliki makna penting bagi kedua negara, mengingat China adalah mitra dagang terbesar Jerman sejak 6 tahun terakhir, dengan volume perdagangan mencapai 245 juta euro pada 2021. Namun demikian, data statistik yang impresif di atas kertas tidak menjamin hubungan tanpa hambatan. Akhir-akhir ini dalam blok Uni Eropa (UE), di mana Jerman menjadi salah satu pemain utama, mengemuka wacana “decoupling” dari China, yang berarti Eropa merasa perlu mengurangi ketergantungan perdagangan dengan negeri yang dahulu populer dengan sebutan Tirai Bambu itu. Hal ini tampaknya sukar dipisahkan dari hubungan bilateral UE dan China yang semakin memburuk setahun terakhir. Mengutip pernyataan biro urusan diplomatik UE, The European External Action Service, perburukan hubungan tersebut terutama terkait dengan meningkatnya sejumlah gangguan, seperti tindakan balasan China terhadap sanksi UE tentang hak asasi manusia, tekanan ekonomi dan perdagangan terhadap pasar tunggal, dan posisi China dalam perang di Ukraina. Langkah Kanselir Scholz yang bersikeras mempertahankan hubungan bisnis dengan China, sekaligus mengesampingkan wacana “decoupling” dari negara tersebut, berseberangan dengan sejumlah aktor politik domestik Jerman, maupun negara sahabat di UE dan belahan dunia lain. Mengapa Kanselir Scholz tampak kukuh mempertahankan prinsip business first dalam hubungan negaranya dengan China? Apakah prinsip itu adalah langkah baru dalam dinamika hubungan Jerman–China? Apakah strategi tersebut akan membawa perubahan dalam hubungan China dengan Jerman, maupun UE secara umum? Artikel pendek ini akan mengulas serangkaian pertanyaan di atas.

Sejarah Prinsip Business First dalam Hubungan Jerman–China

Menurut penelitian Kundnani dan Parello-Plesner, setidaknya sejak era pemerintahan Kanselir Gerhard Schröder (1998–2005), pendekatan Jerman terhadap China selalu berlandaskan prinsip yang dalam bahasa Jerman disebut Wandel durch Handel, yang berarti bahwa cara terbaik untuk melakukan transformasi adalah melalui perdagangan. Salah satu misi utama pendekatan tersebut adalah pertukaran ekonomi yang diharapkan akan membawa perubahan sosial. Oleh karena itu, Schröder dan para politisi Partai Sosial Demokrat lainnya cenderung memberi penekanan pada kerja sama, alih-alih konfrontasi dengan China. Di samping itu, mereka juga cenderung mengesampingkan isu hak asasi manusia (HAM) dalam hubungan kedua negara. Pihak Jerman memusatkan perhatian pada isu-isu seperti hukum perdagangan, yang lebih mudah didiskusikan dengan China, karena dianggap perlu untuk pembangunan ekonomi. Namun dengan melalui diplomasi yang terampil di belakang layar, para pejabat Jerman juga berupaya agar China secara bertahap melakukan reformasi terhadap pendekatan HAM di negara itu. Di lain pihak, isu HAM, khususnya kebebasan berpendapat, bergaung kencang di kalangan masyarakat Jerman, mungkin karena pengalaman rakyat Jerman sendiri yang pernah mengalami masa pemerintahan totaliter. Hal ini dapat diamati dari fokus media Jerman yang sangat intensif mengangkat isu HAM di China, seperti isu Tibet dan para disiden China yang hidup sebagai eksil di Eropa.

Ketika Angela Merkel, politisi Partai Christian Democratic Union (CDU), menggantikan Schröder sebagai kanselir Jerman pada 2005, dia awalnya sempat berusaha lebih menekankan isu HAM dalam hubungan dengan China. Misalnya, pada 2007 Kanselir Merkel menerima kunjungan Dalai Lama. Langkah tersebut memicu ketegangan diplomatik yang sangat serius, sampai-sampai menteri luar negeri Jerman saat itu, Frank-Walter Steinmeier, dilaporkan harus secara khusus bersurat dengan mitranya untuk menegaskan pengakuan Jerman atas Tibet sebagai wilayah yang tak terpisahkan dari China. Setelah insiden tersebut, pihak Jerman tampaknya berusaha keras mengembalikan fokus hubungan dengan China seperti cetak biru yang sudah diwariskan pemerintahan sebelumnya. Jerman mulai meredupkan kritik publik terhadap isu HAM dan lebih mengedepankan isu supremasi hukum, alih-alih pelanggaran HAM di China. Di sisi lain, tampaknya pihak China juga telah memahami bahwa Jerman sekarang lebih berhati-hati dan mengerti di mana “lampu merah” yang tidak boleh dilanggar dalam hubungan kedua negara. Oleh karenanya, Kanselir Merkel tetap dapat melanjutkan “tradisi” yang sudah dilakukan Schröder, yaitu mengunjungi China sekali dalam setiap tahun .

Masih menurut penelitian yang sama, China memberi respons positif terhadap pendekatan Jerman. Hal ini tak terlepas dari persepsi positif elit politik China terhadap Jerman yang selalu diasosiasikan dengan produk berkualitas tinggi. Lebih dari itu, khususnya pada masa Rencana Lima Tahun ke-12 (2011–2015), China melihat Jerman sebagai negara yang dapat membantu menuju fase lanjut dalam perkembangan ekonomi mereka. Berdasarkan rencana pembangunan tersebut, China berkomitmen untuk meningkatkan konsumsi domestik, mengembangkan industri strategis yang terproteksi dari kompetisi asing, dan meningkatkan investasi dalam riset dan pengembangan untuk menstimulasi inovasi lokal. Dengan demikian, dalam bidang ekonomi, China dan Jerman seakan membentuk simbiosis yang hampir sempurna: China memerlukan teknologi, sedangkan Jerman memerlukan pasar. Secara khusus, konsumen China menginginkan produk Jerman yang berteknologi tinggi, seperti mesin dan otomotif. Selain itu, elit politik China juga menganggap Jerman memiliki banyak kemiripan dengan mereka dalam hal perencanaan ekonomi dan pembangunan. Misalnya, Jerman masih mengandalkan sektor manufaktur sebagai motor utama penggerak ekonomi, strategi yang sudah ditinggalkan oleh negara-negara Eropa pada umumnya. Di samping itu, Jerman juga sangat “konservatif” dalam menjaga surplus perdagangan, serta lebih memprioritaskan surplus tabungan daripada investasi. Dari uraian di atas, sebetulnya langkah yang dipilih Kanselir Scholz dapat dipahami sebagai kelanjutan dari apa yang sudah dirintis oleh pendahulu-pendahulunya. Akan tetapi, mengapa pendekatannya terhadap China kali ini mengundang kontroversi?

Pada pagi hari tanggal 4 November, Presiden Xi Jinping bertemu dengan Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam kunjungan resminya ke Tiongkok di Great Hall of the People. Sumber Foto: Ministry of Foreign Affairs, the People’s Republic of China

Wacana Decoupling: Dinamika Baru dalam Hubungan Jerman–China

Kanselir Olaf Scholz, politisi Partai Sosial Demokrat, memuncaki pemerintahan federal Jerman pada akhir 2021, menggantikan Angela Merkel. Ia mewarisi kondisi negara yang relatif stabil di segala bidang, termasuk ekonomi. Di antara negara-negara blok UE, Jerman terbilang sukses dalam pengendalian pandemi Covid-19. Hasilnya, negara ini hanya mengalami kontraksi kurang dari 5% sepanjang 2020. Meningkatnya permintaan domestik dan internasional untuk produk dan jasa dari Jerman, serta dikombinasikan dengan pasar tenaga kerja yang kuat, menyokong peningkatan produk domestik bruto (PDB) sebesar 0,8% pada kuartal pertama 2022, yang berarti PDB telah kembali ke level sebelum pandemi.
Tren positif dalam aspek ekonomi sejak awal 2022 ini tiba-tiba harus berhadapan dengan situasi yang tak terduga. Ketegangan di perbatasan Rusia dan Ukraina sejak Februari 2022 dalam waktu singkat berkembang menjadi konflik bersenjata. Negara-negara UE merespons dengan menjatuhkan sanksi ekonomi dan perdagangan kepada Rusia. Sebagai balasan, Russia mengerem pengiriman gas alam melalui pipa Nord Stream 1 (NS1) ke blok UE setelah mengalami sabotase. Hal ini sangat mengkhawatirkan mengingat jaringan pipa gas tersebut pada 2021 menyuplai 55 miliar meter kubik gas, atau setara 45% nilai impor gas UE. Nasib serupa juga dialami pipa Nord Stream 2 (NS2) yang baru selesai dibangun 2021, jaringan pipa ini bahkan belum sempat digunakan sejak diresmikan karena ditangguhkan pengoperasiannya oleh Kanselir Olaf Scholz setelah invasi Rusia ke Ukraina.
Gejolak geopolitik tersebut memunculkan wacana “decoupling” alias mengurangi ketergantungan berlebih pada suplai satu negara. Dalam sektor energi, lebih dari setengah gas, baik yang dikonsumsi oleh rumah tangga maupun industri di Jerman, diimpor dari Rusia. Meskipun pemerintah Jerman dapat dengan sigap mencari suplai alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi, kekhawatiran tentang “weaponized interdependence” (kondisi di mana satu pihak memanfaatkan posisinya yang dominan untuk mengambil keuntungan atas pihak lain dalam jaringan yang sudah saling terkoneksi), kerentanan strategis (strategic vulnerabilities), dan ketahanan rantai pasok (supply-chain resilience) tidak hanya diarahkan kepada Rusia, tetapi juga China. Terlebih lagi setelah kunjungan ketua parlemen Amerika Serikat Nancy Pelosi ke Taiwan pada awal Agustus 2022, China meningkatkan intensitas dan frekuensi latihan militernya di sekitar perairan Taiwan. Reaksi tersebut menimbulkan pertanyaan, khususnya di kalangan politisi Jerman, jika China benar-benar mengerahkan kekuatan angkatan bersenjatanya untuk reunifikasi Taiwan dan Jerman memberikan sanksi ekonomi dan perdagangan kepada China seperti yang telah terjadi pada Rusia, mampukah Jerman dalam waktu singkat melepaskan ketergantungan, mengingat status China sebagai mitra dagang terbesar?
Para pendukung “decoupling” dari China ini berasal dari berbagai kalangan di negara-negara UE, bahkan ada juga yang berasal dari kabinet koalisi Kanselir Scholz sendiri. Menteri Luar Negeri dari Partai Hijau, Annalena Baerbock, menyerukan agar pemerintah negaranya mengadopsi pendekatan kebijakan baru terhadap China. Hal ini ia ungkapkan sesaat sebelum Kanselir Scholz bertolak ke Beijing. Lebih lanjut ia mengungkapkan, “sistem politik China telah berubah secara besar-besaran dalam beberapa tahun terakhir dan dengan demikian kebijakan China kita juga harus berubah.” Di samping itu, pada September 2022 dalam pertemuan dengan para pengusaha Jerman, Menteri Perekonomian dan Tindakan Iklim, yang juga dari Partai Hijau, Robert Habeck, mengatakan bahwa pemerintahnya tengah merancang kebijakan perdagangan baru dengan China untuk mengurangi ketergantungan pada bahan mentah, baterai, dan semikonduktor China. Ia pun menjanjikan “tidak akan ada lagi kenaifan” dalam transaksi perdagangan dengan Beijing. Lebih lanjut lagi, ia meminta agar Eropa bersikap lebih kritis dalam memandang investasi China, misalnya Silk Road Initiative, yang bertujuan membeli infrastruktur strategis di Eropa dan menggunakannya untuk mempengaruhi kebijakan perdagangan dengan kawasan. Sementara itu, negara partner Jerman di UE juga mengkritisi kunjungan Scholz ke Beijing karena dapat memberikan sinyal yang membingungkan akan arah hubungan UE dan China. Misalnya, Prancis menilai bahwa akan lebih baik jika Presiden Macron dan Kanselir Scholz mengunjungi China bersama-sama, dan sebaiknya sedikit lebih lambat daripada langsung setelah kongres Partai Komunis China. Menurut seorang pejabat Prancis, kunjungan tak lama setelah kongres akan melegitimasi masa jabatan ketiga Xi dan harus ditebus sangat mahal secara politik.

Keberlanjutan Hubungan Jerman–China 

Kanselir Olaf Scholz sendiri membeberkan rationale di balik kunjungannya ke Beijing dalam sebuah kolom opini: “We don’t want to decouple from China, but can’t be overreliant.” Di sana ia menggambarkan posisi China sebagai mitra bisnis dan perdagangan penting bagi Jerman dan Eropa. Oleh karena itu, Jerman tidak ingin memisahkan diri (decouple) darinya. Tapi di lain pihak, China menerapkan strategi ekonomi “sirkulasi ganda” yang dirancang untuk memperkuat pasar domestik dan mengurangi ketergantungan pada negara lain. Terlebih lagi dalam pidatonya di akhir tahun 2020, Presiden Xi juga berbicara tentang pemanfaatan teknologi China untuk memperkuat ketergantungan rantai produksi internasional pada China. Aspek inilah yang perlu ditanggapi dengan serius. 

Strategi yang ditempuh Kanselir Scholz tersebut juga didukung oleh sebagian besar pengusaha Jerman. Melalui surat terbuka, direktur eksekutif utama (CEO) dari delapan perusahaan, termasuk Siemens, BASF, dan Bosch, menyatakan tidak setuju decoupling dari China. Mereka mengatakan adalah tindakan yang benar bagi Jerman untuk mendefinisikan kembali hubungannya dengan China karena perilaku China yang semakin asertif dan masalah HAM. Akan tetapi, mereka bersikeras bahwa Jerman perlu tetap berbisnis dan berada di pasar China untuk tetap kompetitif. Sebagai gambaran, industri otomotif menjual lebih dari total 40 persen produksinya ke China. Di sisi lain, hampir separuh industri di Jerman mengandalkan bahan mentah dan barang setengah jadi dari China. Mengurangi tingkat ketergantungan yang begitu tinggi tidak akan mungkin dilakukan dalam waktu singkat.

Sementara itu, respons media China terhadap kunjungan Scholz dan delegasi pebisnis Jerman sangat positif, bahkan mengindikasikan kunjungan ini sebagai pertanda kesatuan strategi UE dan Amerika Serikat dalam menghadapi China mulai retak. Presiden Xi Jinping sendiri secara implisit mengharapkan hubungan negaranya dan Jerman tetap dalam status quo, dengan memuji generasi pendahulu para pemimpin China dan Jerman atas kepemimpinan mereka dalam meningkatkan hubungan melalui visi dan keberanian politik yang luar biasa.

Pertanyaan selanjutnya adalah akankah Kanselir Scholz mampu menjalankan visi hubungan negaranya dengan China di tengah wacana “decoupling” yang muncul, baik dari partner koalisi di dalam negeri maupun negara sahabat di blok UE. Suatu hal yang penting untuk dicermati dalam tradisi politik Jerman adalah kesepakatan koalisi. Kontrak politik tersebut dapat dikatakan sebagai cetak biru yang akan melandasi keputusan pemerintah dan pengesahan undang-undang oleh Bundestag, parlemen Jerman. Berdasarkan kesepakatan koalisi yang mengantarkan Kanselir Scholz ke puncak pemerintahan, ketiga partai koalisi, yaitu Sosial Demokrat, Demokrat Bebas, dan Hijau, menargetkan agar strategi baru hubungan Jerman–China dapat direalisasikan pada awal tahun 2023. Strategi baru ini diprediksi akan menjadi titik temu antara posisi Partai Hijau yang mengingikan kebijakan yang lebih asertif terhadap China, misalnya soal Perjanjian Investasi Komprehensif UE-China dan sanksi terhadap pelanggaran HAM China, dengan Partai Sosial Demokrat yang ingin mempertahankan kehadiran bisnis Jerman di China sembari mengurangi ketergantungan berlebihan (overreliant) pada China. Tradisi politik lain yang tak kalah penting adalah kompromi dan negosiasi. Ini adalah fondasi yang menjamin pemerintahan yang kokoh dan suksesi yang mulus di Jerman. Contoh kompromi paling nyata dalam hubungan dengan China baru-baru ini adalah keputusan untuk mengizinkan perusahaan pelayaran China, Cosco, membeli sebagian saham Pelabuhan Hamburg. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan perdebatan alot, pemerintah Jerman memutuskan jumlah saham yang boleh dibeli Cosco menjadi hanya 25%, turun dari nilai proposal awal sebesar 35%. Melihat indikator yang sudah diuraikan di atas, tampaknya kita akan menyaksikan pendekatan Jerman terhadap China sebagai business as usual, setidaknya sampai koalisi pemerintahan Kanselir Scholz berhasil menyepakati strategi hubungan bilateral yang baru tahun ini.

Ignatius Edhi Kharitas adalah peneliti pada Forum Sinologi Indonesia (FSI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *